Titik
Oleh Thalia Maudina
Biru menempatkan diri tepat di atas
tanah sebuah negara yang bergaris khatulistiwa, terbentang melampaui kemampuan
alat indera yang diciptakan berbatas. Angan-angan yang tergambar putih
melengkapi keindahannya. Abstrak.
“Yang berbaris itu namanya awan bulu
domba, Neng,” ucap seorang lelaki yang berusia empat tahun lebih tua dariku, A
Zaki. Di sini, “Aa” adalah panggilan untuk kakak laki-laki.
Kumencari akhir dari barisan tersebut.
Tak ada. Aku berlari, tetap tak kutemukan setitik pun ujungnya. Sampai pada
suatu kedipan mata, timbulah beda potensial yang sangat tinggi antara awan yang
bermuatan dengan sebuah benda yang terinduksi. Aku menangis. Langit pun ikut
menangis.
“A, tadi teh apa?” heranku. Kala itu, suara menggelegar masih terngiang di
otakku. Aku masih menangis.
“Kunaon?
Jempe. Bukan apa-apa itu mah. Itu
teh namanya petir,” jelasnya.
A Zaki membelai rambutku yang hitam,
panjang, dengan poni lurus di depannya. Perlahan hatiku mendekati ketentraman.
Kutarik nafas dalam-dalam, lalu kukeluarkan dengan ritme yang agak tidak
selaras. Tersendat, tak lancar.
***
“Aa!”
seruku sambil mengagetkan tubuh A Zaki yang masih mengendap di kasur sore itu.
Suaraku sangat melengking, senada dengan kucing yang sedang menangis. Aku
senang menjahili Aa, membuatnya kesal.
“Apa atuh,
Neng? Capek Aa teh,” kata A Zaki
yang sedikit meredam emosinya agar adiknya tidak merasa dibentak. Ya, walau
sebenarnya ia agak membentak.
“Geuleuh
ah! Aa mah tidur terus. Ayo
main!” ajakku.
“Neng, Aa teh capek. Kamu mah belum sekolah sih, nggak ngerasain,” ujar Aa. Memang kegiatan Aa di sekolah
sangat padat. Dimulai pukul setengah delapan pagi sampai satu jam setelah adzan
Dzuhur. Pada hari Senin dan Kamis, Aa pulang agak sore karena menghadiri sebuah
bimbingan belajar. Terkadang Aa pulang sore setelah les renang di hari Rabu.
Melelahkan.
Bibirku melengkung. Bukan membentuk
huruf “U”, tetapi sebaliknya. Aku melaporkan hal itu kepada Mamah. Aa pun
dimarahi. Dalam hati aku tersenyum puas karena pada akhirnya Aa mau bermain
denganku. Walau awalnya terkesan terpaksa.
Aa dan aku senang bermain berdua di mana
pun, salah satunya bermain di kasur. Nama permainannya adalah “Stum”. Kami
menggelindingkan diri dan mencoba menindih satu sama lain sambil berkata “gulitik”, maksudnya “menggelinding”,
berulang-ulang.
Namun kali ini berbeda. Ya, berbeda.
Kontras. Aa tidak menindihku, namun ia memelukku. Erat. Bahkan terlalu kencang.
Aku mencoba melepaskan tangan Aa yang terbelit di seputar tubuhku. Tanpa aku
menghabiskan banyak energi, sesuatu yang lumayan membuatku sulit bernafas itu mengendur
dengan sendirinya. Perlahan lengan Aa bagaikan tak berdaya dan aku pun terbebas
dari pelukannya. Terlepas. Yang kulihat saat itu ialah Aa tertidur.
Aku memutuskan untuk mengikuti Aa yang
terlarut dalam dunianya, pergi ke alam bawah sadar dan terjun ke suatu tempat
antah berantah. Peduli amat! The most
important thing is aku ada di samping Aa sekarang, dan aku terjaga.
Tubuhku dikejutkan oleh mimpi yang luar
biasa memacu hormon adrenalinku. Mimpi yang biasa datang dan menyadarkan orang
untuk bangun, tak lain adalah jatuh ke dalam sebuah lubang. Tampak seperti
sumur. Gelap dan dalam. Aku beranjak seketika, kakiku mengejang. Aku merasakan
sesuatu mengganjal di tenggorokanku. Mungkin dahak, bukan, ini teriakanku yang
tertahan. Aa masih setia membaringkan diri di sebelahku.
Tunggu.
Aa tidak mengubah posisinya sedikit pun.
Aku ingat betul! Wajahnya pucat dengan senyuman manis di bibir tipisnya.
Kugoyangkan badan Aa sambil kupegang tangannya. Mungkin darahnya mendingin, Aa
makan (atau minum, terserah) es tadi. Begitulah pikirku. Lagi-lagi aku
menghadap Mamah. Mamah hanya berkata satu kalimat kemudian ia pergi.
“Ini mah
bukan Aa, ini cuma boneka, Neng. Aa mah nggak
akan pulang lagi. Nggak akan main
sama Neng lagi,” begitu kata Mamah.
Entah apa yang terjadi, responku hanya
menangis.
***
Itulah kebodohan pertamaku yang sampai
saat ini terpendam di dalam benakku, menjadi batuan sedimen di jiwaku. Kebodohan
yang berwujud replika sebuah enzim yang sok tahu dan malah mengikat bakteri. Aku
terus menggali kebenaran yang berarti. Seiring dengan perputaran rotasi bumi
yang tak akan berganti arah, aku mengetahui yang sebenarnya terjadi.
Pikiranku penuh. Hidupku jenuh. Aa
pergi. Ya, ia tak pamit. Ia kabur. Ia tak mau bermain denganku lagi.
Sesungguhnya aku percaya semua yang Mamah katakan. Seorang ibu tak mungkin
membohongi anaknya. Aa tega! Aa jahat! Aa nggak
punya hati! Aa nggak tahu diri! Di
situ aku menangis (lagi). Awas, A, lihat saja. Neng bisa hidup tanpa Aa. Neng nggak hanya punya Aa. Neng punya tiga
adik laki-laki sekarang, yang tinggal bersama: Dani masih kelas 3 di bangku
sekolah dasar, Juna satu tahun di bawah Dani dan yang terakhir adalah Gema yang
umurnya lebih kurang 4 tahun.
Kini aku di tingkat 11 sebagai penerima
beasiswa salah satu sekolah bertaraf internasional. Di umurku yang sudah tak
kecil lagi aku percaya kalau A Zaki masih di sini. Bodoh, bukan? Aku tahu dia
hanya pergi ke luar kota atau mungkin melanjutkan studi di luar negeri. Yang jelas,
Aa pasti tidak akan pergi jauh ke tempat yang tak bisa aku jangkau.
Suatu malam, aku memimpikan hal yang
sama seperti mimpiku sewaktu kecil. Sekejap muncul bayangan hitam sebuah
tragedi, di mana Aa meninggalkanku kala itu. Detailnya tampak nyata. Dejavu.
Yang kutahu ini hanya kilasan yang kembali. Aku hanya berpikir kalau Tuhan
mempunyai tujuan. Tidak mungkin Tuhan mengilhami mimpi seperti ini tanpa alasan
yang pasti. Tuhan sepertinya ingin aku menemukan A Zaki, dan kami bisa melepas
rindu yang terajut 12 tahun lamanya.
Penjelajahan dimulai. Dengan polosnya,
aku berharap aku akan menemukan nama Zaki Syabana di Google. Dan harapan konyol itu terwujud. Tiga artikel di internet
memuat nama tersebut. Dengan semangat pejuang 1945, aku mengarahkan kursor ke
sebuah link yang terkait dengan nama
Zaki Syabana. Ditulis bahwa Zaki Syabana adalah seorang Blogger yang sukses karena tulisannya. Usianya tepat empat tahun di
atasku. Tersurat bahwa ia dari Tangerang.
Kususuli raga seorang Zaki Syabana ke
lokasi yang tertera. Aku bolos sekolah. Hanya untuk ini? Konyol, sangat konyol
untuk penerima beasiswa yang “seharusnya” lebih berpikir. Orang tuaku mengira
kalau aku sedang camping di Gunung
Salak, gunung yang terkenal misterius. Peduli amat, aku bahkan tidak menaiki
pesawat Sukhoi. Mungkin kalau aku tak kembali dari Tangerang, Mamah dan Ayah
hanya berprediksi kalau aku mati membusuk dan tidak ditemukan jasadnya.
Itu adalah kali pertama aku ke luar
provinsi sendirian, kali pertama aku menaruh telapak kakiku di tanah Banten,
dengan ongkos pas-pasan. Dan tahu apa yang terjadi? Hujan. Bagus, sekarang aku
kedinginan dan kebingungan. Aku mengingat kenangan yang ada di memoriku bersama
Aa. Sementara itu, kilatan merusak mataku diiringi oleh bunyi dengan cepat
rambat 340 meter per detik, sama seperti yang aku dengar dulu. Petir. Sejak
kecil aku takut dengan petir (semenjak aku mendengar petir pertama bersama Aa).
Ya, phobia. Harusnya Aa sekarang
sedang mengelus rambutku. Air mataku menetes berbalapan dengan gerombolan hujan
yang membasahi pipiku. Banjir. Hah, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta saja.
Entah mengapa ini terjadi. Antara aku takut petir dan aku yang rindu kehadiran
Aa. Yang jelas, jantungku masih berdetak, namun dua kali lebih kencang.
Lama-lama aku lemas.
Tak terasa satu minggu penantianku. Zaki
Syabana hanyalah harapan kosong. Sial. Aku tak punya apa-apa. Aku meninggalkan
kewajiban pokok yang termasuk dalam ciri-ciri makhluk hidup, yakni makan dan
minum. Bahkan aku lupa bagaimana caranya untuk bernafas. Singkat cerita aku
sudah tak berada di rumah, Banten, atau Gunung Salak sekali pun. Ini tho yang namanya “pinter keblinger”.
Sekarang aku tersesat. Hey, tempat ini
menakjubkan, bersih, namun suram. Perlahan warna hitam mengelilingiku. Kulihat
sesosok lelaki yang berdiri membelakangiku, difokuskan dengan bulatan cahaya
yang hanya mengarah ke tubuhnya. Posturnya tinggi, aku merasa ada hubungan
antara aku dengannya. Ia berbalik dan mataku terbelalak. Mata itu, bibir itu,
senyuman itu, aku mengenalnya! Aa! Ya, itu Aa! Benarkah ini terjadi? Apa aku
bermimpi? Bisa jadi. Tak apa, lah, yang penting aku bertemu dengan Aa. Baju
koko putihnya menyentuh kulitku beserta kehangatan tubuhnya yang memelukku. Aku
puas. Perjuanganku tak sia-sia! Neng sayang Aa! Neng kangen Aa! Aa, please jangan pergi lagi.
Kenyataannya aku sedang bersatu dengan
tanah, diikuti air hujan yang berawankan 3 pasang mata adik-adikku. Tertulis
namaku, Amalia Safarina. Mamah dan Ayah hanya melihat, tanpa kata, seolah tidak
percaya dengan bertemunya aku dan Aa.
***
Baik, ini adalah sebuah kisah,
benar-benar kisah yang ada. Umurku masih di bawah aturan KTP. Aku menjalani
hidupku penuh dengan kesenangan. Bermain, bermain, bermain lagi. Itulah
keseharianku. Aku hanyalah segumpal tanah yang mungkin masih bodoh. Ini sungguh
memalukan, sangat. Ketidakmengertianku akan apa itu hidup adalah satu-satunya
kebodohan yang menjalari tubuhku dan meracuni otakku, bahkan hingga detik ini. Kebodohan
yang aku bicarakan bukan apa-apa, hanya kebodohan yang disebut “sayang".
Sesuatu yang sederhana, namun rumit untuk dijelaskan. Rasa sayangku terhadap Aa
melampaui segalanya, bahkan melebihi rasa sayang pada diriku sendiri. Terkadang
suatu hal yang positif dapat berubah menjadi negatif. Jelas, keindahan mungkin
bagus di mata. Namun tatkala segalanya muncul berlebihan, keindahan itu menjadi
petaka. Manakala semua ini terjadi, yang kugumamkan hanya, “Lantas, untuk apa
aku dilahirkan?”.
Usaha untuk mencoba itu memang
diperlukan dan merupakan hal yang baik, bukan keriaan yang tercela. Usahaku
keterlaluan, sampai aku tidak ingat bahwa tertulis kata “pasrah” dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Aku tidak sadar bahwa tercipta kata “rela” di dunia
ini. Aku layak tak mengerti apa itu “takdir”. Aku tak tahu bahwa yang aku cari
selama ini adalah tidak ada. Mungkin apabila ada mata pelajaran “Ilmu Ikhlas”
di sekolah, nilaiku menyerupai bentuk telur, nol.
Aku masih ragu kalau ada batas yang memperjauh
jarak antara aku dan Aa. Sebuah bulatan kecil yang mendominasi karya tulis,
terfokus di ujung. Sesuatu yang mengakhiri sebuah kehidupan dan memulai
peradaban baru di alam yang kekal. Sesuatu yang memisahkan dua dunia. Sesuatu yang
jika jumlahnya banyak akan membentuk garis berupa serangkai tangisan dan seikat
bunga hitam. Sesuatu yang memisahkan manusia dengan gelar yang dicapainya di
bumi. Sesuatu yang mempersingkat kata-kata yang terajut dalam usia. Sesuatu
yang memisahkan antara jam dan menit, antara menit dan detik yang terus
bergerak memutari keliling lingkaran jam.
Titik.
(Bogor, 24 Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar