Tak Sampai Waktunya
Oleh
Thalia Maudina
Laut mengering
meluaskan darat.
Semua terjadi
tanpa syarat.
Terasa semua
menghambat
keingin tahuan
yang berubah pekat.
Meminta sesuatu
agar menjadi erat
walau mungkin
terpikir berat.
Sulitnya, di
hati membentuk gurat.
Di mataku semua
nampak tersirat,
namun ingin
kuungkap agar tersurat.
Kucinta pelukmu,
hangat,
tapi
kelihatannya tak tertata sangat.
Harapan atau
bukan, ini takkan mati.
Layak diri
drastis mendadak sakti.
Tunggulah,
Sayang, kusediakan bukti.
Kutelaah kau
dengan hati-hati.
Kalau tiba
waktunya kumengeras bagai jati
yang bisa
sepenuhnya menghayati
sebuah tujuan
hidup yang mungkin pasti.
Walau kuragu
kita tak sama hati,
yakinku semerbak
bunga melati.
Perasaanku
sungguh benar berarti.
Tak mungkin
beralih semua simpati.
Akhirnya telah
kuteliti seluruhnya.
Sekarang
sepenuhnya diriku padanya.
Mungkin esok
hari aku ‘kan datang. Tunggu, Cinta!
Hanya mencari
detikan waktu yang tepat tentunya.
Bukan yang
biasa, tapi yang spesial kurasa.
Kuperhitungkan matang-matang
apa yang terjadi nantinnya.
Mengecilkan
kemungkinan buruk yang akan ada.
Mencerna
pengalaman pada jangka yang lama.
Di mimpiku, kau
tersenyum, berbalik dan mengatakan sama.
Sama-sama
senang, dua tepukan pun menjalin kisahnya.
Benar ternyata, berbungalah
kasih antara kita.
Cukup! Itu hanya
khayalan si Pemimpi.
Kemarin sempat
percobaan itu kuhadapi.
Ah, sudahlah!
Ini menjijikan seperti kotoran sapi.
Perkiraanku
salah besar, fatal, hancur tak rapi.
Rasanya ingin
kubakar dengan api.
Ternyata peristiwa
itu datang seolah bencana Merapi.
Harusnya dari
awal aku meresapi.
Aku tak sanggup
denganmu.
Salah! Kamu yang
tak pantas untukku.
Apa maksudmu
meninggalkanku?
Sekarang hilang,
semua sayang sudah membatu.
Ini tak seronok,
ini kutukan Sang Ratu.
Bukan, bukan
dengan yang lain kau beradu,
tapi kau pergi
berkunjung ke Yang Maha Satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar