Kamis, 21 Februari 2013

Impian dan Pengorbanan


Impian dan Pengorbanan
Oleh: Thalia Maudina
            Pagiku kulewatkan sama halnya dengan hari yang lalu. Aku membuka mata perlahan dan kudapati semuanya gelap. Rasanya tubuh ini enggan berkutik. Sepasang kelopak mata bagian atas yang kupunya sepertinya masih rindu dengan masing-masing pasangannya. Kugenggam salah satu ujung selimut biruku, lalu kutarik. Aku menggulung diri bagai tenggiling. Aku mencoba mengumpulkan jiwa dan kupejamkan mataku sekali lagi. Wah, nyaman, hangat. Aku menarik napas panjang lalu membuang sisanya seiring mataku terbuka. Telapak tangan kananku langsung mencari sahabatnya, telepon genggam, yang tidur bersama semalam. Tak perlu disuruh lagi, ibu jariku langsung menekan salah satu tombol.
            “Ah, masih jam 4,” pikirku. Tentram.
            Detik berlalu dan itu semua telah usai. Aku terkaget oleh cahaya yang datang menyoroti mataku. Terdengar suara yang menyejukkan.
            “Neng, bangun. Subuh,” ibuku mengingatkan.
            Tanpa berkata apa-apa aku bergegas ke kamar kecil, yang lokasinya sekitar 12 petak dari kamarku, untuk mengambil air bersuci. Saat aku keluar dari kamar kecil, aku menguap dengan bebas. Beberapa meter di depanku, ayah sedang menonton televisi dengan mengenakan pakaian kerjanya.
            “Ayah, mengapa belum berangkat?” heranku.
            “Tunggu, ada berita sepak bola,” jawabnya.
            “Sepak bola, ya,” aku menegaskan sekaligus memikirkan sesuatu.
            Aku teringat akan sesuatu. Bukan, tepatnya seseorang. Ya, dia yang mengajakku pergi ke suatu tempat pukul sepuluh nanti. Dia adalah seorang pemain sepak bola daerah yang sangat mencintai permainannya. Laki-laki berkacamata dengan postur tubuh tinggi namun kurus. Saat kami berjalan bersampingan, lengan bagian atasnyalah yang selurus dengan mataku. Bayangkan betapa tingginya dia! Rambutnya lurus, hitam berponi khas laki-laki pada umumnya. Bibirnya tipis, terlihat indah ketika dia tersenyum atau tertawa lepas. Hidungnya mancung, enak dipandang dengan kacamata yang tersangkut di sana. Bulu matanya lentik, cocok dengan warna mata yang kecokelatan itu. Dia berkumis sangat tipis yang mencerminkan kejantanannya. Jari-jarinya memanjang, memudahkannya untuk memainkan gitar akustik yang dikuasainya sekitar dua tahun lalu. Kulitnya berwarna cokelat, sawo matang. Aku memang lebih menyukai lelaki berwarna kulit agak gelap. Itu melambangkan keberaniannya dan pengalamannya yang menggunung di luar sana.
            Dan itulah dia, sedang menunggu di depan gang dekat rumahku pukul sepuluh lewat sepuluh. Kulihat dia dari kejauhan, sedang menungguku di atas motor Blade dan mengenakan helm TRX 3. Aku berjalan, melangkahkan kaki menuju ke arahnya sambil memperhatikan gerak-geriknya. Dia merogoh telepon genggam yang modelnya pasaran dari saku depan celana jeans yang dikenakannya sambil menahan motor agar tetap tegak dengan kakinya. Dia melihat layar telepon genggamnya yang tidak begitu besar. Entah apa yang dia lakukan. Melihat jamkah? Atau menunggu pesan dariku? Entahlah. Dimasukkannya lagi gadget itu ke sakunya dan dipegangnyalah kedua pegangan motor. Lalu dia melirik ke arah kaca cembung yang disebut kaca spion. Sepertinya dia melihatku begitu juga aku melihatnya. Tubuhnya yang tadinya agak membungkuk langsung sigap, menegak. Kaki kirinya mencari-cari standar, penahan motornya. Aku pun sampai di hadapannya dan dia sedikit berbalik ke arahku. Kami saling berpandangan, aku tersenyum. Menyadari senyumku belum bisa maksimal, dia membalasanya dengan cepat. Ah, aku malu.
            “Apa?” tanyaku sambil tersipu.
            “Jadi mau ke mana?” dia menegaskan.
            “Terserah kamu,” jawabku.
            Dia menyalakan mesin motor seolah mengerti apa maksudku. Dia tersenyum dan menyuruhku untuk naik ke motornya. Aku pun segera naik. Aku berkaca di helmnya dan sedikit-sedikit melirik kaca spion agar bisa melihat ketampanannya yang mungkin hanya aku yang menyadarinya.
            Kami menghentikan perjalanan di depan salah satu stadion di Bandung, tempat biasa dia bermain sepak bola. Memang seharusnya hari ini dia melaksanakan kewajibannya untuk latihan menghadapi liga bulan depan. Pacarku satu-satunya ini sangat antusias untuk mengikuti liga itu. Walaupun begitu, dia tetap mengorbankan harinya untukku. Rasanya seperti hidungku mengajakku terbang dan aku pun terbawa melampaui atmosfer bumi yang menyesakkan. Pipiku memerah tanpa sebab.
            “Tunggu disini, aku akan kembali. Sebentar,” katanya sambil membuka helm dan memberikannya kepadaku. Sangat tenang. Sepertinya dia ingin meminta izin agar bisa meninggalkan kewajibannya dan melancong bersamaku untuk merayakan dua tahun hubungan kami. Aku menanti dia kembali, tapi itu terlampau lama. Sabar. Tiga puluh menit aku menunggu. Sudah nyaris tujuh kali aku mengganti posisi dudukku. Daguku dipangku oleh tangan kananku kemudian bergantian dengan tangan lainnya. Suasana kota yang sesak sepertinya semakin lama dipenuhi karbondioksida yang menyebabkan efek rumah kaca. Akankah bumi kita ini menjadi lebih terang? Mungkin saja. Sehingga terangnya bagaikan bintang fajar yang disebut Venus. Suhunya lebih dari 427oC. Kian hari akan semakin panas. Tak henti bukuku mengibaskan oksigen ke arah wajahku yang dilumuri air bercampur garam. Aku hanya mengamati jalan yang dilewati banyak kendaraan. Sekian banyak mobil dan motor yang bergantian mengisi tempat parkir. Ternyata sudah lewat satu jam.
            Aku mulai kesal dan menyusulnya ke dalam. Dengan emosi aku berjalan. Kudapati hamparan hijau lapangan dengan wangi rumput yang menenangkan jiwa. Emosiku mulai terkontrol. Hanya saja aku masih sebal dengan perlakuan pacarku itu. Menunggu, satu hal yang aku tak suka selain dikhianati. Semakin lama ragaku semakin dekat dengan sesosok tubuh. Aku memfokuskan penglihatanku dengan memicingkan mata ke salah satu kursi di pinggir lapangan, tempat para pelatih mengawasi. Di sana, kulihat dia yang melamun, memandang udara hampa yang tak berarti. Apa yang dia lakukan? Begini dia menyuruhku menunggu di luar? Kuhampiri dia dan semakin dekat wajah muramku berubah keheranan. Aku terhenti dan sepertinya aku memasukki alam pikirannya. Wajahnya tampak sedih. Mata kanannya meneteskan air mata (mungkin dua atau tiga tetes) lalu menghapus jejak kesedihannya itu. Dan itu terjadi berulang kali. Seakan tak mau memperlihatkan hal yang tak membahagiakan. Dia hanya ingin menelan masalahnya bulat-bulat, tanpa berbagi.
            “Ada apa?” seruku dengan halus sambil tanganku menepuk bahunya perlahan.
            Dia terdiam. Cukup lama. Keheningan itu memuncak pada ujung pembicaraan. Di mana kata-kata terdapat pada kerangkeng, pada jeruji gigi yang sangat rapat. Bahkan mulutnya yang manis pun tak mampu mengubah bentuknya menjadi melengkung. Datar. Aku menatapnya, kuhadapkan wajahku tepat di depannya. Aku berjongkok dan menanyakan apa yang dia tangisi. Namun tak berhasil. Sia-sia. Alhasil, dia hanya diam, lalu memalingkan muka ke langit yang tetap cerah tak peduli tentang hati orang yang sedang gusar.
            Aku hanya duduk di sisinya dan berharap dia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sampai dia menoleh menghadapku dan mulai membuka mulutnya.
            “Aku tak pantas bermain sepak bola lagi,” keluhnya sambil menahan isak. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Pernyataannya terucap dengan level suara yang rendah, agak berbisik.
            “Tidak. Kamu hebat, lincah. Kau penyerang yang andal. Mengapa kau ini? Cerita, Sayang,” rayuku.
            Sebenarnya yang kukatakan bukan sekadar rayuan yang keluar untuk memuji seseorang yang sangat aku cintai. Ya, Sayang, semuanya benar. Kamu memang lincah ketika bermain. Kamu striker. Banyak gol yang kau buat, semua mengagumkan! Saat aku menontonmu bermain, yang kulakukan hanya berdiri, berteriak sekencang-kencangnya. Namamu! Banyak yang mengagumimu. Kadang aku cemburu. Bisa dikatakan fans berat. Apa yang kurang? Pikirku.
            Pujian-pujian yang kuluncurkan dalam hati itu hanya dia jawab dengan dua kalimat singkat. Mengecewakan.
            “Ah, sudahlah. Ayo pergi!” ajaknya.
            Kami pun meninggalkan stadion dan melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, aku sedikit khawatir dengan emosinya yang sedang labil. Ekspresinya yang menunjukkan kekesalan masih terpancar dan terpantul di kaca spion. Berapi. Ada apa sebenarnya?
            Diturunkanlah aku di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) di suatu tempat yang aku tak tahu. Untuk apa aku dibawa ke sini? Kebingungan menyelimuti otakku. Dia menggandengku turun dari motor lalu menggiringku menghampiri tempat pembakaran.
            “Nah, kau menjadi satu-satunya saksi sekarang. Kini hilang semua harapan. Impianku, keinginanku musnah, sirna!” katanya dengan emosi yang meledak-ledak.
            Sambil mengatakan itu, tangannya membuka resleting tas dan mengambil kaus tim sepak bola kesayangannya. Dia melempar baju itu ke api yang membara tanpa berpikir panjang. Mulutku menganga dengan mata terbelalak. Kaus tim yang dia impikan selama lebih kurang tiga tahun habis dilalap api. Seketika.
            “Ayo pergi,” ajaknya singkat.
            Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Tapi mengapa?
            Aku pun menuruti kemauannya. Kami pun pergi. Dia memintaku untuk mengajaknya ke tempat yang dapat menghiburnya, menenangkan amarahnya. Siang itu agak mendung, tapi tak hujan. Aku mengajaknya ke sebuah lapang rumput dekat rumah temanku agar dia bisa menenangkan diri. Tempatnya luas, sepi. Kuharap dia dapat meneriakkan semuanya di sana. Melepas semua kesedihannya. Dan bebas!
            Sesampainya di sana, dia membantingkan tubuhnya ke tanah. Kami bersandar ke bumi dan memandang langit yang abu-abu, tetap indah. Dia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan sambil menutup matanya. Merentangkan tangannya. Dia lakukan itu berulang-ulang.
            Setelah suasananya mendingin, dia membuka matanya dan memandang langit yang berawankan agak gelap. Anginnya berembus dari arah kiri. Sejuk. Ah, tenang. Aku terus memperhatikannya. Kulihat dia nyaris tak berkedip layak memikirkan sesuatu di ambang langit. Itu hanya khayalannya saja. Aku kadang penasaran dengan apa yang dipikirkan orang lain. Seandainya saja aku bisa, mungkin aku bisa tahu apa yang dipikirkannya. Atau mungkin, aku bisa memikirkan apa yang koruptor pikirkan sehingga aku tahu yang sebenarnya. Bisakah? Aku dengar dari berita-berita lalu, orang yang seperti itu namanya indigo. Ternyata pikiran manusia itu sungguh misterius. Satu-satunya rahasia yang hanya diketahui oleh individu dan Tuhan tentunya.
            Akhirnya dia terbangun dan mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Dia pun menceritakannya kepadaku.
            “Aku tidak lulus untuk menjadi atlet nasional. Bagaimana bisa aku menjadi pesepakbola internasional? Satu, aku berkacamata. Dua, aku memang tinggi, cukup tinggi. Tapi berat badanku tidak mencukupi. Tiga, orangtuaku lebih menginginkanku menjadi pengusaha,” sesalnya.
            Dia mengatakan semua itu dengan mimik kecewa. Tubuhnya nampak sangat lemas ketika mengingat semua itu. Aku sangat prihatin. Mengapa dia tidak mempertimbangkan ini dari awal? Kalau sudah begini sulit jadinya. Dia terlanjur tercemplung ke jiwa seorang atlet, atlet sejati. Tuhan, ini keteledoran atau cobaan? Kadang semua yang sangat kita inginkan adalah sesuatu yang tak mungkin kita dapat. Bukan tak mungkin, tapi jauh untuk diraih. Sesuatu yang sangat kita inginkan sangat sukar dimilliki. Namun ketika sesuatu tersebut dijangkau, hal itu akan pergi dengan mudahnya. Andai aku bisa membantunya. Apapun.
            “Tenang, kau cakap. Banyak yang ingin menerimamu. Carilah pekerjaan lain,” jawabku.
            Akhirnya! Dia tersenyum. Ah, manisnya! Akhirnya aku melihat dia kembali. Secara spontan dia langsung memegang kepalaku dan mengusap rambutku. Kami pun beranjak dari tempat yang kami duduki, berkehendak untuk melanjutkan perjalanan. Seperti biasa, dia menaiki motornya lebih dulu dan melihatku sejenak. Aku menatapnya dan menerima tumpangannya. Dia menyalakan mesin motor dan perjalanan dimulai (lagi).
            Tiba-tiba, aku melihat ada truk tepat di belakang kami. Truk berwarna merah dengan pilok hitam membentuk sebuah kata sebagai hiasan. Sungguh, warnanya itu mendukung suasana yang mencekam. Aku menyuruh kekasihku untuk berhati-hati. Kata “hati-hati” itu jangan disepelekan. “Hati-hati” itu lambang kekhawatiran, rasa sayang. Di dalam “hati-hati” terdapat kata “hati”. Mungkin kata ‘hati-hati’ itu muncul dari hati. Bisa saja hatinya sedang tegang atau was-was sehingga diucapkan dua kali untuk menegaskan.
            Dia hanya menenangkan dan meyakinkan aku yang sangat takut. Dan dia benar, truk itu lewat begitu saja. Sama sekali tidak berbahaya. Aku membuang napas lega. Tak lama, kudengar suara kencang yang mengejutkan. Truk itu menabrak mobil Avanza di depan kami. Refleks, motornya direm. Aku nyaris terpental. Untungnya aku memeluk tubuh pacarku yang kurus tapi kuat. Aku memandang ke jalur yang berlawanan dan aku nyaris berteriak, hanya saja tak sempat.
            Aku hanya mendengar benturan yang kedua. Lebih keras. Motor yang kami tumpangi tertabrak oleh bus karyawan berwarna hijau dari arah berlawanan. Bus itu melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Motor yang sering menemani perjalananku itu terpental. Beradu dengan roda bus yang cukup besar. Lalu tiba mobil hitam dari belakangku nampak bingung dan malah menabrak bagian depan bus yang terhenti itu. Mobilnya lumayan hancur, penyok. Pintu depannya lepas. Pengemudinya meninggal dan istrinya selamat. Hari yang mendung pun menjadi gerimis.
            Aku terkapar. Setengah sadar aku menghadapkan wajahku ke samping kiri. Semua nampak berputar, suram. Kuangkat tanganku perlahan. Aku melihat tanganku, semuanya dilumuri warna merah. Sakit. Badanku terbujur kaku, tak bergerak. Rasanya aku ingin mati saja. Terlebih lagi terkena cucuran hujan yang turun. Perih. Napasku terengah dan mencoba membalikan badan ke arah kanan. Aku melihat kekasihku yang berusaha mengangkat pintu mobil hitam yang menimpa kakinya. Dia melihatku dan memanggil namaku. Samar. Aku yang tak berdaya menahan kesakitan hanya tersenyum dan menutup sepasang mata yang masih kupunya.
            Aku terbangun dan suasananya sudah berbeda. Seluruhnya tampak rapi, putih, bersih. Yang kudengar hanya suara dentingan yang biasa aku dengar di rumah sakit. Kekasihku sedang menggenggam tangan kiriku sambil terjaga. Aku mencoba memanggilnya, tapi aku masih terlalu lemah. Dia pun terbangun.
            “Kau sudah sadar?’ tanyanya. “Sudah tiga hari kau koma, tak mengubah posisimu yang telentang ini.”
            “Bagaimana dengan kau? Kau tak apa-apa?” tanyaku.
            “Ya, sedikit luka ringan,” jawabnya.
            Ah, dia bohong, terlalu merendah! Dia memakai kursi roda. Ternyata kaki kanannya lumpuh total. Sekejap melihat matanya, aku mengeluarkan setetes air yang mengalir di pipiku setelahnya. Aku sangat sedih melihatnya. Betapa tidak, dia tak dapat bermain sepak bola lagi.
            “Ya, tak apa. Aku sudah merelakannya. Yang penting kau selamat,” katanya. Dia memandangku seperti memberikan petunjuk. Tapi aku tak mengerti. Tiba-tiba ada telepon yang ditujukan untuknya. Itu dari pelatihnya. Pelatihnya meminta dia untuk bermain sepak bola lagi. Tapi dia merasa tawarannya datang terlambat. Dia sudah merelakan impiannya.
            Aku yang terbaring hanya melihat perubahan ekspresinya yang senang namun kecewa. Sangat terpancar walau tersirat. Sebenarnya aku juga merasakan bentuk kecil dari kekecewaannya itu. Aku harus dirawat sekitar dua minggu lagi. Oleh karenanya, aku tidak dapat merasakan bangun pagi yang biasanya aku lalui. Sambutan hangat ibuku, selimut biru kesayanganku dan lampu kamar yang mengagetkanku tak dapat kutemui. Aku rindu. Tapi aku masih bersyukur karena aku masih bernyawa.
            “Permisi,” ada yang mengetuk pintu.
            “Ya, masuk.,” kataku mempersilakan. Ternyata ada surat datang.
            “Untuk siapa itu, Isma?” tanya kekasihku.
            “Untukmu. Di sini tertulis ‘M. Akbar’,” jawabku.
            “Hah? Dari SSB?” herannya. Dia melanjutkan dengan membuka amplop cokelat dengan tali itu sambil menatapku. Bingung. Dia mengambil isinya, berupa surat. Aku hanya menaikkan bahu semampuku tanda tak mengerti apa-apa. Tersenyum. Dia membaca suratnya. Mimiknya begitu menyenangkan, sangat.
            Di suratnya tertulis: “Untuk Saudara M. Akbar, kami mohon dengan sangat untuk menjadi pelatih pemain-pemain muda di Sekolah Sepak Bola (SSB). Anda bisa mulai bekerja setelah Anda pulih. Tak masalah soal kaki Anda. Kami turut mendoakan semoga Anda lekas sembuh.”
            “Aku tak percaya!” teriaknya. “Sekarang, bagaimana bisa aku melatih mereka dengan kaki pincang seperti ini?” gumamnya.
            “Kau bisa, Cinta. Tak ada yang tak mungkin untukmu,” aku pun tersenyum bahagia.
            Sungguh senang rasanya ketika menatapnya yang sedang tersenyum puas. Ah, aku rindu momentum ini.
            Aku pun keluar rumah sakit dengan perasaan senang, baik sekali. Walau aku turut prihatin melihat keadaan Akbar yang kakinya tak bisa kembali. Sampailah aku di rumahku yang kucinta. Akhirnya aku kembali ke kamar yang sempit namun menyejukkan jiwa. Kurapikan barang-barangku yang nyaris tiga minggu tak kusentuh sedikitpun. Aku membaringkan diri di atas kasurku yang tak begitu empuk. Ah, ini cukup terasa empuk. Tidak ada yang bisa melebihi barang milik pribadi, kenyamanannya memuaskan. Setelahnya, aku berkehendak untuk melanjutkan keharusanku, membereskan pakaian dari tas.
            Satu per satu pakaianku kutaruh, kususun rapi. Ketika aku menaruh baju kemeja kotak-kotak yang ibuku berikan, aku  menemukan barang asing di lemariku. Apa itu? Sebuah amplop? Ya, amplop biru muda dengan tulisan “Untuk Isma”. Aku mengira surat itu dari Akbar dan itu benar. Tulisannya kecil-kecil, rapi walau agak kekanak-kanakan. “Sungguh, kau misterius!” gumamku sambil tersenyum.
            Namun aku tercengang ketika membaca suratnya.

            “Tak sia-sia aku bersamamu,
            keberuntungan selalu datang padaku.
            Tak sia-sia aku membakar kaus timku,
            karena aku dapat yang baru, sebagai pelatih.
            Apabila aku kehilangan dirimu,
            tak mungkin ada yang melihat senyumku lagi.
            Maka, tak sia-sia aku menarik paksa kakiku
            dari bawah pintu mobil hitam
            untuk menyelamatkanmu yang sekarat.
            Lebih baik aku korbankan kakiku dan cita-citaku.

            Akbar.”

Aku terdiam.

(Bogor, 4 April 2012)

            

4 komentar:

  1. kula boten nyangki yen setunggal waktos kisah niki ajeng dados setunggal kisah novel ingkang sae

    BalasHapus
  2. mungkin untuk ukuran novel masih perlu diperbaiki dan dikembangkan lagi.

    BalasHapus