Impian
dan Pengorbanan
Oleh:
Thalia Maudina
Pagiku
kulewatkan sama halnya dengan hari yang lalu. Aku membuka mata perlahan dan
kudapati semuanya gelap. Rasanya tubuh ini enggan berkutik. Sepasang kelopak
mata bagian atas yang kupunya sepertinya masih rindu dengan masing-masing
pasangannya. Kugenggam salah satu ujung selimut biruku, lalu kutarik. Aku
menggulung diri bagai tenggiling. Aku
mencoba mengumpulkan jiwa dan kupejamkan mataku sekali lagi. Wah, nyaman,
hangat. Aku menarik napas panjang lalu membuang sisanya seiring mataku terbuka.
Telapak tangan kananku langsung mencari sahabatnya, telepon genggam, yang tidur
bersama semalam. Tak perlu disuruh lagi, ibu jariku langsung menekan salah satu
tombol.
“Ah,
masih jam 4,” pikirku. Tentram.
Detik
berlalu dan itu semua telah usai. Aku terkaget oleh cahaya yang datang
menyoroti mataku. Terdengar suara yang menyejukkan.
“Neng,
bangun. Subuh,” ibuku mengingatkan.
Tanpa
berkata apa-apa aku bergegas ke kamar kecil, yang lokasinya sekitar 12 petak
dari kamarku, untuk mengambil air bersuci. Saat aku keluar dari kamar kecil, aku
menguap dengan bebas. Beberapa meter di depanku, ayah sedang menonton televisi
dengan mengenakan pakaian kerjanya.
“Ayah,
mengapa belum berangkat?” heranku.
“Tunggu,
ada berita sepak bola,” jawabnya.
“Sepak
bola, ya,” aku menegaskan sekaligus memikirkan sesuatu.
Aku
teringat akan sesuatu. Bukan, tepatnya seseorang. Ya, dia yang mengajakku pergi
ke suatu tempat pukul sepuluh nanti. Dia adalah seorang pemain sepak bola
daerah yang sangat mencintai permainannya. Laki-laki berkacamata dengan postur
tubuh tinggi namun kurus. Saat kami berjalan bersampingan, lengan bagian
atasnyalah yang selurus dengan mataku. Bayangkan betapa tingginya dia!
Rambutnya lurus, hitam berponi khas laki-laki pada umumnya. Bibirnya tipis,
terlihat indah ketika dia tersenyum atau tertawa lepas. Hidungnya mancung, enak
dipandang dengan kacamata yang tersangkut di sana. Bulu matanya lentik, cocok
dengan warna mata yang kecokelatan itu. Dia berkumis sangat tipis yang
mencerminkan kejantanannya. Jari-jarinya memanjang, memudahkannya untuk
memainkan gitar akustik yang dikuasainya sekitar dua tahun lalu. Kulitnya
berwarna cokelat, sawo matang. Aku memang lebih menyukai lelaki berwarna kulit
agak gelap. Itu melambangkan keberaniannya dan pengalamannya yang menggunung di
luar sana.
Dan
itulah dia, sedang menunggu di depan gang dekat rumahku pukul sepuluh lewat
sepuluh. Kulihat dia dari kejauhan, sedang menungguku di atas motor Blade dan mengenakan helm TRX 3. Aku berjalan, melangkahkan kaki
menuju ke arahnya sambil memperhatikan gerak-geriknya. Dia merogoh telepon
genggam yang modelnya pasaran dari saku depan celana jeans yang dikenakannya sambil menahan motor agar tetap tegak
dengan kakinya. Dia melihat layar telepon genggamnya yang tidak begitu besar.
Entah apa yang dia lakukan. Melihat jamkah? Atau menunggu pesan dariku? Entahlah.
Dimasukkannya lagi gadget itu ke
sakunya dan dipegangnyalah kedua pegangan motor. Lalu dia melirik ke arah kaca
cembung yang disebut kaca spion. Sepertinya dia melihatku begitu juga aku
melihatnya. Tubuhnya yang tadinya agak membungkuk langsung sigap, menegak. Kaki
kirinya mencari-cari standar, penahan motornya. Aku pun sampai di hadapannya
dan dia sedikit berbalik ke arahku. Kami saling berpandangan, aku tersenyum. Menyadari
senyumku belum bisa maksimal, dia membalasanya dengan cepat. Ah, aku malu.
“Apa?”
tanyaku sambil tersipu.
“Jadi
mau ke mana?” dia menegaskan.
“Terserah
kamu,” jawabku.
Dia
menyalakan mesin motor seolah mengerti apa maksudku. Dia tersenyum dan
menyuruhku untuk naik ke motornya. Aku pun segera naik. Aku berkaca di helmnya
dan sedikit-sedikit melirik kaca spion agar bisa melihat ketampanannya yang
mungkin hanya aku yang menyadarinya.
Kami
menghentikan perjalanan di depan salah satu stadion di Bandung, tempat biasa
dia bermain sepak bola. Memang seharusnya hari ini dia melaksanakan
kewajibannya untuk latihan menghadapi liga bulan depan. Pacarku satu-satunya
ini sangat antusias untuk mengikuti liga itu. Walaupun begitu, dia tetap
mengorbankan harinya untukku. Rasanya seperti hidungku mengajakku terbang dan
aku pun terbawa melampaui atmosfer bumi yang menyesakkan. Pipiku memerah tanpa
sebab.
“Tunggu
disini, aku akan kembali. Sebentar,” katanya sambil membuka helm dan
memberikannya kepadaku. Sangat tenang. Sepertinya dia ingin meminta izin agar
bisa meninggalkan kewajibannya dan melancong bersamaku untuk merayakan dua
tahun hubungan kami. Aku menanti dia kembali, tapi itu terlampau lama. Sabar. Tiga
puluh menit aku menunggu. Sudah nyaris tujuh kali aku mengganti posisi dudukku.
Daguku dipangku oleh tangan kananku kemudian bergantian dengan tangan lainnya.
Suasana kota yang sesak sepertinya semakin lama dipenuhi karbondioksida yang
menyebabkan efek rumah kaca. Akankah bumi kita ini menjadi lebih terang? Mungkin
saja. Sehingga terangnya bagaikan bintang fajar yang disebut Venus. Suhunya
lebih dari 427oC. Kian hari akan semakin panas. Tak henti bukuku
mengibaskan oksigen ke arah wajahku yang dilumuri air bercampur garam. Aku
hanya mengamati jalan yang dilewati banyak kendaraan. Sekian banyak mobil dan
motor yang bergantian mengisi tempat parkir. Ternyata sudah lewat satu jam.
Aku
mulai kesal dan menyusulnya ke dalam. Dengan emosi aku berjalan. Kudapati
hamparan hijau lapangan dengan wangi rumput yang menenangkan jiwa. Emosiku
mulai terkontrol. Hanya saja aku masih sebal dengan perlakuan pacarku itu. Menunggu,
satu hal yang aku tak suka selain dikhianati. Semakin lama ragaku semakin dekat
dengan sesosok tubuh. Aku memfokuskan penglihatanku dengan memicingkan mata ke
salah satu kursi di pinggir lapangan, tempat para pelatih mengawasi. Di sana,
kulihat dia yang melamun, memandang udara hampa yang tak berarti. Apa yang dia
lakukan? Begini dia menyuruhku menunggu di luar? Kuhampiri dia dan semakin
dekat wajah muramku berubah keheranan. Aku terhenti dan sepertinya aku
memasukki alam pikirannya. Wajahnya tampak sedih. Mata kanannya meneteskan air
mata (mungkin dua atau tiga tetes) lalu menghapus jejak kesedihannya itu. Dan
itu terjadi berulang kali. Seakan tak mau memperlihatkan hal yang tak
membahagiakan. Dia hanya ingin menelan masalahnya bulat-bulat, tanpa berbagi.
“Ada
apa?” seruku dengan halus sambil tanganku menepuk bahunya perlahan.
Dia
terdiam. Cukup lama. Keheningan itu memuncak pada ujung pembicaraan. Di mana
kata-kata terdapat pada kerangkeng, pada jeruji gigi yang sangat rapat. Bahkan
mulutnya yang manis pun tak mampu mengubah bentuknya menjadi melengkung. Datar.
Aku menatapnya, kuhadapkan wajahku tepat di depannya. Aku berjongkok dan
menanyakan apa yang dia tangisi. Namun tak berhasil. Sia-sia. Alhasil, dia
hanya diam, lalu memalingkan muka ke langit yang tetap cerah tak peduli tentang
hati orang yang sedang gusar.
Aku
hanya duduk di sisinya dan berharap dia menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi. Sampai dia menoleh menghadapku dan mulai membuka mulutnya.
“Aku
tak pantas bermain sepak bola lagi,” keluhnya sambil menahan isak. Ada sesuatu
yang mengganjal di tenggorokannya. Pernyataannya terucap dengan level suara
yang rendah, agak berbisik.
“Tidak.
Kamu hebat, lincah. Kau penyerang yang andal. Mengapa kau ini? Cerita, Sayang,”
rayuku.
Sebenarnya
yang kukatakan bukan sekadar rayuan yang keluar untuk memuji seseorang yang
sangat aku cintai. Ya, Sayang, semuanya benar. Kamu memang lincah ketika
bermain. Kamu striker. Banyak gol yang
kau buat, semua mengagumkan! Saat aku menontonmu bermain, yang kulakukan hanya
berdiri, berteriak sekencang-kencangnya. Namamu! Banyak yang mengagumimu. Kadang
aku cemburu. Bisa dikatakan fans
berat. Apa yang kurang? Pikirku.
Pujian-pujian
yang kuluncurkan dalam hati itu hanya dia jawab dengan dua kalimat singkat. Mengecewakan.
“Ah,
sudahlah. Ayo pergi!” ajaknya.
Kami
pun meninggalkan stadion dan melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, aku sedikit
khawatir dengan emosinya yang sedang labil. Ekspresinya yang menunjukkan
kekesalan masih terpancar dan terpantul di kaca spion. Berapi. Ada apa
sebenarnya?
Diturunkanlah
aku di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) di suatu tempat yang aku tak tahu.
Untuk apa aku dibawa ke sini? Kebingungan menyelimuti otakku. Dia menggandengku
turun dari motor lalu menggiringku menghampiri tempat pembakaran.
“Nah,
kau menjadi satu-satunya saksi sekarang. Kini hilang semua harapan. Impianku,
keinginanku musnah, sirna!” katanya dengan emosi yang meledak-ledak.
Sambil
mengatakan itu, tangannya membuka resleting tas dan mengambil kaus tim sepak
bola kesayangannya. Dia melempar baju itu ke api yang membara tanpa berpikir
panjang. Mulutku menganga dengan mata terbelalak. Kaus tim yang dia impikan
selama lebih kurang tiga tahun habis dilalap api. Seketika.
“Ayo
pergi,” ajaknya singkat.
Tanpa
sadar aku meneteskan air mata. Tapi mengapa?
Aku
pun menuruti kemauannya. Kami pun pergi. Dia memintaku untuk mengajaknya ke
tempat yang dapat menghiburnya, menenangkan amarahnya. Siang itu agak mendung,
tapi tak hujan. Aku mengajaknya ke sebuah lapang rumput dekat rumah temanku
agar dia bisa menenangkan diri. Tempatnya luas, sepi. Kuharap dia dapat
meneriakkan semuanya di sana. Melepas semua kesedihannya. Dan bebas!
Sesampainya
di sana, dia membantingkan tubuhnya ke tanah. Kami bersandar ke bumi dan
memandang langit yang abu-abu, tetap indah. Dia menarik napas dalam-dalam dan
membuangnya perlahan sambil menutup matanya. Merentangkan tangannya. Dia
lakukan itu berulang-ulang.
Setelah
suasananya mendingin, dia membuka matanya dan memandang langit yang berawankan
agak gelap. Anginnya berembus dari arah kiri. Sejuk. Ah, tenang. Aku terus memperhatikannya.
Kulihat dia nyaris tak berkedip layak memikirkan sesuatu di ambang langit. Itu
hanya khayalannya saja. Aku kadang penasaran dengan apa yang dipikirkan orang
lain. Seandainya saja aku bisa, mungkin aku bisa tahu apa yang dipikirkannya.
Atau mungkin, aku bisa memikirkan apa yang koruptor pikirkan sehingga aku tahu
yang sebenarnya. Bisakah? Aku dengar dari berita-berita lalu, orang yang
seperti itu namanya indigo. Ternyata
pikiran manusia itu sungguh misterius. Satu-satunya rahasia yang hanya
diketahui oleh individu dan Tuhan tentunya.
Akhirnya
dia terbangun dan mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Dia pun
menceritakannya kepadaku.
“Aku
tidak lulus untuk menjadi atlet nasional. Bagaimana bisa aku menjadi
pesepakbola internasional? Satu, aku berkacamata. Dua, aku memang tinggi, cukup
tinggi. Tapi berat badanku tidak mencukupi. Tiga, orangtuaku lebih
menginginkanku menjadi pengusaha,” sesalnya.
Dia
mengatakan semua itu dengan mimik kecewa. Tubuhnya nampak sangat lemas ketika mengingat
semua itu. Aku sangat prihatin. Mengapa dia tidak mempertimbangkan ini dari
awal? Kalau sudah begini sulit jadinya. Dia terlanjur tercemplung ke jiwa
seorang atlet, atlet sejati. Tuhan, ini keteledoran atau cobaan? Kadang semua
yang sangat kita inginkan adalah sesuatu yang tak mungkin kita dapat. Bukan tak
mungkin, tapi jauh untuk diraih. Sesuatu yang sangat kita inginkan sangat sukar
dimilliki. Namun ketika sesuatu tersebut dijangkau, hal itu akan pergi dengan
mudahnya. Andai aku bisa membantunya. Apapun.
“Tenang,
kau cakap. Banyak yang ingin menerimamu. Carilah pekerjaan lain,” jawabku.
Akhirnya!
Dia tersenyum. Ah, manisnya! Akhirnya aku melihat dia kembali. Secara spontan
dia langsung memegang kepalaku dan mengusap rambutku. Kami pun beranjak dari
tempat yang kami duduki, berkehendak untuk melanjutkan perjalanan. Seperti
biasa, dia menaiki motornya lebih dulu dan melihatku sejenak. Aku menatapnya
dan menerima tumpangannya. Dia menyalakan mesin motor dan perjalanan dimulai
(lagi).
Tiba-tiba,
aku melihat ada truk tepat di belakang kami. Truk berwarna merah dengan pilok
hitam membentuk sebuah kata sebagai hiasan. Sungguh, warnanya itu mendukung
suasana yang mencekam. Aku menyuruh kekasihku untuk berhati-hati. Kata “hati-hati”
itu jangan disepelekan. “Hati-hati” itu lambang kekhawatiran, rasa sayang. Di
dalam “hati-hati” terdapat kata “hati”. Mungkin kata ‘hati-hati’ itu muncul
dari hati. Bisa saja hatinya sedang tegang atau was-was sehingga diucapkan dua
kali untuk menegaskan.
Dia
hanya menenangkan dan meyakinkan aku yang sangat takut. Dan dia benar, truk itu
lewat begitu saja. Sama sekali tidak berbahaya. Aku membuang napas lega. Tak
lama, kudengar suara kencang yang mengejutkan. Truk itu menabrak mobil Avanza di depan kami. Refleks, motornya
direm. Aku nyaris terpental. Untungnya aku memeluk tubuh pacarku yang kurus
tapi kuat. Aku memandang ke jalur yang berlawanan dan aku nyaris berteriak,
hanya saja tak sempat.
Aku
hanya mendengar benturan yang kedua. Lebih keras. Motor yang kami tumpangi
tertabrak oleh bus karyawan berwarna hijau dari arah berlawanan. Bus itu melaju
dengan kecepatan sangat tinggi. Motor yang sering menemani perjalananku itu
terpental. Beradu dengan roda bus yang cukup besar. Lalu tiba mobil hitam dari
belakangku nampak bingung dan malah menabrak bagian depan bus yang terhenti
itu. Mobilnya lumayan hancur, penyok. Pintu depannya lepas. Pengemudinya meninggal
dan istrinya selamat. Hari yang mendung pun menjadi gerimis.
Aku
terkapar. Setengah sadar aku menghadapkan wajahku ke samping kiri. Semua nampak
berputar, suram. Kuangkat tanganku perlahan. Aku melihat tanganku, semuanya dilumuri
warna merah. Sakit. Badanku terbujur kaku, tak bergerak. Rasanya aku ingin mati
saja. Terlebih lagi terkena cucuran hujan yang turun. Perih. Napasku terengah
dan mencoba membalikan badan ke arah kanan. Aku melihat kekasihku yang berusaha
mengangkat pintu mobil hitam yang menimpa kakinya. Dia melihatku dan memanggil
namaku. Samar. Aku yang tak berdaya menahan kesakitan hanya tersenyum dan
menutup sepasang mata yang masih kupunya.
Aku
terbangun dan suasananya sudah berbeda. Seluruhnya tampak rapi, putih, bersih. Yang
kudengar hanya suara dentingan yang biasa aku dengar di rumah sakit. Kekasihku
sedang menggenggam tangan kiriku sambil terjaga. Aku mencoba memanggilnya, tapi
aku masih terlalu lemah. Dia pun terbangun.
“Kau
sudah sadar?’ tanyanya. “Sudah tiga hari kau koma, tak mengubah posisimu yang
telentang ini.”
“Bagaimana
dengan kau? Kau tak apa-apa?” tanyaku.
“Ya,
sedikit luka ringan,” jawabnya.
Ah,
dia bohong, terlalu merendah! Dia memakai kursi roda. Ternyata kaki kanannya
lumpuh total. Sekejap melihat matanya, aku mengeluarkan setetes air yang
mengalir di pipiku setelahnya. Aku sangat sedih melihatnya. Betapa tidak, dia
tak dapat bermain sepak bola lagi.
“Ya,
tak apa. Aku sudah merelakannya. Yang penting kau selamat,” katanya. Dia memandangku
seperti memberikan petunjuk. Tapi aku tak mengerti. Tiba-tiba ada telepon yang
ditujukan untuknya. Itu dari pelatihnya. Pelatihnya meminta dia untuk bermain
sepak bola lagi. Tapi dia merasa tawarannya datang terlambat. Dia sudah
merelakan impiannya.
Aku
yang terbaring hanya melihat perubahan ekspresinya yang senang namun kecewa. Sangat
terpancar walau tersirat. Sebenarnya aku juga merasakan bentuk kecil dari
kekecewaannya itu. Aku harus dirawat sekitar dua minggu lagi. Oleh karenanya,
aku tidak dapat merasakan bangun pagi yang biasanya aku lalui. Sambutan hangat
ibuku, selimut biru kesayanganku dan lampu kamar yang mengagetkanku tak dapat
kutemui. Aku rindu. Tapi aku masih bersyukur karena aku masih bernyawa.
“Permisi,”
ada yang mengetuk pintu.
“Ya,
masuk.,” kataku mempersilakan. Ternyata ada surat datang.
“Untuk
siapa itu, Isma?” tanya kekasihku.
“Untukmu.
Di sini tertulis ‘M. Akbar’,” jawabku.
“Hah?
Dari SSB?” herannya. Dia melanjutkan dengan membuka amplop cokelat dengan tali
itu sambil menatapku. Bingung. Dia mengambil isinya, berupa surat. Aku hanya
menaikkan bahu semampuku tanda tak mengerti apa-apa. Tersenyum. Dia membaca
suratnya. Mimiknya begitu menyenangkan, sangat.
Di
suratnya tertulis: “Untuk Saudara M. Akbar, kami mohon dengan sangat untuk
menjadi pelatih pemain-pemain muda di Sekolah Sepak Bola (SSB). Anda bisa mulai
bekerja setelah Anda pulih. Tak masalah soal kaki Anda. Kami turut mendoakan
semoga Anda lekas sembuh.”
“Aku
tak percaya!” teriaknya. “Sekarang, bagaimana bisa aku melatih mereka dengan
kaki pincang seperti ini?” gumamnya.
“Kau
bisa, Cinta. Tak ada yang tak mungkin untukmu,” aku pun tersenyum bahagia.
Sungguh
senang rasanya ketika menatapnya yang sedang tersenyum puas. Ah, aku rindu
momentum ini.
Aku
pun keluar rumah sakit dengan perasaan senang, baik sekali. Walau aku turut
prihatin melihat keadaan Akbar yang kakinya tak bisa kembali. Sampailah aku di
rumahku yang kucinta. Akhirnya aku kembali ke kamar yang sempit namun
menyejukkan jiwa. Kurapikan barang-barangku yang nyaris tiga minggu tak
kusentuh sedikitpun. Aku membaringkan diri di atas kasurku yang tak begitu
empuk. Ah, ini cukup terasa empuk. Tidak ada yang bisa melebihi barang milik
pribadi, kenyamanannya memuaskan. Setelahnya, aku berkehendak untuk melanjutkan
keharusanku, membereskan pakaian dari tas.
Satu
per satu pakaianku kutaruh, kususun rapi. Ketika aku menaruh baju kemeja
kotak-kotak yang ibuku berikan, aku
menemukan barang asing di lemariku. Apa itu? Sebuah amplop? Ya, amplop
biru muda dengan tulisan “Untuk Isma”. Aku mengira surat itu dari Akbar dan itu
benar. Tulisannya kecil-kecil, rapi walau agak kekanak-kanakan. “Sungguh, kau
misterius!” gumamku sambil tersenyum.
Namun
aku tercengang ketika membaca suratnya.
“Tak sia-sia aku bersamamu,
keberuntungan selalu datang padaku.
Tak sia-sia aku membakar kaus timku,
karena aku dapat yang baru, sebagai pelatih.
Apabila aku kehilangan dirimu,
tak mungkin ada yang melihat
senyumku lagi.
Maka, tak sia-sia aku menarik paksa
kakiku
dari bawah pintu mobil hitam
untuk menyelamatkanmu yang sekarat.
Lebih baik aku korbankan kakiku dan
cita-citaku.
Akbar.”
Aku terdiam.
(Bogor, 4 April 2012)
kula boten nyangki yen setunggal waktos kisah niki ajeng dados setunggal kisah novel ingkang sae
BalasHapusmungkin untuk ukuran novel masih perlu diperbaiki dan dikembangkan lagi.
BalasHapuskeren ;)
BalasHapusTerima kasih, Nurul, sudah membaca karya ini :)
Hapus