Sense
Oleh Thalia Maudina
Perempuan
ini tidak sedang di tempatnya, percaya atau tidak ia pasrah dengan karma. Sebut
saja Dara. Segelintir air yang muncul karena siklusnya pun turun, seolah tak
tahu bahwa tamu lain sedang berkunjung. Partikel gas yang tidak mau diam,
dilawan oleh tekanan dan rendahnya temperatur yang sangat sesuai. Pada sebuah
pijakan berbentuk anak tangga kedua dari bawah, Dara kehilangan bayangannya dan
terpancarlah sebuah ilusi tak bergambar. Blur. Termangu. Terlupa bahwa
seseorang berambisi untuk merangkul keelokan miliknya.
Rangkulan
itu tak menggoyah sepersen pun perasaan Dara. Keteguhannya pada Pelukan yang
selalu terngiang di kenangnya terlalu mendorongnya. Kuat. Sehingga semua
mengibarkan bendera putih untuk itu. Namun entah apa yang menikung, orang-orang
itu tetap teguh mencoba. Nyatanya, mereka tahu Dara tak akan tergapai.
Sentuhan
yang cukup hangat mencolek sebuah organ tubuh Dara yang cukup peka. Merupakan
ujung dari syaraf sensorik yang sangat kentara. Leher Dara memutar 90 derajat ke
arah selatan. Imajinasinya dibuyarkan oleh satu organisme yang sejenis
dengannya. Langit tak bosan menangis. Sungguh tak tahu waktu. Sentuhan itu
semakin lama menggenggam gumpalan tangan Dara. Dara berharap bisa melepasnya.
Sia-sia, ia terlanjur terikat. Sementara itu, Pelukan lain masih sulit untuk
merenggang.
Manusiawi.
Raga hanya bisa menipu. Menutupi isi
jiwa yang membungkam mulutnya sendiri. Berangan yang lain tidak ikut campur.
Sementara rasa masih terkurung jauh di dalam penjara jiwa yang berjeruji rapat.
Bagaimana bisa rasa itu terpublikasikan sementara gembok ganda belum terbuka?
Dara ragu untuk berkata. Maka ia hanya
melebarkan lengkungan bibirnya sambil menipiskan mata. Kadang ia menyadari
dosanya sudah menggunung sehingga sepasang pipinya tak ikhlas membantu
lengkungan itu.
Lupakan.
Dimulai ketika beberapa individu bersatu
dan membentuk kumpulan kecil yang memang mungil. Merupakan minoritas yang
bersituasi di antara kerumunan populasi. Di sana, Dara adalah tahi lalat yang
terhimpit oleh minoritas. Akhirnya ia menggabungkan dirinya dengan kaum itu.
Menyerahkan seluruh raganya. Tapi, tidak mengerahkan seluruh jiwanya.
“Ya, aku hanya manusia penuh dosa yang
menjijikan. Serupa dengan germo atau gigolo bahkan pelacur dan banci-banci
bajingan yang tak sadar akan kekotorannya. Yang mereka lakukan hanya menjadi
nokturnal penikmat kehidupan. Tanpa mengetahui isyarat manusia sekelilingnya
yang melempari kertas berisikan batu yang meluncur menuju wajahnya,” gumam
Dara.
Pementasan drama kehidupan yang rumit
telah mengundang Dara untuk menjiwai perannya dengan sungguh rela. Pemerannya
hanya pembohong, pembual, yang menggabungkan naskahnya dengan dunia nyata.
Pertanyaan-pertanyaan berbau negatif yang menjalar telah melilit sebagian besar
tubuh Dara namun ia tidak peduli. Bersikap santai, hanya itu yang ia lakukan.
Sentuhan hangat kembali datang dan
mengulang perbuatannya. Sekarang semakin terasa, karena itu semakin dekat.
Genggaman erat terasa lagi. Memancing emosi dan aura positif dengan penuh asa.
Memaksa rasa. Dara terjebak antara dua pilihan yang signifikan. Mereka terurai,
jelas. Berbeda. Sangat. Ya atau tidak. Aman atau dosa. Dan kali ini jebakan itu
menghasut pikirannya. Untungnya itu hanya sementara. Namun terkadang hal itu
kumat. Kambuh, sama halnya dengan anemia yang muncul secara tiba-tiba.
Dapat dikatakan ini adalah gejala
keracunan zat penenang. Kecanduan realita indah dan terhanyutkan. Terinfeksi
virus gila dan malah memasukkan diri ke kolam neraka. Memberanikan diri
berenang gaya dada di cekungan kawah gunung aktif yang penuh lahar, bergejolak.
Bunuh diri.
“Siapakah engkau, Sentuhan? Kau
terlampau nikmat untuk dirasakan. Kau hanyalah kupon berhadiah yang terambil.
Kau hanyalah undian untung-untungan. Mengapa aku harus berlari untuk ini? Jujur,
aku tak dapat menghindar. Instingku sebagai manusia sangat tercerminkan di
sini. Berapa makhluk yang sudah aku sakiti? Hanya karena aku ada di sisimu,
padahal aku bukan hartamu. Dan untuk kalian yang di sana. Hentikan semua ini!
Mungkin ini salahku, tapi ini juga salah kalian. Di lingkup ini bukan tidak ada
yang salah, tapi semua dipastikan salah. Ini milikku, dan tolong urusi
milikmu,” oceh Dara.
Dara mendapati dirinya nyaman. Mengalir
pada genggaman si Sentuhan. Rangkulan memandangi mereka dari kejauhan, dengan
tatapan sedikit mencibir. Sengaja lewat ditambah dengan memalingkan muka,
sinis. Dara ingin sekali tersenyum, namun agak tertahan. Mungkin benar, apa
yang kau dapatkan darinya adalah yang kau lakukan padanya. Hukum ini berlaku,
bukan Hukum Newton, Bernoulli, atau Hooke sekalipun. Lebih mirip dengan efek
dari Hukum Rimba, tapi tak sama. Membingungkan.
Satu lagi yang belum terkisahkan adalah
Gapaian tangan yang ingin mendapat Sentuhan juga. Mungkin iri, entah. Gapaian
itu berusaha meraih. Sempat ia menariknya namun lepas lagi. Sentuhan hanya tak
mau. Titik.
“Lalu, mengapa kalian menghampiriku
ketika kalian butuh? Di sini aku berubah, transformasi menjadi peniti. Kecil.
Saat dibutuhkan, ia dicari sampai ke bawah ranjang atau sela-sela lemari. Namun
saat peniti itu banyak, kalian hanya mengabaikan yang satu dan mengambil yang
baru. Yang paling penting adalah ketika peniti itu karatan. Yang kalian lakukan
hanya membuang dan menghina peniti itu, walau nyatanya kalian masih bisa
memakainya,” kata Dara.
Gapaian hanya menggantung, sering kali
ia hampir terjatuh. Tragis. Seperti modus balas dendam dari Sentuhan. Sentuhan
bukan sesuatu yang pendendam. Gapaian masih berusaha meraihnya dengan caranya.
Gagal. Sentuhan itu bukan sentuhan yang peka, namun ia dapat membuat orang
menjadi peka. Gapaian yang tak berhasil hanya menyesal, dan membanjiri malamnya dengan air mata. Yang ia lihat hanya
Dara, terkesan merampas hak miliknya. Mengambil seluruh sentuhan yang
seharusnya ia terima.
Dara termenung.
Semua terserah pada Dara. Dara akan
terus berbelok dan membentuk lingkaran. Padahal terdapat jalan yang lebih lurus
yang belum Dara injak. Prihatin. Ia tak tahu arah. Jika Dara terus berputar,
semua ini akan ikut berjalan. Begitu juga dengan rangkulan yang tak kunjung mendekap.
Dan gapaian yang menangkap ruang hampa.
“Ini hidupku, ini kesenanganku! Entah
mengapa kubahagia di atas kesedihan kalian. Keraguan membisik curahannya tepat
2 cm di depan telingaku. Di bagian kanan, ia bilang bahwa aku benar. Namun di
kiri sebaliknya. Aku tidak bisa hidup hanya dengan Pelukan saja, Kawan. Aku
butuh Sentuhan. Dan gapailah terus Sentuhan itu. Itu pun kalau kau bisa,” geram
Dara.
Unsur itu menghantui otak Dara sekarang.
Unsur yang membuat Dara nyaman. Terlalu terlarut dalam belaiannya.
“Baik, Setan. Apa maumu? Kau menang. Tak
cukupkah kau hancurkan aku? Lihat! Tatap mataku, tembus hatiku. Tengok. Membusuk.
Menghitam, legam. Kejam. Tajam. Menusuk semua kebagusan dan menciptakan
kesenjangan. Mendalam bagi orang lain. Dan bagusnya lagi, aku hanya tertawa,”
ujar Dara.
Tempat ini masih sama sejak 8 menit yang
lalu. Kecepatan cucuran hujan masih serupa, mereka sanggup berpencar di tanah
berumput hijau ini. Senyuman makhluk yang Dara anggap indah itu masih
menghipnotis Dara untuk meniru gerakan bibirnya. Sentuhannya masih hangat. Menghentikan
lamunan Dara yang nyaris tersesat ke alam sana.
Dara terperangkap. Konyol. Di ranjau
yang secara kecelakaan ia buat.
Dara bermimpi, kelak, Sentuhan itu akan
menjauh secara permanen dan ia akan tetap dipeluk. Mengakhiri seluruh rangkaian
cerita dengan teriakan “Hore!”. Sentuhan akan menjadi kerabat dekatnya, dan Pelukan
akan setia menyayanginya sampai waktunya tiba. Kalau Dara tidak bisa mewujudkan
mimpi ini, maka karma yang akan ia dapat. Sadar atau karma?
“Kuharap ini kisah dongeng, dan aku
tokoh utamanya,” harap Dara.
Sentuhan terus menggerogoti tangannya.
Dara, Sentuhan, dan Pelukan.
(Bogor,
10 November 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar