Kamis, 21 Februari 2013

Sense


Sense
Oleh Thalia Maudina
Perempuan ini tidak sedang di tempatnya, percaya atau tidak ia pasrah dengan karma. Sebut saja Dara. Segelintir air yang muncul karena siklusnya pun turun, seolah tak tahu bahwa tamu lain sedang berkunjung. Partikel gas yang tidak mau diam, dilawan oleh tekanan dan rendahnya temperatur yang sangat sesuai. Pada sebuah pijakan berbentuk anak tangga kedua dari bawah, Dara kehilangan bayangannya dan terpancarlah sebuah ilusi tak bergambar. Blur. Termangu. Terlupa bahwa seseorang berambisi untuk merangkul keelokan miliknya.
Rangkulan itu tak menggoyah sepersen pun perasaan Dara. Keteguhannya pada Pelukan yang selalu terngiang di kenangnya terlalu mendorongnya. Kuat. Sehingga semua mengibarkan bendera putih untuk itu. Namun entah apa yang menikung, orang-orang itu tetap teguh mencoba. Nyatanya, mereka tahu Dara tak akan tergapai.
Sentuhan yang cukup hangat mencolek sebuah organ tubuh Dara yang cukup peka. Merupakan ujung dari syaraf sensorik yang sangat kentara. Leher Dara memutar 90 derajat ke arah selatan. Imajinasinya dibuyarkan oleh satu organisme yang sejenis dengannya. Langit tak bosan menangis. Sungguh tak tahu waktu. Sentuhan itu semakin lama menggenggam gumpalan tangan Dara. Dara berharap bisa melepasnya. Sia-sia, ia terlanjur terikat. Sementara itu, Pelukan lain masih sulit untuk merenggang.
Manusiawi.
Raga hanya bisa menipu. Menutupi isi jiwa yang membungkam mulutnya sendiri. Berangan yang lain tidak ikut campur. Sementara rasa masih terkurung jauh di dalam penjara jiwa yang berjeruji rapat. Bagaimana bisa rasa itu terpublikasikan sementara gembok ganda belum terbuka?
Dara ragu untuk berkata. Maka ia hanya melebarkan lengkungan bibirnya sambil menipiskan mata. Kadang ia menyadari dosanya sudah menggunung sehingga sepasang pipinya tak ikhlas membantu lengkungan itu.
Lupakan.
Dimulai ketika beberapa individu bersatu dan membentuk kumpulan kecil yang memang mungil. Merupakan minoritas yang bersituasi di antara kerumunan populasi. Di sana, Dara adalah tahi lalat yang terhimpit oleh minoritas. Akhirnya ia menggabungkan dirinya dengan kaum itu. Menyerahkan seluruh raganya. Tapi, tidak mengerahkan seluruh jiwanya.
“Ya, aku hanya manusia penuh dosa yang menjijikan. Serupa dengan germo atau gigolo bahkan pelacur dan banci-banci bajingan yang tak sadar akan kekotorannya. Yang mereka lakukan hanya menjadi nokturnal penikmat kehidupan. Tanpa mengetahui isyarat manusia sekelilingnya yang melempari kertas berisikan batu yang meluncur menuju wajahnya,” gumam Dara.
Pementasan drama kehidupan yang rumit telah mengundang Dara untuk menjiwai perannya dengan sungguh rela. Pemerannya hanya pembohong, pembual, yang menggabungkan naskahnya dengan dunia nyata. Pertanyaan-pertanyaan berbau negatif yang menjalar telah melilit sebagian besar tubuh Dara namun ia tidak peduli. Bersikap santai, hanya itu yang ia lakukan.
Sentuhan hangat kembali datang dan mengulang perbuatannya. Sekarang semakin terasa, karena itu semakin dekat. Genggaman erat terasa lagi. Memancing emosi dan aura positif dengan penuh asa. Memaksa rasa. Dara terjebak antara dua pilihan yang signifikan. Mereka terurai, jelas. Berbeda. Sangat. Ya atau tidak. Aman atau dosa. Dan kali ini jebakan itu menghasut pikirannya. Untungnya itu hanya sementara. Namun terkadang hal itu kumat. Kambuh, sama halnya dengan anemia yang muncul secara tiba-tiba.
Dapat dikatakan ini adalah gejala keracunan zat penenang. Kecanduan realita indah dan terhanyutkan. Terinfeksi virus gila dan malah memasukkan diri ke kolam neraka. Memberanikan diri berenang gaya dada di cekungan kawah gunung aktif yang penuh lahar, bergejolak. Bunuh diri.
“Siapakah engkau, Sentuhan? Kau terlampau nikmat untuk dirasakan. Kau hanyalah kupon berhadiah yang terambil. Kau hanyalah undian untung-untungan. Mengapa aku harus berlari untuk ini? Jujur, aku tak dapat menghindar. Instingku sebagai manusia sangat tercerminkan di sini. Berapa makhluk yang sudah aku sakiti? Hanya karena aku ada di sisimu, padahal aku bukan hartamu. Dan untuk kalian yang di sana. Hentikan semua ini! Mungkin ini salahku, tapi ini juga salah kalian. Di lingkup ini bukan tidak ada yang salah, tapi semua dipastikan salah. Ini milikku, dan tolong urusi milikmu,” oceh Dara.
Dara mendapati dirinya nyaman. Mengalir pada genggaman si Sentuhan. Rangkulan memandangi mereka dari kejauhan, dengan tatapan sedikit mencibir. Sengaja lewat ditambah dengan memalingkan muka, sinis. Dara ingin sekali tersenyum, namun agak tertahan. Mungkin benar, apa yang kau dapatkan darinya adalah yang kau lakukan padanya. Hukum ini berlaku, bukan Hukum Newton, Bernoulli, atau Hooke sekalipun. Lebih mirip dengan efek dari Hukum Rimba, tapi tak sama. Membingungkan.
Satu lagi yang belum terkisahkan adalah Gapaian tangan yang ingin mendapat Sentuhan juga. Mungkin iri, entah. Gapaian itu berusaha meraih. Sempat ia menariknya namun lepas lagi. Sentuhan hanya tak mau. Titik.
“Lalu, mengapa kalian menghampiriku ketika kalian butuh? Di sini aku berubah, transformasi menjadi peniti. Kecil. Saat dibutuhkan, ia dicari sampai ke bawah ranjang atau sela-sela lemari. Namun saat peniti itu banyak, kalian hanya mengabaikan yang satu dan mengambil yang baru. Yang paling penting adalah ketika peniti itu karatan. Yang kalian lakukan hanya membuang dan menghina peniti itu, walau nyatanya kalian masih bisa memakainya,” kata Dara.
Gapaian hanya menggantung, sering kali ia hampir terjatuh. Tragis. Seperti modus balas dendam dari Sentuhan. Sentuhan bukan sesuatu yang pendendam. Gapaian masih berusaha meraihnya dengan caranya. Gagal. Sentuhan itu bukan sentuhan yang peka, namun ia dapat membuat orang menjadi peka. Gapaian yang tak berhasil hanya menyesal, dan membanjiri  malamnya dengan air mata. Yang ia lihat hanya Dara, terkesan merampas hak miliknya. Mengambil seluruh sentuhan yang seharusnya ia terima.
Dara termenung.
Semua terserah pada Dara. Dara akan terus berbelok dan membentuk lingkaran. Padahal terdapat jalan yang lebih lurus yang belum Dara injak. Prihatin. Ia tak tahu arah. Jika Dara terus berputar, semua ini akan ikut berjalan. Begitu juga dengan rangkulan yang tak kunjung mendekap. Dan gapaian yang menangkap ruang hampa.
“Ini hidupku, ini kesenanganku! Entah mengapa kubahagia di atas kesedihan kalian. Keraguan membisik curahannya tepat 2 cm di depan telingaku. Di bagian kanan, ia bilang bahwa aku benar. Namun di kiri sebaliknya. Aku tidak bisa hidup hanya dengan Pelukan saja, Kawan. Aku butuh Sentuhan. Dan gapailah terus Sentuhan itu. Itu pun kalau kau bisa,” geram Dara.
Unsur itu menghantui otak Dara sekarang. Unsur yang membuat Dara nyaman. Terlalu terlarut dalam belaiannya.
“Baik, Setan. Apa maumu? Kau menang. Tak cukupkah kau hancurkan aku? Lihat! Tatap mataku, tembus hatiku. Tengok. Membusuk. Menghitam, legam. Kejam. Tajam. Menusuk semua kebagusan dan menciptakan kesenjangan. Mendalam bagi orang lain. Dan bagusnya lagi, aku hanya tertawa,” ujar Dara.
Tempat ini masih sama sejak 8 menit yang lalu. Kecepatan cucuran hujan masih serupa, mereka sanggup berpencar di tanah berumput hijau ini. Senyuman makhluk yang Dara anggap indah itu masih menghipnotis Dara untuk meniru gerakan bibirnya. Sentuhannya masih hangat. Menghentikan lamunan Dara yang nyaris tersesat ke alam sana.
Dara terperangkap. Konyol. Di ranjau yang secara kecelakaan ia buat.
Dara bermimpi, kelak, Sentuhan itu akan menjauh secara permanen dan ia akan tetap dipeluk. Mengakhiri seluruh rangkaian cerita dengan teriakan “Hore!”. Sentuhan akan menjadi kerabat dekatnya, dan Pelukan akan setia menyayanginya sampai waktunya tiba. Kalau Dara tidak bisa mewujudkan mimpi ini, maka karma yang akan ia dapat. Sadar atau karma?
“Kuharap ini kisah dongeng, dan aku tokoh utamanya,” harap Dara.
Sentuhan terus menggerogoti tangannya.
Dara, Sentuhan, dan Pelukan.

(Bogor, 10 November 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar