Perjalanan
Manusia Terbukti Sangat Penuh dengan Analogi yang Dibuat-buat Adanya
Oleh
Thalia Maudina
Asumsikan
hidup ini penuh dengan analogi. Tak menghiraukan apa yang sedang dikisahkan.
Yang jelas ini hanyalah perumpamaan yang terdapat pada diri manusia dan
dunianya. Sesungguhnya animasi yang terdapat di depan mata adalah lensa kamera
yang rusak.
Keseharian yang tidak akan pernah
mundur akan terus merayap melalui tambang waktu yang entah seberapa panjang.
Bersamaan dengan itu, tambang yang sudah tersentuh akan terbakar dengan
sendirinya dengan kecepatan yang labil. Yang harus manusia lakukan adalah
mempertahankan laju rayapan agar tidak terkena api masa lalu.
Semakin lama diameter tambang itu
akan mengecil dan tingginya membentuk grafik menurun, setara dengan tulang
manusia yang semakin tua akan menjadi bungkuk. Dan ujung tambang itu terikat
dengan sebuah pohon yang lahir bersamaan dengan orang yang merayap tersebut.
Sebut saja pohon itu takdir.
Cerita mencapai klimaks saat manusia
berada di tengah jalan. Entah apa yang terjadi, namun api menunjukan akselerasi
yang terus bertambah. Manusia harus berlari. Terbuktilah adanya seleksi alam.
Siapa saja yang mampu berlari lebih
cepat dari api, maka ia berhak untuk melanjutkan perjalanannya ke tahap
berikutnya. Manusia yang satu ini akan mencapai takdir pada waktunya, sesuai
dengan apa yang seharusnya. Ia mengusahakan segala probabilitas positif yang ia
yakini akan terjadi. Dan yang ia dapatkan adalah antiklimaks. Pada akhirnya,
hidupnya berakhir seperti cerita fiksi untuk anak-anak yang berakhir dengan
kalimat “Happily ever after”.
Ada lagi yang mengetahui apinya
melaju cepat tetapi ia tetap berjalan. Ia hanya menunggu apakah api itu akan
menyentuh tangannya atau tidak. Ia tidak peduli dengan rasa sakit yang akan
ditimbulkan. Dan ketika waktunya api itu mencolek bagian tubuhnya, ia hanya
memaklumi bahwa “memang itulah yang seharusnya aku dapatkan”.
Kalau manusia yang ini adalah
manusia yang hanya diam sementara api masih labil. Sebenarnya alasan pertamanya
sederhana. Ia pasrah. Dan yang kedua, ia bingung untuk menentukan pilihan
antara dua arah. Apa yang harus ia pilih? Apakah maju, atau mundur? Karena
sejujurnya ia masih tak rela untuk meninggalkan kenangan manis di belakang
walau itu akan melukai seluruh tubuhnya dengan luka bakar.
Yang terakhir adalah orang yang
benar-benar yakin bahwa ia dapat melewati api tersebut dan ia percaya bahwa ia
bisa mengembalikan masa lalu. Ia ingin kembali dan ia berlari untuk mencapai
masa lalu itu. Singkat cerita, ia berhasil melewati tambang berapi itu namun
disertai takdir yang memberhentikan ia cukup di situ.
Perumpamaan ini terlalu jelas untuk
ditafsirkan tidak seperti karya-karya ternama milik Chairil Anwar atau
pujangga-pujangga lain yang sudah tinggal nama, benar-benar tinggal nama. Dan
ini hanya pemikiran yang sekilat datang menyertaiku, tidak seberharga karya
terkenal. Ditulis dengan font Times New Roman 12, margin Normal dan spasi 1,5.
Begitu singkat.
(Cimahi,
24 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar