Kamis, 21 Februari 2013

Pengorbanan Kedua


Pengorbanan Kedua
Oleh: Thalia Maudina
            Kisahnya berangsur semakin membaik. Akbar terlihat lebih ceria sekarang. Walaupun ia sudah kehilangan salah satu kakinya, ia tetap setia dengan satu topik kegemarannya, sepak bola. Tak mau kalah setia, aku pun selalu menemani Akbar ke mana pun ia pergi, mendorong kursi rodanya. Ya, anggap saja itu adalah bentuk balas budi dariku setelah ia menyelamatkanku dari kecelakaan lalu.
            Lebih kurang dua bulan yang lalu, aku menyelesaikan kuliahku di Universitas Indonesia (UI) jurusan Kimia Organik. Ah, senangnya! Bukan karena aku lulus, tapi karena aku tak harus menunggu setiap satu semester untuk pulang dan bertemu dengan orang-orang yang aku sayangi, keluargaku dan Akbar tentunya.
            Sang pelatih, sekaligus pacarku, menampilkan performa terbaik di liga U-16 musim lalu. Maka itu, ia dikontrak oleh sekolah sepak bola (SSB) di Sentul (dekat Bogor) untuk melatih atlet-atlet di sana. Sebuah senyuman puas yang keluar dari hati yang terdalam pun terpancar pada permukaan wajahnya. Tenang, Sayang, aku akan senang bilamana kamu senang. Begitu pula apabila kamu sedih, pikiranku kacau. Tidak tenang.
            Gusar menyelimuti awan di depan mataku. Bagaimana tidak? Keberuntungan yang Akbar dapatkan nyaris ditolak mentah-mentah. Apa yang ada di dalam pikiranmu? Ayolah, hanya Sentul, dekat kok. Lebih lagi setelah ia jujur mengenai alasannya bahwa dia tidak akan pergi karena aku. Ia tidak tega meninggalkan pacarnya sendiri jauh di luar kota. Ia sekadar tak siap menghadapi hubungan jarak jauh atau biasa disebut Long Distance Relationship (LDR). Padahal, dulu kami pernah menjalani LDR. Logikanya, seharusnya ia sudah terbiasa.
            Aku terus termangu sementara Akbar bersantai ria melakukan rutinitasnya. Aneh. Seharusnya ia yang bingung, bukan aku. Setidaknya ia mempertimbangkan dahulu keputusan anehnya itu. Pihak SSB dari Sentul terus menelepon Akbar untuk menagih jawaban “ya” dari mulutnya. Usahaku membujuknya pun layak kulit pisang yang diterlantarkan begitu saja. Tak apalah kalau kulit pisang itu tidak membahayakan. Yang aku takutkan ialah, keputusannya sendiri akan menciptakan penyesalan tiada akhir seperti terpeleset karena kulit pisang yang ia lempar sendiri. Segala upaya kukeluarkan. Berharap dan berdo’a semoga ia diberi pencerahan. Bujukku, rayuku, iming-imingku, semuanya bagai sampah di matanya. Bukan hanya aku, keluarganya pun berupaya agar ia mengganti keputusannya. Aku hanya bisa menunggu sesuatu yang kupanggil “keajaiban”.
            Akhirnya perjuanganku sia-sia. Apakah ia terlalu keras kepala atau terlampau kukuh dengan pendiriannya? Entah. Kecewa. Bukan aku saja yang kecewa, tapi keluarganya juga orang-orang terdekatnya. Masalahnya, alasannya untuk tidak pergi itu sangat tidak masuk akal, hanya karena tidak mau jauh dariku. Sungguh disayangkan.
            Hari itu, aku hendak mengantar Akbar ke stadion. Oleh sebab itu, aku ke rumahnya. Ya, hitung-hitung silaturahmi, lah. Aku membuka pagar dan berjalan beberapa petak, lalu mengetuk pintu kayu berwarna cokelat lebih kurang setinggi dua meter.
            “Assalamu’alaikum,” seruku.
            “Wa’alaikumussalam, siapa?” seseorang menjawab seruan dengan agak berteriak, sepertinya itu kakaknya.
            “Isma, hmm, mau mengantar Akbar,” jawabku.
            Aku tidak mengerti, setelah aku menjawab, seisi rumah tiba-tiba hening sesaat. Tidak ada satu pun yang membukakan pintu. Tapi itu hanya sebentar. Bu Laila, ibunya Akbar, memutar gagang pintu dan perlahan tubuh Bu Laila pun jelas terlihat tepat di depanku.
            “Eh, hmm, Isma. Ayo masuk, Nak,” ucap Bu Laila.
            “I…,” belum selesai berkata “iya”, terdengar suara Akbar memotong perkataanku.
            “Tidak usah, Bu. Kami sudah mau pergi sekarang, sudah hampir terlambat,” Akbar berkata dengan sedikit hentakkan dan paras penuh dengan emosi.
            Hah? Hampir terlambat bagaimana? Acaranya kan sekitar satu jam setengah lagi. Lagipula, Akbar hanya akan mengawas tim latihan rutin. Maksudku, itu bukan acara yang sangat penting kurasa. Jadi, datang terlambat pun tak masalah. Kami pun pamit untuk berangkat.
            “Apa yang kamu lakukan? Aku rasa perlakuanmu terhadap ibumu sedikit tidak sopan,” protesku.
            “Sudah, jangan urusi yang bukan urusanmu!” Akbar mengatakan kalimatnya dengan nada yang agak tinggi.
            Akbar? Apa ini benar kau? Selama dua tahun tiga bulan ini kau tidak pernah berkata dengan nada setinggi itu. Tahukah kamu bagaimana perasaanku? Mungkin aku agak berlebihan. Hanya saja sekarang ini aku berkata jujur kalau hatiku bagai tertusuk pedang dari arah belakang dan dipukul oleh kepalan atlet Thai Boxing dari arah depan. Sakit. Entah mengapa aku sangat ingin mengeluarkan air mata saat itu. Sensitif. Ya, mungkin aku sedang sensitif. Namun tidak hanya itu, aku pun merasa ada kejanggalan yang terjadi. Apakah kejanggalan itu yang membuatku sakit?
            Sementara Akbar menjadi pengawas tim, aku berlari ke kamar ganti. Kebetulan di sana sedang tidak ada orang sama sekali. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Andai saja ruangan ini kedap suara. Aku menangis.
            Aku menyadari bahwa yang aku tangisi adalah tidak ada. Sesuatu yang tak aku mengerti dengan jelas. Ini hanya emosiku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Sabar, sabar. Ini hanya emosimu, Isma. Aku pun menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh dan mengalir di pipiku. Ketika aku hendak keluar dari ruangan tersebut, aku mendapati Akbar yang sedang mencariku di koridor.
            “Isma, aku mencarimu. Ke mana saja kau?” heran Akbar.
            “Aku… aku dari kamar kecil,” kataku dengan nada kebingungan yang mungkin tidak bisa disamarkan.
            “Kamar kecil? Apa kau yakin? Kamar kecil di ruang ganti, ya?” sindirnya.
            “Hmm, jadi, tadi itu… Maksudku aku dari kamar kecil dan aku merasa aku kehilangan syalku di ruang ganti kemarin, ya, begitu,” keringatku mulai bercucuran karena interogasi yang semakin lama semakin memanas.
            “Kukira kau tidak punya syal. Lalu kau menangis karena kehilangan syal, begitu kah? Sehingga hidungmu memerah,” tegasnya.
            Aku terdiam. Kepalaku refleks menunduk dan aku tak punya satu pun kata untuk diucapkan. Lagi-lagi air mataku keluar.
            “Sudah, aku hanya bercanda. Jangan dimasukkan ke hati. Ada apa sebenarnya?” Akbar berusaha mencairkan suasana. “Sebaiknya kita ke kursi pelatih, mari kita bicarakan ini.”
            Akbar mulai memutarkan kedua roda dari kursinya.
            “Hmm, Akbar!” aku memanggil. “Sebenarnya ada hal yang ingin aku bicarakan kepadamu,” aku berkehendak untuk mencurahkan isi hatiku.
            “Ya, aku juga,” jawabnya.
            Aku juga, katanya? Bukan jawaban itu yang aku harapkan. Sekarang aku penasaran apa yang akan ia bicarakan.
            Kami duduk di kursi pelatih sementara para pemain masih sibuk mengotak-atik bolanya ke sana ke mari. Suasananya kurang mendukung. Bayangkan saja, Sang Surya sedang sangat bersemangat menyinari Galaksi Bima Sakti. Teriknya sungguh menyengat. Silau. Udaranya sangat panas, membuatku haus. Lalu aku berdiri, merentangkan badanku sejenak dan mengibaskan tanganku berangan udara sejuk akan datang. Akbar memegang tanganku yang lain yang sedang menganggur dan pasrah menjuntai ke bawah.
            “Sayangku, apa yang terjadi?” tanya Akbar.
            “Begini, aku mendapati firasat aneh. Aku pikir, ada yang berbeda dengan keluargamu. Begitu juga denganmu,” ujarku.
            “Sungguh kebetulan,” katanya dengan nada lebih rendah.
            “Apa maksudmu? Akankah kamu jelaskan?” aku semakin penasaran.
            “Aku benci keluargaku. Setidaknya untuk saat ini,” Akbar menghentikan kalimatnya sejenak untuk menarik nafas. “Aku akan membiarkan kamu tahu, kelak.”
            Kasih! Sekarang mendadak aku yang membencimu. Inilah kebiasaanmu, membuat orang penasaran. Terpaksa aku menantikan ceritamu yang masih sangat menggantung.
            Hal tersebut nyaris aku lupakan setelah aku mendengar kabar baik untukku via telepon. Aku mendapat pekerjaan baru di salah satu SMA favorit di Bandung. Di sana, aku dipercaya untuk mengajar kimia kelas 11 (kelas 2 SMA). Ini mungkin pengalaman pertama yang cukup berharga bagiku karena sebelumnya aku tidak menyangka kalau aku akan menjadi seorang guru. Ya, walau masih tahap percobaan, aku akan lakukan yang terbaik yang kubisa.
            Ketika itu hari Selasa. Aku memberitahu Akbar bahwa aku tidak bisa mengantarnya karena aku harus memenuhi jadwal mengajarku. Aku sendiri bingung bagaimana cara ia pergi tanpa aku. Sementara itu, aku sudah memerima pesan singkatnya yang menjelaskan bahwa ia sudah ada di stadion. Syukurlah kalau begitu, mungkin ketika pulang nanti, aku akan menjemputnya.
            Tak lama telepon genggamku bergetar pertanda ada pesan. Aku mengabaikan pesan itu dan membiarkannya tidak terbuka. Bukan apa-apa, hanya saja aku sedang mengajar. Hal itu bisa mengganggu kegiatan belajar murid-muridku. Terlebih lagi aku adalah guru baru di sini. Aku harus melakukan segalanya dengan hati-hati, usahakan agar tidak menimbulkan kesalahan. Begini, aku juga pernah muda, pernah jadi murid SMA. Tahun-tahun inilah zaman-zamannya remaja ingin merasa bebas dan melakukan apa pun yang mereka inginkan. Dan saat itu, kami pernah membenci seorang guru.
Dulu, semasa aku seumuran mereka (sekitar kelas 3 SMA), ada guru sejarah baru yang mengajar di sekolahku. Sebut saja Bu R. Memang ia cukup muda, berjilbab dan berkacamata. Kelihatannya ia adalah tipe orang yang rajin membaca. Ternyata perkiraanku salah. Sepanjang jam pelajaran, ia hanya mengajar sekitar 15 menit dan sisanya ia pakai untuk bersosialisasi melalui Yahoo! Messenger (Y!M) di laptopnya. Royal sekali bukan? Saat itu penggunaan laptop masih terbilang jarang, apalagi internet. Y!M sedang marak-maraknya booming saat itu. Tentu hal itu membuat siswa-siswi SMA gusar, tidak nyaman dengan kelakuan Bu R yang melunjak. Gosip tentang Bu R menyebar ke mana-mana. Maka itulah aku tidak mau berbuat sedikit pun kesalahan sebagai guru. Apalagi kalau salahnya adalah salah memberi ilmu, sungguh itu dosa besar.
Lupakan sajalah, tidak penting. Aku hanya ingin mengingat masa lalu saja. Lucu memang. Lalu aku melihat jam tangan yang menempel di pergelangan tanganku bersama keringat dingin yang bermula dari telapak tanganku karena grogi. Dua kali empat puluh lima menit sudah kuhadapi. Lega rasanya, semua berjalan dengan mulus. Hmm, nampaknya ada yang kulupakan, tapi apa, ya. Oh ya, aku ingat, aku harus pergi ke stadion untuk menjemput Akbar.
Lokasi stadion tidak terlalu jauh dari sekolah tempat aku menyebar ilmu. Aku tak sabar untuk bertemu Akbar dan bercerita tentang aku yang mengajar dengan lancar tadi. Aku sampai di depan pintu masuk stadion dan memandang plang dari nama stadion yang terpampang besar sebentar. Senyumanku melebar seketika. Aku masuk ke stadion agak berlari seperti anak-anak. Konyol, bukan? Tetapi suasana tersebut berhenti mendadak ketika aku melihat ada perempuan lain yang memegangi kursi roda Akbar yang tak lain dan tak bukan adalah kakaknya Akbar, Mbak Dwi.
Suasananya bercampur dengan aura negatif. Aku tidak mengerti mengapa demikian. Mbak Dwi menatapku dari kejauhan sekitar 9 meter, mungkin lebih. Namun aku dapat melihat dengan jelas parasnya yang muram dan tatapan mata tajam berlapis sinis tertuju ke arah mataku. Aku mendekati sepasang kakak-adik tersebut. Aku berjalan 180o agak menunduk karena aku tidak kuasa menatap mata Mbak Dwi. Di sana terdapat Akbar yang memandangku dan sepertinya ia berkata “sial” yang bisa aku baca dari gerakan mulutnya. Ia mengepal tangan kanannya lalu memukul pahanya.
Aku pun berada tepat di depan mereka. Akbar hanya diam tanpa satu kata pun ia keluarkan. Mbak Dwi membisikkan Akbar sesuatu yang sama sekali aku tidak tahu. Setelah empat detik bisikkan itu berlangsung, Akbar pun segera berbalik dan meninggalkan kami, Mbak Dwi dan aku, berdua. Jantungku berdebar sangat kencang. Dag dig dug. Kekencangannya mengerikan sampai-sampai aku merasakannya di kakiku. Kakiku bergetar, kaku namun lemas. Kudapati setetes keringat mengalir dari dahi ke arah pelipisku. Belum pernah aku seperti ini. Tuhan, mengapa kau memberi aku selimut yang penuh dengan firasat buruk dan berujung pada ke-pesimis-an. Hormon adrenalinku terlampau terpacu. Rasanya lebih dari ketika aku dikejar anjing ataupun berjalan malam sendirian. Mungkin ini agak berlebihan. Tapi itulah kenyataanya, itu yang aku rasakan saat ini.
Entah mengapa suasana semakin memanas. Mbak Dwi bilang ia ingin berkata sesuatu kepadaku, sesuatu yang agak privasi. Aku penasaran.
“Sebelumnya, Mbak mohon maaf, atas nama keluarga Akbar,” Mbak Dwi menghentikan sejenak perkataannya, dan suasana sedikit bertambah serius.
“Ya, pasti, Mbak. Lantas untuk apa Mbak memohon maaf?” tanyaku.
Suara angin terdengar jelas di telingaku. Otakku mengabaikan semua kebisingan yang dibuat oleh para pemain sepak bola. Aku hanya berkonsentrasi di lingkupku saja, antara aku dan Mbak Dwi. Kulihat perubahan ekspresi Mbak Dwi yang sangat signifikan. Auranya tampak memerah. Matanya menatapku, tajam. Sepertinya ada yang janggal. Wajahnya menghadapku jengkel. Mulutnya mulai terbuka.
“Dasar biadab, pembawa sial!” teriaknya.
Aku sempat mendengar ada suara laki-laki yang memanggilku secara bersamaan. Layaknya detikan jam yang kehabisan baterai, jantungku pun demikian. Mataku terbelalak bersamaan dengan aku yang menarik nafas namun enggan membuangnya. Kulihat atmosfer yang menghitam dan beberapa orbs yang muncul hanya karena ilusiku. Tubuhku menegak, tapi kakiku melemas. Aku nyaris tidak percaya bahwa di bawah pantopelku masih terdapat tanah yang kutapakki. Pada akhirnya semua menjadi gelap. Sangat gelap. Bahkan aku tidak merasakan kalau aku itu ada.
Saat itu aku tidak sadar dengan apa yang terjadi. Beberapa menit kemudian aku membuka mata. Ternyata aku sedang terbaring di klinik stadion. Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Aku kira stadion tidak punya klinik. Aku mencium aroma kayu putih di depan hidungku. Tak ada siapa pun di situ. Hening. Mungkin semua orang sudah pergi dan tinggal aku sendiri di stadion ini. Aku mencoba untuk beranjak dan pergi secepatnya dari tempat ini. Namun aku mendengar suara pegangan pintu yang mungkin sedang diputar dan suara mengerikan pun datang dari engsel pintu. Saking heningnya kah sampai aku dapat mendengar suara sedetail itu? Aku membaringkan lagi tubuhku yang sudah terlanjur duduk seolah-olah aku belum siuman dari ketidaksadaranku tadi. Aku memejamkan mata tanpa mengetahui siapa yang masuk ke ruangan tersebut.
“Lihat! Ia belum sadar!” suara laki-laki terdengar seperti suara Akbar.
“Lalu apa, hah? Kamu akan melaporkanku? Laporkan saja! Ia saja yang berlebihan, seperti itu saja ia langsung pingsan. Pasti ia pura-pura, pecundang,” jawab seorang perempuan, sepertinya Mbak Dwi.
“Hentikan! Tutup mulut berdosamu itu! Mbak keterlaluan! Siapa yang tidak kaget apabila dikatakan hal sekasar itu tanpa tahu sebabnya.”
“Oh, begitu? Jadi kamu lebih membela wanita jalang ini daripada kakakmu yang sudah mengenalmu seumur hidupmu? Baik. Pergi saja dengannya. Kamu sudah diracuni. Otakmu sudah dicuci. Sadarlah!”
“Cukup!”
“Lalu kamu akan melakukan apapun deminya dan mempertaruhkan nyawamu, dan…,”
“Mbak! Ini bukan salahnya, ini takdir Tuhan.”
“Baiklah, soal kecelakaan beberapa bulan lalu bisa Mbak maklumi. Itu memang bukan salah siapa pun. Tapi tentang kamu menolak pekerjaan yang sangat kamu inginkan, itu diluar batas. Alasanmu tidak mau meninggalkannya sangat tidak logis. Padahal tahun-tahun sebelumnya saja ia bisa meninggalkanmu untuk melanjutkan kuliah di UI.”
“Itu bukan urusanmu!”
“Tentu saja itu urusanku, Dik. Apa yang kamu pikirkan? Hanya saja Mbak merasa semuanya menjadi tidak beres selama ia ada di dekatmu. Pertama, kamu mengalami kecelakaan dan kehilangan satu kakimu. Kamu pun tidak bisa melanjutkan karirmu sebagai pemain bola.”
“Itu kan sudah berlalu. Lagipula aku sudah menjadi pelatih sekarang.”
“Diam kau! Jangan memotong, Mbak belum selesai. Kedua, otakmu tercuci sehingga kamu tidak menerima tawaran kerjamu. Sungguh disayangkan, itu kan masa depanmu! Bukan Mbak atau wanita itu. Mungkin pengorbanan sekali bisa dimaklumi. Tapi kali ini, sudah melampaui batas, Dik. Kedua kali itu sudah tak wajar. Pikirkanlah bahwa sebenarnya ia adalah pembawa sial!”
Aku mendengar percakapan itu, terukir di otakku dan tergores di hatiku. Kepalaku mendadak sakit, hatiku ikut sakit dan ingin segera memecahkan dirinya sendiri. Aku yang pura-pura tak sadar pun meneteskan air mata dari mata kananku dilanjutkan oleh pasangannya. Aku tidak kuat menahannya. Sepertinya aku sudah kehilangan kepercayaan dari keluarga Akbar yang telah kurajut susah payah selama dua tahun lebih. Aku sangat ingin berteriak. Tetapi ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku sehingga aku tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Sangat menyesakkan. Hidupku hancur. Seperti dunia akan berakhir. Mungkin bukan dunia, tapi diriku saja yang akan pergi. Sekali lagi aku mendengar pintu terbuka dan ditutup dengan sangat keras, seperti dihantam tornado. Sepertinya mereka sudah pergi.
Aku belum membuka mata, aku tidak sanggup. Aku mengeluarkan kesesakkanku dengan terbatuk. Air mataku mengalir sekali lagi. Kupegang dadaku diikuti dengan batuk lainnya. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang nyaman. Belaian tangan mengusap kepalaku berulang. Ketenanganku sedikit bertambah. Aku merasa lebih rileks. Akhirnya aku menyadari bahwa di dalam ruangan ini aku tidak sendiri. Pastinya ia adalah salah satu dari Akbar atau Mbak Dwi. Firasatku mengatakan itu adalah Akbar. Tidak mungkin Mbak Dwi membelaiku setulus itu. Ia mengulang belaiannya dan mencium keningku bersama dengan air matanya. Aku tersenyum sesaat. Namun hal itu hanya terjadi sebentar. Lalu terdengar bisikkan yang tertuju untukku.
“Maaf,” katanya.
Aku larut dalam kelembutannya. Tapi, tunggu sebentar, itu bukan suara Akbar! Kedengarannya itu perempuan dan sepertinya ia sedang tersenyum.
Aku berusaha membuka mata secepatnya karena panik. Namun aku hanya membukanya sedikit, aku lemas. Ternyata benar, hal yang kulupakan bukanlah pergi ke stadion, tapi aku lupa membuka pesan yang sampai saat aku mengajar tadi. Tangan kiriku yang lemah merogoh telepon genggam dan membuka pesan itu, membacanya sekilas. Dari Akbar.
“Kumohon, jangan ke stadion, Isma.”
Bertepatan dengan terbukanya mata, aku dihantam pisau yang sangat mantap tertancap di perutku. Seketika.
Ternyata itu Mbak Dwi.

(Bogor, 15 September 2012)                                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar