Kamis, 21 Februari 2013

Totally “Myself”


Totally “Myself”
Oleh Thalia Maudina
            Saya ingin menunjukkan bagaimana pertengkaran atau perdebatan, terserah, antara Aku dan Diriku. Mereka sangat berbeda. Saya rasa Aku tak ingin berubah, hanyut, mengikuti alur dan berjalan searah dengan air yang mengalir di sungai menuju laut yang nantinya menjadi penghubung seluruh aliran. Sedangkan Diriku memutuskan untuk melawan laju air atau sekadar berbelok dan memperlambat waktu untuk sampai ke laut. Kadang Diriku berpikir untuk berpegangan pada kayu yang mengapung atau menyangkutkan diri di antara bebatuan.
“It is so hard when I know that me myself doesn’t give me the same respond as I want.” – Confusing, huh.
            Aku adalah seseorang yang ingin meluruskan segalanya. Saya juga tidak mengerti apa maksudnya. Namun Aku sungguh berperan penting dalam hidup saya. Aku mengajarkan agar saya tetap teguh pada pendirian yang sudah saya yakini. Saya dianjurkan untuk teguh pada prinsip yang sebelumnya telah saya buat.
“It’s only talking about me, myself. And please, don’t tell it to others.” – Please!
            Diriku sering sekali menggalau. Ya, galau. Walau sebenarnya kata galau tidak berarti seperti yang dimaksudkan orang-orang, artinya itu berbeda. (Anda bisa mencari artinya sendiri bila berniat. Coba cari di Alfalink atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kalau mau lebih gaul lagi, bisa searching kamus online.) Nyatanya, kata ini sudah tak asing di telinga seluruh umat di Indonesia (mungkin). Setidaknya itu terkenal. Hmm, diriku lebih menekankan semua peristiwa dengan emosi. Setiap detiknya dipenuhi dengan nafsu. Pikirannya tergantung perasaan. Dan Diriku sangat labil.
“And it’s really unpredictable, it can be changed. All can be changed, Baby!” – Oh My God!
            Baik, kini kita punya dua tokoh yang mirip namun memiliki karakter yang sungguh kontras. Mereka bagaikan tim pro dan tim kontra yang terdapat dalam sebuah kompetisi debat. Mereka seperti apel dan upil yang berada di atas dan di bawah meja. Mereka layak minyak dan air yang tak bisa bersatu dalam tabung. Mereka adalah mata yang terbuka dan bersin yang jelas-jelas mustahil dilakukan secara bersamaan.
“There are too many keys here. But, I can’t find the right one. Even though I can, I have to take the consequences and be responsible to my every choice. And the problem is… who must I follow? Whether my logic or my feeling?” – Choose!
            Saya menutup mata saya sejenak. Menghela nafas dan kembali bengong. Saya merasa ada sesuatu yang tertahan di dada saya kemudian ingin keluar melalui tenggorokan. Sayangnya sesuatu itu tidak bisa keluar dan terjebak di satu organ bernama hati. Ini menyesakkan, sungguh. Dan sesuatu itu sempat mengirim undangan ke kerabat dekatnya, tak lain air mata. Dan Aku dan Diriku tetap tak dapat dileraikan.
“How can I win those life-games with this kind of situation?” – Rhetorical question.
            Lelah. Kelihatannya saya sudah kehabisan frase untuk melanjutkan ke kehidupan di detik setelah ini. Saya tidak punya rencana. Maka itu, saya hanya menunggu, membiarkan ini berjalan dengan sendirinya. Saya berusaha bersikap ADIL terhadap Aku dan Diriku (saya tahu itu sulit, yah, harus bagaimana lagi).
Menurut Aristoteles, salah satu filosof yang terkenal pada buku-buku pelajaran tentang sosiologi, kewarganegaraan, sejarah, bahkan ilmu pengetahuan alam sekalipun dan salah seorang yang membuat banyak hal menjadi ada di ilmu-ilmu, khususnya ke-teori-an, ‘adil’ itu bukan berarti memberikan semuanya sama, setara, tanpa perbedaan sedikit pun. Tapi sesungguhnya adil itu dengan memberikan sesuatu atau achievement sesuai dengan apa yang telah ia lakukan dan ia perlukan. Contoh saja seorang manajer senior sepantasnya mendapat upah lebih besar dibanding Office Boy yang baru bekerja 2 bulan, walau mereka sama-sama di kantor. Hmm, mungkin contoh itu agak jauh dari penglihatan. Mungkin bisa kita ambil dari contoh seorang ibu yang memberikan uang saku atau disebut uang jajan lebih besar kepada si Kakak dan memberi secukupnya kepada si Adik yang usianya jauh di bawah Kakak. Si Kakak akan merasa risih bilamana mereka diberikan jumlah uang saku yang sama. Karena itu tidak sesuai.
“Anyway, it’s already out of topic, Boy.” – Forget it!
            Kalau boleh saya jujur, saya agak BENCI dengan orang-orang ternama berilmu super seperti Aristoteles, Newton, Edison, Einstein, dan kawan-kawannya. Mengapa demikian? Tahu, lah, sebagai pelajar, saya sangat tidak suka bila harus menghafal rumus atau teori apa pun yang membuat otak saja overload dan menjadikan kepala saya overheat seperti overhead-projector yang terlalu sering dipakai. Saya senang mereka begitu jenius (di masanya). Tapi terkadang saya berpikir, “Ah! Karena mereka saya harus belajar yang seperti ini sekarang!”
            Tapi, Pandji “Kena Deh!” yang melakukan sedikit pidato bersuasana stand-up comedy pada acara “Save a Teen – Donor Bonding… bla bla bla” di Sampoerna Academy (sebenarnya di Kinasih Resort daerah Caringin, Bogor mepet Sukabumi), 30 November 2012, menyatakan bahwa, apabila kita membenci seseorang atau mungkin saja sesuatu, kita harus memahaminya terlebih dahulu sehingga kita tahu apa yang sebenarnya terdapat dalam seseorang atau sesuatu itu. Menurut pengalaman Om, Pak, Mas, hmm, Kak (whatever lah) Pandji, setelah ia memahami yang ia benci, rasa benci itu hilang automatically.
“Hello! It’s too out of topic, Dude. It’s much far from the punch line. Let’s back to the laptop, I mean, the topic.” – Any other theories?
            Baik, itu sebatas intermezzo yang cukup sulit dipahami. Jadi, tadi saya bilang bahwa saya harus bisa bersikap adil, ya? Bagaimana saya harus mulai? Bagaimana saya membagi keadilan bahkan saya tidak tahu persentase stabil Aku dan Diriku yang memengaruhi hidup saya?
“I guess I have two different personalities.” – Dangerous!
            Inti dari pembicaraan panjang lebar ini adalah pertanyaan dengan big question mark, yakni BAGAIMANA cara saya untuk bersikap adil pada hidup saya sendiri dengan memisahkan antara pemikiran menggunakan logika dan perasaan sementara saya tidak menyadari seberapa besar keduanya memengaruhi saya?
            Aku dan Diriku masih belum terpisahkan.

(Bogor, 30 November 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar