Jurnal
Harian (Tribute to Isma)
Oleh:
Thalia Maudina
“Akbar,” aku memanggil
Akbar yang sedang duduk di bangkunya. “Namamu benar Akbar, kan?”
Akbar.
Berkacamata dan berbadan kurus. Ia adalah laki-laki yang sangat pendiam dan
mungkin pemalu. Entahlah. Hanya orang terdekatnyalah yang tahu. Bayangkan saja,
dalam sehari, aku bisa menghitung dengan jari-jari di tangan kananku berapa
kali ia berbicara dengan perempuan. Sebenarnya, ia cukup manis. Namun, aku
tidak menaruh perhatian lebih sama sekali terhadapnya.
“Iya,
ada apa?” tanyanya.
“Hmm,
tak apa-apa. Hanya memastikan,” jawabanku dengan sedikit tersenyum.
Akbar
menyadari bahwa sapaanku tidak begitu berarti dan akhirnya mengalihkan
pandangan matanya ke arah lain.
Saat
itu adalah waktu istirahat. Riska, Dila dan aku biasa duduk di kursi kantin
bersama walau kami beda kelas. Riska bercerita sedikit tentang teman kelasnya,
yang tak lain adalah Akbar.
“Kau
mengenalnya?” tanyanya.
“Aku
berbicara padanya pagi tadi,” jawabku.
“Benarkah?”
Riska terlihat tidak percaya. “Kukira ia tak bisa berbicara dengan perempuan.
“Hmm,
sebenarnya ia hanya menyahut sapaanku. Sediam itu, kah? Kak Raka pun tak
mengenalnya,” jelasku.
Dila
hanya tertawa. Ia tidak berkomentar. Raka adalah teman satu angkatanku, tapi ia
terlampau dekat denganku sehingga aku menganggapnya kakak.
Begini,
sebenarnya aku melihat ada sesuatu yang berbeda dari Akbar. Sesuatu yang
spesial kurasa. Mungkin ia jarang berbicara, tapi sepertinya ia memiliki bakat
yang berbeda dari yang lain. Aku tidak tahu apa itu, tapi aku dapat
merasakannya.
***
Untuk buku harianku,
Hari
ini aku memanggil seorang laki-laki. Ia agak aneh. Bahkan ia jarang berbicara
dengan perempuan. Di sekolah aku bertanya-tanya tentangnya ke sahabatku, Riska,
yang kebetulan adalah teman sekelasnya. Aku merasa ada yang berbeda dalam
dirinya. Entah apa itu. Seiring berjalannya waktu, aku semakin penasaran
dengannya. Pokoknya, aku harus mencari tahu infomasi selengkap-lengkapnya
tentangnya, Akbar.
19 September 2006
***
Untuk buku harianku,
Tahu
tidak? Hari ini aku bercakap-cakap dengan Kak Gema. Aku merasa senang sekali!
Entah, sepertinya ada perasaan lain yang mendatangiku. Setiap ia lewat saja aku
menjadi salah tingkah. Kak Gema memberikan senyuman terbaiknya padaku siang
ini. Kakak! Tapi mengapa aku merasa seperti ini sekarang? Padahal aku mengenal
Kak Gema dari SMP. Bahkan aku pun satu ekstrakurikuler dengannya.
Oh
ya, aku baru sadar, ternyata Akbar memiliki satu ekstrakurikuler yang sama
denganku. Mengapa bisa aku baru tahu setelah satu tahun SMA?
26 September 2006
***
Untuk buku harianku,
Wah,
sepertinya aku benar suka dengan Kak Gema. Ternyata jadwal pelajaran olah raga
kelasku dan kelas Kak Gema bersamaan, hari Kamis. Keren, ya, ia lumayan jago
olah raga. Sepertinya aku sedang kasmaran. Hahaha. Bahkan aku memberitahu
teman-temanku bahwa aku menyukai Kak Gema. Gila, bukan? Aku juga memberitahu
Kak Raka tentang ini tentunya.
28 September 2006
***
Untuk buku harianku,
Kakakku
ada apa denganmu? Katanya ia sedang gusar. Ia sedang ada masalah dengan
pacarnya, Ayu. “Katanya” sih, Ayu dekat dengan teman SMP-nya dulu. Sabar ya,
Kak. Kakak, bagaimana sih? Aku sedang kasmaran-kasmarannya tetapi Kakak malah
ada masalah dengan pacar. Tidak seru!
Sore
tadi, aku bertemu Kak Gema saat karate. Tuben ia ikut latihan! Ada Akbar juga.
Tapi seperti biasa, Akbar hanya diam.
Riska,
Dila dan aku menggila sore ini. Kami membicarakan soal orang yang kami sukai di
angkutan kota. Sangat frontal! Lalu Riska dan aku menjahili Dila yang memang
tidak mempunyai satu orang pun yang disukai. Dila, Dila, coba lihat wajahmu,
hidungmu memerah layak badut.
6 Oktober 2006
***
Untuk buku harianku,
Ah,
hari ini tidak ada suatu yang mengesankan. Aku hanya melakukan keseharianku
yang biasa. Datar. Aku berangkat sekolah, upacara, pulang sekolah. Pergi ke les
bahasa Inggris. Pulang. Membosankan.
Maaf,
ya, buku harianku, tidak ada yang menarik hari ini. Terlebih lagi aku tidak
melihat batang hidung Kak Gema.
9 Oktober 2006
***
Untuk buku harianku,
Sore
ini aku pulang bersama Kak Raka dengan angkutan kota. Kebetulan “ojek
kesayangan”-nya sedang tidak datang. Coba tebak! Kakak menceritakan hubungannya
dengan Ayu. Ternyata sedang bermasalah. Malang, ya, nasib Kak Raka.
Aku
melihat Akbar sedang bermain bola dengan teman-temannya. Ternyata ia andal! Aku
sekilas terpesona denga...
***
Untuk
buku harianku,
Aku hanya ingin mencatat bahwa AKU
MENCINTAIMU, AKBAR! Terima kasih untuk hari ini. Aku harap ki…..
25
Februari 2008
***
Baik, hanya itu yang aku temukan di lacinya sampai saat
ini, tempat ia menaruh semua arsipnya, tidak begitu rapi. Banyak yang hilang,
robek, bahkan berlubang dengan bekas gigitan tikus.
Kutipan pertama adalah potongan dari
sebuah cerita pendek yang ia buat. Di sana tertulis namaku. Bahkan aku ragu
kalau itu adalah cerita pendek. Sepertinya
itu hanya oretan di buku saja. Aku menemukannya di bagian belakang buku catatan
Biologi kelas 2 SMA miliknya. Halaman ini terlipat, seolah-olah ia tidak mau
orang lain tahu tentang ini. Aku mengingat kejadian itu, saat ia memanggilku.
Ya, panggilan pertamanya untukku. Aku hanya tersenyum agak tertawa melihat
kutipan ini. Rasanya, aku kembali ke masa lalu, masa SMA. Aku membayangkan
diriku yang dahulu. Memalukan.
Kutipan kedua sampai terakhir adalah
robekan kertas, mungkin dari buku hariannya. Tapi mengapa hanya halaman-halaman
ini saja yang ada? Mengapa hanya halaman-halaman ini yang ia robek? Ke mana
buku hariannya, sumber robekannya? Aku belum bisa menemukannya. Mungkin aku
sedikit gila karena kukuh dengan pendirianku untuk tetap mencari arsip yang
dimulai enam tahun lalu, sekitar 2006. Tapi aku harus! Bukan untuk apa-apa, ini
untuk memori.
Anehnya, aku menemukan catatan
harian yang berbeda dari yang lain. Catatan tanggal 25 Februari 2008. Catatan
yang aku temukan pada tanggal tersebut jelas membicarakanku setelah sebelumnya
ia menulis tentang Kak Gema atau Raka. Jangka waktunya cukup lama dari tahun
2006, dua tahun. Kertasnya pun berbeda. Kemungkinan ia menulisnya di buku yang
lain. Sepertinya ia mempunyai lebih dari satu buku harian. Rajinnya kau!
Kejadian di tanggal 25 Februari 2008
itu terukir di benakku juga. Kejadiannya panjang. Aku bisa menulis satu cerita
pendek untuk satu rangkaian kejadian itu. Mungkin nanti, aku bisa
menceritakannya. Yang jelas, aku harus menemukan arsip-arsip lain miliknya.
Jadi, itu adalah kekasihku, Isma. Ia
sedang terlentang tanpa daya dengan balutan kain putih yang sangat bersih. Aku
sempat tak percaya bahwa itu benar tubuhnya. Aku masih merasakan suaranya yang
selalu memanggilku, entah itu secara langsung, ataupun melalui telepon. Bahkan
aku bisa mencium aroma tubuhnya yang sangat menenangkan jiwa. Sungguh aku tidak
menyangka bahwa ini akan terjadi padanya.
Tribute
to Isma.
(Bogor,
29 September 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar