Kamis, 21 Februari 2013

Perjalanan Manusia Terbukti Sangat Penuh dengan Analogi yang Dibuat-buat Adanya


Perjalanan Manusia Terbukti Sangat Penuh dengan Analogi yang Dibuat-buat Adanya
Oleh Thalia Maudina
Asumsikan hidup ini penuh dengan analogi. Tak menghiraukan apa yang sedang dikisahkan. Yang jelas ini hanyalah perumpamaan yang terdapat pada diri manusia dan dunianya. Sesungguhnya animasi yang terdapat di depan mata adalah lensa kamera yang rusak.
            Keseharian yang tidak akan pernah mundur akan terus merayap melalui tambang waktu yang entah seberapa panjang. Bersamaan dengan itu, tambang yang sudah tersentuh akan terbakar dengan sendirinya dengan kecepatan yang labil. Yang harus manusia lakukan adalah mempertahankan laju rayapan agar tidak terkena api masa lalu.
            Semakin lama diameter tambang itu akan mengecil dan tingginya membentuk grafik menurun, setara dengan tulang manusia yang semakin tua akan menjadi bungkuk. Dan ujung tambang itu terikat dengan sebuah pohon yang lahir bersamaan dengan orang yang merayap tersebut. Sebut saja pohon itu takdir.
            Cerita mencapai klimaks saat manusia berada di tengah jalan. Entah apa yang terjadi, namun api menunjukan akselerasi yang terus bertambah. Manusia harus berlari. Terbuktilah adanya seleksi alam.
            Siapa saja yang mampu berlari lebih cepat dari api, maka ia berhak untuk melanjutkan perjalanannya ke tahap berikutnya. Manusia yang satu ini akan mencapai takdir pada waktunya, sesuai dengan apa yang seharusnya. Ia mengusahakan segala probabilitas positif yang ia yakini akan terjadi. Dan yang ia dapatkan adalah antiklimaks. Pada akhirnya, hidupnya berakhir seperti cerita fiksi untuk anak-anak yang berakhir dengan kalimat “Happily ever after”.
            Ada lagi yang mengetahui apinya melaju cepat tetapi ia tetap berjalan. Ia hanya menunggu apakah api itu akan menyentuh tangannya atau tidak. Ia tidak peduli dengan rasa sakit yang akan ditimbulkan. Dan ketika waktunya api itu mencolek bagian tubuhnya, ia hanya memaklumi bahwa “memang itulah yang seharusnya aku dapatkan”.
            Kalau manusia yang ini adalah manusia yang hanya diam sementara api masih labil. Sebenarnya alasan pertamanya sederhana. Ia pasrah. Dan yang kedua, ia bingung untuk menentukan pilihan antara dua arah. Apa yang harus ia pilih? Apakah maju, atau mundur? Karena sejujurnya ia masih tak rela untuk meninggalkan kenangan manis di belakang walau itu akan melukai seluruh tubuhnya dengan luka bakar.
            Yang terakhir adalah orang yang benar-benar yakin bahwa ia dapat melewati api tersebut dan ia percaya bahwa ia bisa mengembalikan masa lalu. Ia ingin kembali dan ia berlari untuk mencapai masa lalu itu. Singkat cerita, ia berhasil melewati tambang berapi itu namun disertai takdir yang memberhentikan ia cukup di situ.
            Perumpamaan ini terlalu jelas untuk ditafsirkan tidak seperti karya-karya ternama milik Chairil Anwar atau pujangga-pujangga lain yang sudah tinggal nama, benar-benar tinggal nama. Dan ini hanya pemikiran yang sekilat datang menyertaiku, tidak seberharga karya terkenal. Ditulis dengan font Times New Roman 12, margin Normal dan spasi 1,5. Begitu singkat.

(Cimahi, 24 Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar