Kamis, 21 Februari 2013

Titik


 Titik
Oleh Thalia Maudina
            Biru menempatkan diri tepat di atas tanah sebuah negara yang bergaris khatulistiwa, terbentang melampaui kemampuan alat indera yang diciptakan berbatas. Angan-angan yang tergambar putih melengkapi keindahannya. Abstrak.
“Yang berbaris itu namanya awan bulu domba, Neng,” ucap seorang lelaki yang berusia empat tahun lebih tua dariku, A Zaki. Di sini, “Aa” adalah panggilan untuk kakak laki-laki.
Kumencari akhir dari barisan tersebut. Tak ada. Aku berlari, tetap tak kutemukan setitik pun ujungnya. Sampai pada suatu kedipan mata, timbulah beda potensial yang sangat tinggi antara awan yang bermuatan dengan sebuah benda yang terinduksi. Aku menangis. Langit pun ikut menangis.
“A, tadi teh apa?” heranku. Kala itu, suara menggelegar masih terngiang di otakku. Aku masih menangis.
Kunaon? Jempe. Bukan apa-apa itu mah. Itu teh namanya petir,” jelasnya.
A Zaki membelai rambutku yang hitam, panjang, dengan poni lurus di depannya. Perlahan hatiku mendekati ketentraman. Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kukeluarkan dengan ritme yang agak tidak selaras. Tersendat, tak lancar.
***
 “Aa!” seruku sambil mengagetkan tubuh A Zaki yang masih mengendap di kasur sore itu. Suaraku sangat melengking, senada dengan kucing yang sedang menangis. Aku senang menjahili Aa, membuatnya kesal.
“Apa atuh, Neng? Capek Aa teh,” kata A Zaki yang sedikit meredam emosinya agar adiknya tidak merasa dibentak. Ya, walau sebenarnya ia agak membentak.
Geuleuh ah! Aa mah tidur terus. Ayo main!” ajakku.
“Neng, Aa teh capek. Kamu mah belum sekolah sih, nggak ngerasain,” ujar Aa. Memang kegiatan Aa di sekolah sangat padat. Dimulai pukul setengah delapan pagi sampai satu jam setelah adzan Dzuhur. Pada hari Senin dan Kamis, Aa pulang agak sore karena menghadiri sebuah bimbingan belajar. Terkadang Aa pulang sore setelah les renang di hari Rabu. Melelahkan.
Bibirku melengkung. Bukan membentuk huruf “U”, tetapi sebaliknya. Aku melaporkan hal itu kepada Mamah. Aa pun dimarahi. Dalam hati aku tersenyum puas karena pada akhirnya Aa mau bermain denganku. Walau awalnya terkesan terpaksa.
Aa dan aku senang bermain berdua di mana pun, salah satunya bermain di kasur. Nama permainannya adalah “Stum”. Kami menggelindingkan diri dan mencoba menindih satu sama lain sambil berkata “gulitik”, maksudnya “menggelinding”, berulang-ulang.
Namun kali ini berbeda. Ya, berbeda. Kontras. Aa tidak menindihku, namun ia memelukku. Erat. Bahkan terlalu kencang. Aku mencoba melepaskan tangan Aa yang terbelit di seputar tubuhku. Tanpa aku menghabiskan banyak energi, sesuatu yang lumayan membuatku sulit bernafas itu mengendur dengan sendirinya. Perlahan lengan Aa bagaikan tak berdaya dan aku pun terbebas dari pelukannya. Terlepas. Yang kulihat saat itu ialah Aa tertidur.
Aku memutuskan untuk mengikuti Aa yang terlarut dalam dunianya, pergi ke alam bawah sadar dan terjun ke suatu tempat antah berantah. Peduli amat! The most important thing is aku ada di samping Aa sekarang, dan aku terjaga.
Tubuhku dikejutkan oleh mimpi yang luar biasa memacu hormon adrenalinku. Mimpi yang biasa datang dan menyadarkan orang untuk bangun, tak lain adalah jatuh ke dalam sebuah lubang. Tampak seperti sumur. Gelap dan dalam. Aku beranjak seketika, kakiku mengejang. Aku merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokanku. Mungkin dahak, bukan, ini teriakanku yang tertahan. Aa masih setia membaringkan diri di sebelahku.
Tunggu.
Aa tidak mengubah posisinya sedikit pun. Aku ingat betul! Wajahnya pucat dengan senyuman manis di bibir tipisnya. Kugoyangkan badan Aa sambil kupegang tangannya. Mungkin darahnya mendingin, Aa makan (atau minum, terserah) es tadi. Begitulah pikirku. Lagi-lagi aku menghadap Mamah. Mamah hanya berkata satu kalimat kemudian ia pergi.
“Ini mah bukan Aa, ini cuma boneka, Neng. Aa mah nggak akan pulang lagi. Nggak akan main sama Neng lagi,” begitu kata Mamah.
Entah apa yang terjadi, responku hanya menangis.
***
Itulah kebodohan pertamaku yang sampai saat ini terpendam di dalam benakku, menjadi batuan sedimen di jiwaku. Kebodohan yang berwujud replika sebuah enzim yang sok tahu dan malah mengikat bakteri. Aku terus menggali kebenaran yang berarti. Seiring dengan perputaran rotasi bumi yang tak akan berganti arah, aku mengetahui yang sebenarnya terjadi.
Pikiranku penuh. Hidupku jenuh. Aa pergi. Ya, ia tak pamit. Ia kabur. Ia tak mau bermain denganku lagi. Sesungguhnya aku percaya semua yang Mamah katakan. Seorang ibu tak mungkin membohongi anaknya. Aa tega! Aa jahat! Aa nggak punya hati! Aa nggak tahu diri! Di situ aku menangis (lagi). Awas, A, lihat saja. Neng bisa hidup tanpa Aa. Neng nggak hanya punya Aa. Neng punya tiga adik laki-laki sekarang, yang tinggal bersama: Dani masih kelas 3 di bangku sekolah dasar, Juna satu tahun di bawah Dani dan yang terakhir adalah Gema yang umurnya lebih kurang 4 tahun.
Kini aku di tingkat 11 sebagai penerima beasiswa salah satu sekolah bertaraf internasional. Di umurku yang sudah tak kecil lagi aku percaya kalau A Zaki masih di sini. Bodoh, bukan? Aku tahu dia hanya pergi ke luar kota atau mungkin melanjutkan studi di luar negeri. Yang jelas, Aa pasti tidak akan pergi jauh ke tempat yang tak bisa aku jangkau.
Suatu malam, aku memimpikan hal yang sama seperti mimpiku sewaktu kecil. Sekejap muncul bayangan hitam sebuah tragedi, di mana Aa meninggalkanku kala itu. Detailnya tampak nyata. Dejavu. Yang kutahu ini hanya kilasan yang kembali. Aku hanya berpikir kalau Tuhan mempunyai tujuan. Tidak mungkin Tuhan mengilhami mimpi seperti ini tanpa alasan yang pasti. Tuhan sepertinya ingin aku menemukan A Zaki, dan kami bisa melepas rindu yang terajut 12 tahun lamanya.
Penjelajahan dimulai. Dengan polosnya, aku berharap aku akan menemukan nama Zaki Syabana di Google. Dan harapan konyol itu terwujud. Tiga artikel di internet memuat nama tersebut. Dengan semangat pejuang 1945, aku mengarahkan kursor ke sebuah link yang terkait dengan nama Zaki Syabana. Ditulis bahwa Zaki Syabana adalah seorang Blogger yang sukses karena tulisannya. Usianya tepat empat tahun di atasku. Tersurat bahwa ia dari Tangerang.
Kususuli raga seorang Zaki Syabana ke lokasi yang tertera. Aku bolos sekolah. Hanya untuk ini? Konyol, sangat konyol untuk penerima beasiswa yang “seharusnya” lebih berpikir. Orang tuaku mengira kalau aku sedang camping di Gunung Salak, gunung yang terkenal misterius. Peduli amat, aku bahkan tidak menaiki pesawat Sukhoi. Mungkin kalau aku tak kembali dari Tangerang, Mamah dan Ayah hanya berprediksi kalau aku mati membusuk dan tidak ditemukan jasadnya.
Itu adalah kali pertama aku ke luar provinsi sendirian, kali pertama aku menaruh telapak kakiku di tanah Banten, dengan ongkos pas-pasan. Dan tahu apa yang terjadi? Hujan. Bagus, sekarang aku kedinginan dan kebingungan. Aku mengingat kenangan yang ada di memoriku bersama Aa. Sementara itu, kilatan merusak mataku diiringi oleh bunyi dengan cepat rambat 340 meter per detik, sama seperti yang aku dengar dulu. Petir. Sejak kecil aku takut dengan petir (semenjak aku mendengar petir pertama bersama Aa). Ya, phobia. Harusnya Aa sekarang sedang mengelus rambutku. Air mataku menetes berbalapan dengan gerombolan hujan yang membasahi pipiku. Banjir. Hah, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta saja. Entah mengapa ini terjadi. Antara aku takut petir dan aku yang rindu kehadiran Aa. Yang jelas, jantungku masih berdetak, namun dua kali lebih kencang. Lama-lama aku lemas.
Tak terasa satu minggu penantianku. Zaki Syabana hanyalah harapan kosong. Sial. Aku tak punya apa-apa. Aku meninggalkan kewajiban pokok yang termasuk dalam ciri-ciri makhluk hidup, yakni makan dan minum. Bahkan aku lupa bagaimana caranya untuk bernafas. Singkat cerita aku sudah tak berada di rumah, Banten, atau Gunung Salak sekali pun. Ini tho yang namanya “pinter keblinger”.
Sekarang aku tersesat. Hey, tempat ini menakjubkan, bersih, namun suram. Perlahan warna hitam mengelilingiku. Kulihat sesosok lelaki yang berdiri membelakangiku, difokuskan dengan bulatan cahaya yang hanya mengarah ke tubuhnya. Posturnya tinggi, aku merasa ada hubungan antara aku dengannya. Ia berbalik dan mataku terbelalak. Mata itu, bibir itu, senyuman itu, aku mengenalnya! Aa! Ya, itu Aa! Benarkah ini terjadi? Apa aku bermimpi? Bisa jadi. Tak apa, lah, yang penting aku bertemu dengan Aa. Baju koko putihnya menyentuh kulitku beserta kehangatan tubuhnya yang memelukku. Aku puas. Perjuanganku tak sia-sia! Neng sayang Aa! Neng kangen Aa! Aa, please jangan pergi lagi.
Kenyataannya aku sedang bersatu dengan tanah, diikuti air hujan yang berawankan 3 pasang mata adik-adikku. Tertulis namaku, Amalia Safarina. Mamah dan Ayah hanya melihat, tanpa kata, seolah tidak percaya dengan bertemunya aku dan Aa.
***
Baik, ini adalah sebuah kisah, benar-benar kisah yang ada. Umurku masih di bawah aturan KTP. Aku menjalani hidupku penuh dengan kesenangan. Bermain, bermain, bermain lagi. Itulah keseharianku. Aku hanyalah segumpal tanah yang mungkin masih bodoh. Ini sungguh memalukan, sangat. Ketidakmengertianku akan apa itu hidup adalah satu-satunya kebodohan yang menjalari tubuhku dan meracuni otakku, bahkan hingga detik ini. Kebodohan yang aku bicarakan bukan apa-apa, hanya kebodohan yang disebut “sayang". Sesuatu yang sederhana, namun rumit untuk dijelaskan. Rasa sayangku terhadap Aa melampaui segalanya, bahkan melebihi rasa sayang pada diriku sendiri. Terkadang suatu hal yang positif dapat berubah menjadi negatif. Jelas, keindahan mungkin bagus di mata. Namun tatkala segalanya muncul berlebihan, keindahan itu menjadi petaka. Manakala semua ini terjadi, yang kugumamkan hanya, “Lantas, untuk apa aku dilahirkan?”.
Usaha untuk mencoba itu memang diperlukan dan merupakan hal yang baik, bukan keriaan yang tercela. Usahaku keterlaluan, sampai aku tidak ingat bahwa tertulis kata “pasrah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Aku tidak sadar bahwa tercipta kata “rela” di dunia ini. Aku layak tak mengerti apa itu “takdir”. Aku tak tahu bahwa yang aku cari selama ini adalah tidak ada. Mungkin apabila ada mata pelajaran “Ilmu Ikhlas” di sekolah, nilaiku menyerupai bentuk telur, nol.
Aku masih ragu kalau ada batas yang memperjauh jarak antara aku dan Aa. Sebuah bulatan kecil yang mendominasi karya tulis, terfokus di ujung. Sesuatu yang mengakhiri sebuah kehidupan dan memulai peradaban baru di alam yang kekal. Sesuatu yang memisahkan dua dunia. Sesuatu yang jika jumlahnya banyak akan membentuk garis berupa serangkai tangisan dan seikat bunga hitam. Sesuatu yang memisahkan manusia dengan gelar yang dicapainya di bumi. Sesuatu yang mempersingkat kata-kata yang terajut dalam usia. Sesuatu yang memisahkan antara jam dan menit, antara menit dan detik yang terus bergerak memutari keliling lingkaran jam.
Titik.

(Bogor, 24 Oktober 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar