Pengorbanan
Kedua
Oleh:
Thalia Maudina
Kisahnya berangsur semakin membaik.
Akbar terlihat lebih ceria sekarang. Walaupun ia sudah kehilangan salah satu
kakinya, ia tetap setia dengan satu topik kegemarannya, sepak bola. Tak mau
kalah setia, aku pun selalu menemani Akbar ke mana pun ia pergi, mendorong
kursi rodanya. Ya, anggap saja itu adalah bentuk balas budi dariku setelah ia
menyelamatkanku dari kecelakaan lalu.
Lebih kurang dua bulan yang lalu,
aku menyelesaikan kuliahku di Universitas Indonesia (UI) jurusan Kimia Organik.
Ah, senangnya! Bukan karena aku lulus, tapi karena aku tak harus menunggu
setiap satu semester untuk pulang dan bertemu dengan orang-orang yang aku
sayangi, keluargaku dan Akbar tentunya.
Sang pelatih, sekaligus pacarku,
menampilkan performa terbaik di liga U-16
musim lalu. Maka itu, ia dikontrak oleh sekolah sepak bola (SSB) di Sentul
(dekat Bogor) untuk melatih atlet-atlet di sana. Sebuah senyuman puas yang
keluar dari hati yang terdalam pun terpancar pada permukaan wajahnya. Tenang,
Sayang, aku akan senang bilamana kamu senang. Begitu pula apabila kamu sedih,
pikiranku kacau. Tidak tenang.
Gusar menyelimuti awan di depan
mataku. Bagaimana tidak? Keberuntungan yang Akbar dapatkan nyaris ditolak
mentah-mentah. Apa yang ada di dalam pikiranmu? Ayolah, hanya Sentul, dekat
kok. Lebih lagi setelah ia jujur mengenai alasannya bahwa dia tidak akan pergi
karena aku. Ia tidak tega meninggalkan pacarnya sendiri jauh di luar kota. Ia
sekadar tak siap menghadapi hubungan jarak jauh atau biasa disebut Long Distance Relationship (LDR).
Padahal, dulu kami pernah menjalani LDR. Logikanya, seharusnya ia sudah
terbiasa.
Aku terus termangu sementara Akbar
bersantai ria melakukan rutinitasnya. Aneh. Seharusnya ia yang bingung, bukan
aku. Setidaknya ia mempertimbangkan dahulu keputusan anehnya itu. Pihak SSB
dari Sentul terus menelepon Akbar untuk menagih jawaban “ya” dari mulutnya.
Usahaku membujuknya pun layak kulit pisang yang diterlantarkan begitu saja. Tak
apalah kalau kulit pisang itu tidak membahayakan. Yang aku takutkan ialah,
keputusannya sendiri akan menciptakan penyesalan tiada akhir seperti terpeleset
karena kulit pisang yang ia lempar sendiri. Segala upaya kukeluarkan. Berharap
dan berdo’a semoga ia diberi pencerahan. Bujukku, rayuku, iming-imingku,
semuanya bagai sampah di matanya. Bukan hanya aku, keluarganya pun berupaya
agar ia mengganti keputusannya. Aku hanya bisa menunggu sesuatu yang kupanggil
“keajaiban”.
Akhirnya perjuanganku sia-sia.
Apakah ia terlalu keras kepala atau terlampau kukuh dengan pendiriannya? Entah.
Kecewa. Bukan aku saja yang kecewa, tapi keluarganya juga orang-orang
terdekatnya. Masalahnya, alasannya untuk tidak pergi itu sangat tidak masuk
akal, hanya karena tidak mau jauh dariku. Sungguh disayangkan.
Hari itu, aku hendak mengantar Akbar
ke stadion. Oleh sebab itu, aku ke rumahnya. Ya, hitung-hitung silaturahmi,
lah. Aku membuka pagar dan berjalan beberapa petak, lalu mengetuk pintu kayu
berwarna cokelat lebih kurang setinggi dua meter.
“Assalamu’alaikum,” seruku.
“Wa’alaikumussalam, siapa?”
seseorang menjawab seruan dengan agak berteriak, sepertinya itu kakaknya.
“Isma, hmm, mau mengantar Akbar,”
jawabku.
Aku tidak mengerti, setelah aku
menjawab, seisi rumah tiba-tiba hening sesaat. Tidak ada satu pun yang
membukakan pintu. Tapi itu hanya sebentar. Bu Laila, ibunya Akbar, memutar
gagang pintu dan perlahan tubuh Bu Laila pun jelas terlihat tepat di depanku.
“Eh, hmm, Isma. Ayo masuk, Nak,”
ucap Bu Laila.
“I…,” belum selesai berkata “iya”,
terdengar suara Akbar memotong perkataanku.
“Tidak usah, Bu. Kami sudah mau
pergi sekarang, sudah hampir terlambat,” Akbar berkata dengan sedikit hentakkan
dan paras penuh dengan emosi.
Hah? Hampir terlambat bagaimana?
Acaranya kan sekitar satu jam setengah lagi. Lagipula, Akbar hanya akan
mengawas tim latihan rutin. Maksudku, itu bukan acara yang sangat penting
kurasa. Jadi, datang terlambat pun tak masalah. Kami pun pamit untuk berangkat.
“Apa yang kamu lakukan? Aku rasa
perlakuanmu terhadap ibumu sedikit tidak sopan,” protesku.
“Sudah, jangan urusi yang bukan
urusanmu!” Akbar mengatakan kalimatnya dengan nada yang agak tinggi.
Akbar? Apa ini benar kau? Selama dua
tahun tiga bulan ini kau tidak pernah berkata dengan nada setinggi itu. Tahukah
kamu bagaimana perasaanku? Mungkin aku agak berlebihan. Hanya saja sekarang ini
aku berkata jujur kalau hatiku bagai tertusuk pedang dari arah belakang dan
dipukul oleh kepalan atlet Thai Boxing
dari arah depan. Sakit. Entah mengapa aku sangat ingin mengeluarkan air mata
saat itu. Sensitif. Ya, mungkin aku sedang sensitif. Namun tidak hanya itu, aku
pun merasa ada kejanggalan yang terjadi. Apakah kejanggalan itu yang membuatku
sakit?
Sementara Akbar menjadi pengawas
tim, aku berlari ke kamar ganti. Kebetulan di sana sedang tidak ada orang sama
sekali. Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Andai saja ruangan
ini kedap suara. Aku menangis.
Aku menyadari bahwa yang aku tangisi
adalah tidak ada. Sesuatu yang tak aku mengerti dengan jelas. Ini hanya
emosiku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Sabar, sabar. Ini hanya emosimu,
Isma. Aku pun menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh dan mengalir di pipiku.
Ketika aku hendak keluar dari ruangan tersebut, aku mendapati Akbar yang sedang
mencariku di koridor.
“Isma, aku mencarimu. Ke mana saja
kau?” heran Akbar.
“Aku… aku dari kamar kecil,” kataku
dengan nada kebingungan yang mungkin tidak bisa disamarkan.
“Kamar kecil? Apa kau yakin? Kamar
kecil di ruang ganti, ya?” sindirnya.
“Hmm, jadi, tadi itu… Maksudku aku
dari kamar kecil dan aku merasa aku kehilangan syalku di ruang ganti kemarin,
ya, begitu,” keringatku mulai bercucuran karena interogasi yang semakin lama
semakin memanas.
“Kukira kau tidak punya syal. Lalu
kau menangis karena kehilangan syal, begitu kah? Sehingga hidungmu memerah,”
tegasnya.
Aku terdiam. Kepalaku refleks
menunduk dan aku tak punya satu pun kata untuk diucapkan. Lagi-lagi air mataku
keluar.
“Sudah, aku hanya bercanda. Jangan
dimasukkan ke hati. Ada apa sebenarnya?” Akbar berusaha mencairkan suasana.
“Sebaiknya kita ke kursi pelatih, mari kita bicarakan ini.”
Akbar mulai memutarkan kedua roda
dari kursinya.
“Hmm, Akbar!” aku memanggil. “Sebenarnya
ada hal yang ingin aku bicarakan kepadamu,” aku berkehendak untuk mencurahkan
isi hatiku.
“Ya, aku juga,” jawabnya.
Aku juga, katanya? Bukan jawaban itu
yang aku harapkan. Sekarang aku penasaran apa yang akan ia bicarakan.
Kami duduk di kursi pelatih
sementara para pemain masih sibuk mengotak-atik bolanya ke sana ke mari.
Suasananya kurang mendukung. Bayangkan saja, Sang Surya sedang sangat
bersemangat menyinari Galaksi Bima Sakti. Teriknya sungguh menyengat. Silau.
Udaranya sangat panas, membuatku haus. Lalu aku berdiri, merentangkan badanku
sejenak dan mengibaskan tanganku berangan udara sejuk akan datang. Akbar
memegang tanganku yang lain yang sedang menganggur dan pasrah menjuntai ke
bawah.
“Sayangku, apa yang terjadi?” tanya
Akbar.
“Begini, aku mendapati firasat aneh.
Aku pikir, ada yang berbeda dengan keluargamu. Begitu juga denganmu,” ujarku.
“Sungguh kebetulan,” katanya dengan
nada lebih rendah.
“Apa maksudmu? Akankah kamu
jelaskan?” aku semakin penasaran.
“Aku benci keluargaku. Setidaknya
untuk saat ini,” Akbar menghentikan kalimatnya sejenak untuk menarik nafas.
“Aku akan membiarkan kamu tahu, kelak.”
Kasih! Sekarang mendadak aku yang
membencimu. Inilah kebiasaanmu, membuat orang penasaran. Terpaksa aku
menantikan ceritamu yang masih sangat menggantung.
Hal tersebut nyaris aku lupakan
setelah aku mendengar kabar baik untukku via telepon. Aku mendapat pekerjaan
baru di salah satu SMA favorit di Bandung. Di sana, aku dipercaya untuk
mengajar kimia kelas 11 (kelas 2 SMA). Ini mungkin pengalaman pertama yang
cukup berharga bagiku karena sebelumnya aku tidak menyangka kalau aku akan
menjadi seorang guru. Ya, walau masih tahap percobaan, aku akan lakukan yang
terbaik yang kubisa.
Ketika itu hari Selasa. Aku memberitahu
Akbar bahwa aku tidak bisa mengantarnya karena aku harus memenuhi jadwal
mengajarku. Aku sendiri bingung bagaimana cara ia pergi tanpa aku. Sementara
itu, aku sudah memerima pesan singkatnya yang menjelaskan bahwa ia sudah ada di
stadion. Syukurlah kalau begitu, mungkin ketika pulang nanti, aku akan
menjemputnya.
Tak lama telepon genggamku bergetar
pertanda ada pesan. Aku mengabaikan pesan itu dan membiarkannya tidak terbuka.
Bukan apa-apa, hanya saja aku sedang mengajar. Hal itu bisa mengganggu kegiatan
belajar murid-muridku. Terlebih lagi aku adalah guru baru di sini. Aku harus
melakukan segalanya dengan hati-hati, usahakan agar tidak menimbulkan
kesalahan. Begini, aku juga pernah muda, pernah jadi murid SMA. Tahun-tahun
inilah zaman-zamannya remaja ingin merasa bebas dan melakukan apa pun yang
mereka inginkan. Dan saat itu, kami pernah membenci seorang guru.
Dulu,
semasa aku seumuran mereka (sekitar kelas 3 SMA), ada guru sejarah baru yang
mengajar di sekolahku. Sebut saja Bu R. Memang ia cukup muda, berjilbab dan
berkacamata. Kelihatannya ia adalah tipe orang yang rajin membaca. Ternyata
perkiraanku salah. Sepanjang jam pelajaran, ia hanya mengajar sekitar 15 menit
dan sisanya ia pakai untuk bersosialisasi melalui Yahoo! Messenger (Y!M) di laptopnya. Royal sekali bukan? Saat itu
penggunaan laptop masih terbilang jarang, apalagi internet. Y!M sedang
marak-maraknya booming saat itu.
Tentu hal itu membuat siswa-siswi SMA gusar, tidak nyaman dengan kelakuan Bu R
yang melunjak. Gosip tentang Bu R menyebar ke mana-mana. Maka itulah aku tidak
mau berbuat sedikit pun kesalahan sebagai guru. Apalagi kalau salahnya adalah
salah memberi ilmu, sungguh itu dosa besar.
Lupakan
sajalah, tidak penting. Aku hanya ingin mengingat masa lalu saja. Lucu memang.
Lalu aku melihat jam tangan yang menempel di pergelangan tanganku bersama
keringat dingin yang bermula dari telapak tanganku karena grogi. Dua kali empat
puluh lima menit sudah kuhadapi. Lega rasanya, semua berjalan dengan mulus. Hmm,
nampaknya ada yang kulupakan, tapi apa, ya. Oh ya, aku ingat, aku harus pergi
ke stadion untuk menjemput Akbar.
Lokasi
stadion tidak terlalu jauh dari sekolah tempat aku menyebar ilmu. Aku tak sabar
untuk bertemu Akbar dan bercerita tentang aku yang mengajar dengan lancar tadi.
Aku sampai di depan pintu masuk stadion dan memandang plang dari nama stadion
yang terpampang besar sebentar. Senyumanku melebar seketika. Aku masuk ke
stadion agak berlari seperti anak-anak. Konyol, bukan? Tetapi suasana tersebut
berhenti mendadak ketika aku melihat ada perempuan lain yang memegangi kursi
roda Akbar yang tak lain dan tak bukan adalah kakaknya Akbar, Mbak Dwi.
Suasananya
bercampur dengan aura negatif. Aku tidak mengerti mengapa demikian. Mbak Dwi menatapku
dari kejauhan sekitar 9 meter, mungkin lebih. Namun aku dapat melihat dengan
jelas parasnya yang muram dan tatapan mata tajam berlapis sinis tertuju ke arah
mataku. Aku mendekati sepasang kakak-adik tersebut. Aku berjalan 180o
agak menunduk karena aku tidak kuasa menatap mata Mbak Dwi. Di sana terdapat
Akbar yang memandangku dan sepertinya ia berkata “sial” yang bisa aku baca dari
gerakan mulutnya. Ia mengepal tangan kanannya lalu memukul pahanya.
Aku
pun berada tepat di depan mereka. Akbar hanya diam tanpa satu kata pun ia
keluarkan. Mbak Dwi membisikkan Akbar sesuatu yang sama sekali aku tidak tahu.
Setelah empat detik bisikkan itu berlangsung, Akbar pun segera berbalik dan
meninggalkan kami, Mbak Dwi dan aku, berdua. Jantungku berdebar sangat kencang.
Dag dig dug. Kekencangannya mengerikan sampai-sampai aku merasakannya di
kakiku. Kakiku bergetar, kaku namun lemas. Kudapati setetes keringat mengalir
dari dahi ke arah pelipisku. Belum pernah aku seperti ini. Tuhan, mengapa kau
memberi aku selimut yang penuh dengan firasat buruk dan berujung pada
ke-pesimis-an. Hormon adrenalinku terlampau terpacu. Rasanya lebih dari ketika
aku dikejar anjing ataupun berjalan malam sendirian. Mungkin ini agak
berlebihan. Tapi itulah kenyataanya, itu yang aku rasakan saat ini.
Entah
mengapa suasana semakin memanas. Mbak Dwi bilang ia ingin berkata sesuatu
kepadaku, sesuatu yang agak privasi. Aku penasaran.
“Sebelumnya,
Mbak mohon maaf, atas nama keluarga Akbar,” Mbak Dwi menghentikan sejenak perkataannya,
dan suasana sedikit bertambah serius.
“Ya,
pasti, Mbak. Lantas untuk apa Mbak memohon maaf?” tanyaku.
Suara
angin terdengar jelas di telingaku. Otakku mengabaikan semua kebisingan yang
dibuat oleh para pemain sepak bola. Aku hanya berkonsentrasi di lingkupku saja,
antara aku dan Mbak Dwi. Kulihat perubahan ekspresi Mbak Dwi yang sangat
signifikan. Auranya tampak memerah. Matanya menatapku, tajam. Sepertinya ada
yang janggal. Wajahnya menghadapku jengkel. Mulutnya mulai terbuka.
“Dasar
biadab, pembawa sial!” teriaknya.
Aku
sempat mendengar ada suara laki-laki yang memanggilku secara bersamaan. Layaknya
detikan jam yang kehabisan baterai, jantungku pun demikian. Mataku terbelalak
bersamaan dengan aku yang menarik nafas namun enggan membuangnya. Kulihat
atmosfer yang menghitam dan beberapa orbs yang muncul hanya karena ilusiku.
Tubuhku menegak, tapi kakiku melemas. Aku nyaris tidak percaya bahwa di bawah
pantopelku masih terdapat tanah yang kutapakki. Pada akhirnya semua menjadi
gelap. Sangat gelap. Bahkan aku tidak merasakan kalau aku itu ada.
Saat
itu aku tidak sadar dengan apa yang terjadi. Beberapa menit kemudian aku
membuka mata. Ternyata aku sedang terbaring di klinik stadion. Aku belum pernah
ke tempat ini sebelumnya. Aku kira stadion tidak punya klinik. Aku mencium
aroma kayu putih di depan hidungku. Tak ada siapa pun di situ. Hening. Mungkin
semua orang sudah pergi dan tinggal aku sendiri di stadion ini. Aku mencoba
untuk beranjak dan pergi secepatnya dari tempat ini. Namun aku mendengar suara
pegangan pintu yang mungkin sedang diputar dan suara mengerikan pun datang dari
engsel pintu. Saking heningnya kah sampai aku dapat mendengar suara sedetail
itu? Aku membaringkan lagi tubuhku yang sudah terlanjur duduk seolah-olah aku
belum siuman dari ketidaksadaranku tadi. Aku memejamkan mata tanpa mengetahui
siapa yang masuk ke ruangan tersebut.
“Lihat!
Ia belum sadar!” suara laki-laki terdengar seperti suara Akbar.
“Lalu
apa, hah? Kamu akan melaporkanku? Laporkan saja! Ia saja yang berlebihan,
seperti itu saja ia langsung pingsan. Pasti ia pura-pura, pecundang,” jawab
seorang perempuan, sepertinya Mbak Dwi.
“Hentikan!
Tutup mulut berdosamu itu! Mbak keterlaluan! Siapa yang tidak kaget apabila
dikatakan hal sekasar itu tanpa tahu sebabnya.”
“Oh,
begitu? Jadi kamu lebih membela wanita jalang ini daripada kakakmu yang sudah
mengenalmu seumur hidupmu? Baik. Pergi saja dengannya. Kamu sudah diracuni.
Otakmu sudah dicuci. Sadarlah!”
“Cukup!”
“Lalu
kamu akan melakukan apapun deminya dan mempertaruhkan nyawamu, dan…,”
“Mbak!
Ini bukan salahnya, ini takdir Tuhan.”
“Baiklah,
soal kecelakaan beberapa bulan lalu bisa Mbak maklumi. Itu memang bukan salah
siapa pun. Tapi tentang kamu menolak pekerjaan yang sangat kamu inginkan, itu
diluar batas. Alasanmu tidak mau meninggalkannya sangat tidak logis. Padahal
tahun-tahun sebelumnya saja ia bisa meninggalkanmu untuk melanjutkan kuliah di
UI.”
“Itu
bukan urusanmu!”
“Tentu
saja itu urusanku, Dik. Apa yang kamu pikirkan? Hanya saja Mbak merasa semuanya
menjadi tidak beres selama ia ada di dekatmu. Pertama, kamu mengalami
kecelakaan dan kehilangan satu kakimu. Kamu pun tidak bisa melanjutkan karirmu
sebagai pemain bola.”
“Itu
kan sudah berlalu. Lagipula aku sudah menjadi pelatih sekarang.”
“Diam
kau! Jangan memotong, Mbak belum selesai. Kedua, otakmu tercuci sehingga kamu
tidak menerima tawaran kerjamu. Sungguh disayangkan, itu kan masa depanmu!
Bukan Mbak atau wanita itu. Mungkin pengorbanan sekali bisa dimaklumi. Tapi
kali ini, sudah melampaui batas, Dik. Kedua kali itu sudah tak wajar.
Pikirkanlah bahwa sebenarnya ia adalah pembawa sial!”
Aku
mendengar percakapan itu, terukir di otakku dan tergores di hatiku. Kepalaku
mendadak sakit, hatiku ikut sakit dan ingin segera memecahkan dirinya sendiri.
Aku yang pura-pura tak sadar pun meneteskan air mata dari mata kananku
dilanjutkan oleh pasangannya. Aku tidak kuat menahannya. Sepertinya aku sudah
kehilangan kepercayaan dari keluarga Akbar yang telah kurajut susah payah
selama dua tahun lebih. Aku sangat ingin berteriak. Tetapi ada sesuatu yang
mengganjal di tenggorokanku sehingga aku tidak bisa mengeluarkan suara
sedikitpun. Sangat menyesakkan. Hidupku hancur. Seperti dunia akan berakhir.
Mungkin bukan dunia, tapi diriku saja yang akan pergi. Sekali lagi aku
mendengar pintu terbuka dan ditutup dengan sangat keras, seperti dihantam
tornado. Sepertinya mereka sudah pergi.
Aku
belum membuka mata, aku tidak sanggup. Aku mengeluarkan kesesakkanku dengan
terbatuk. Air mataku mengalir sekali lagi. Kupegang dadaku diikuti dengan batuk
lainnya. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang nyaman. Belaian tangan mengusap
kepalaku berulang. Ketenanganku sedikit bertambah. Aku merasa lebih rileks.
Akhirnya aku menyadari bahwa di dalam ruangan ini aku tidak sendiri. Pastinya
ia adalah salah satu dari Akbar atau Mbak Dwi. Firasatku mengatakan itu adalah
Akbar. Tidak mungkin Mbak Dwi membelaiku setulus itu. Ia mengulang belaiannya
dan mencium keningku bersama dengan air matanya. Aku tersenyum sesaat. Namun
hal itu hanya terjadi sebentar. Lalu terdengar bisikkan yang tertuju untukku.
“Maaf,”
katanya.
Aku
larut dalam kelembutannya. Tapi, tunggu sebentar, itu bukan suara Akbar!
Kedengarannya itu perempuan dan sepertinya ia sedang tersenyum.
Aku
berusaha membuka mata secepatnya karena panik. Namun aku hanya membukanya sedikit,
aku lemas. Ternyata benar, hal yang kulupakan bukanlah pergi ke stadion, tapi
aku lupa membuka pesan yang sampai saat aku mengajar tadi. Tangan kiriku yang
lemah merogoh telepon genggam dan membuka pesan itu, membacanya sekilas. Dari
Akbar.
“Kumohon,
jangan ke stadion, Isma.”
Bertepatan
dengan terbukanya mata, aku dihantam pisau yang sangat mantap tertancap di
perutku. Seketika.
Ternyata
itu Mbak Dwi.
(Bogor,
15 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar