Kamis, 21 Februari 2013

Sense 2


Sense 2
Oleh Thalia Maudina
Ini sebuah kelas, dan terdapat guru di sini. Dara melirik ke arah jam tiga. Membuat pusing memang, tapi ini nyata. Dara menikmati apa yang ia anggap KARMA.
            “Ah, begini, ya, karma yang disebut-sebut. Kurasa ini membuatku lebih baik. Jika ini karma, aku harus mencari karma-karma lainnya dan hidup tentram di dunia,” remeh Dara.
            Dara berbelok lagi, terus. Pelukan sudah begitu labil, bahkan terkadang ia menganggap seorang Dara hanya sampah yang tergeletak dan perlu diinjak untuk menghilangkannya. Pelukan membenci Dara. Di sisi lain, Dara hanya tersenyum, yang ia tatap hanya Sentuhan. Konyol.
            Pilihan biasanya memang ada dua. Satunya positif, yang lainnya negatif. Namun Dara memiliki nilai tambah, sehingga Sang Guru memberi ia 4 pilihan.
            “Aku sudah puas menangis, Guru. Kau memberi aku 4 pilihan dan itu harus aku pilih sekarang juga? Mengesankan. Perlukah aku memberi standing applause? Atau tepuk kaki mungkin? Perlukah aku berdiri? Atau melepas topiku dan menunduk? Bebas! Silakan PILIH. Sebaiknya aku tertawa karena lelucon ini,” Dara semakin gila.
            Empat pilihan itu sangat sederhana. Sang Guru memaketkan sedemikian rupa sehingga mudah dicerna. Tapi semua itu hanya omong kosong. Keempatnya tak sesederhana yang Dara kira. Mungkin si Guru sudah terlalu biasa menghadapi ini sehingga beliau sedikit berdalil bahwa itu mudah.
            Diam. Dara bisa saja diam, tak usah ke mana-mana. Dara tak usah lelah menghabiskan energi yang ia punya hanya untuk masalah ini. Tunggu, energi, habis. Tidak, tidak. Energi tidak akan habis dan akan terus berjumlah sama apapun yang terjadi. Yang berlangsung hanyalah perubahan. Energi mengubah dirinya menjadi sosok yang lain, yang lebih bermanfaat, barangkali. Mungkin memang benar energi tidak mau dihilangkan, energi hanya mau berubah. Oleh karena itu, energi, yang seharusnya Dara pakai untuk memilih, akan memancing dirinya untuk transformasi menjadi sesuatu. Semacam tangisan, atau bisa jadi sakit hati.
            Pelukan. Jika Dara memilih Pelukan, ia harus sesegera mungkin membuang Sentuhan, bahkan menghapusnya dari semua pikirian. Ah, ini sulit. Pelukan sangat mengikat. Ini bukan tentang Pelukan saja, tapi tentang kenangan. Kenangan si Pelukan sudah nyaris tak terhitung dan ini menghambat perjalanan Dara yang sedang menyerong ke arah karma.
            “Seperti yang sudah kubilang, aku tidak mungkin hidup hanya dengan Pelukan. Aku tak tahan. Aku bertahan karena keduanya. Tuhan, bagaimana ini? Hah? Apa yang kukatakan tadi? Tuhan? Berani-beraninya orang gila sepertiku memanggil nama-Nya yang Maha Agung. AKU BENAR-BENAR GILA,” Dara mulai kewalahan dan tidak dapat mengontrol dirinya.
            Sentuhan. Ya, itu pilihan ketiga setelah ‘hanya diam’ dan ‘Pelukan’. Sentuhan sudah melekat. Dara merasakan ia terikat kuat oleh tambang yang Sentuhan buat untuknya. Namun, Dara belum yakin dengan tambang yang ia buat. Akankah tambang yang ia ikatkan ke diri Sentuhan akan bertahan lama? Apa itu sudah benar-benar mengikat? Entahlah, hanya Sentuhan yang dapat merasakannya. Dan Sentuhan sama sekali tidak berkicau apa pun tentang ikatan itu. Dara memang mudah terikat. Bilamana Dara memilih Sentuhan ini, ia harus melupakan Pelukan sepenuhnya karena tidak akan ada lagi Pelukan yang seperti dahulu di hidupnya. Ini lebih dari cukup menyiksa.
            “Sentuhan, aku mohon, berikan aku kepastian agar aku dapat memilih. Pilihan ini sulit. Apakah aku harus melakukan pengakuan dosa ditambah shalat istikharah dan puasa bicara dengan kostum biksuni secara bersamaan untuk ini? Semua ini bagaikan seluruh keyakinan yang aku punya terguncang walau terdapat pondasi beton cakar ayam yang terprediksi kokoh untuk menahan seluruhnya. Aku ingin ini berakhir, memulai hal yang baru. Lama-kelamaan, aku akan tenggelam dalam lumpur hidup yang aku temukan di halaman rumahku sendiri. Konyol, ya,” Dara tampak kebingungan.
            Yang terakhir adalah tidak memilih keduanya. Benar-benar sederhana tapi berat untuk dilaksanakan. Dara harus menghilangkan komunikasinya dengan Pelukan bertepatan dengan ia harus berkata selamat tinggal kepada Sentuhan. Sang Guru berharap Dara dapat menghapus coretan-coretan yang hampir memenuhi kertas putihnya walau akan tersisa bekas-bekas goresan yang alat tulis buat sebelumnya.
            Dara masih melihat ke sebelah kanannya alias arah jam 3. Ia melihat angin yang mustahil untuk dilihat. Ia dapat menyaksikan aliran udara tersebut dengan mata telanjang. Nyatanya, yang Dara hayati bukanlah angin yang sedang bertiup searah di sekitarnya. Sesuatu itu adalah Sentuhan yang masih ada di sampingnya selama pelajaran berlangsung. Yang Sentuhan biasa lakukan hanya membalas lirikan tersebut. Lalu Dara memalingkan penglihatannya dan kembali terfokus ke depan seolah-olah ia memerhatikan apa yang Guru ajarkan.
            “Sebenarnya apa yang aku rasakan? Sebenarnya aku lebih cenderung ke mana? Ini membuat otakku seolah berputar 180 derajat dan sulit untuk kembali. Semua nampak terbalik. Bahkan aku merasakan tangan kiriku sedang menulis di sebelah kanan. Intinya, aku hilang kendali. Semakin lama aku mencampakkan Pelukan dan mempedulikan Sentuhan. Benar, ini karma, bukan tahayul yang dibuat-buat,” pikir Dara.
            Hari itu memang cerah, namun bayangan Dara tetap suram sehingga ia merasa semuanya gelap. Ya, Dara tidak melepas Pelukan, tapi Pelukan yang melepas dirinya sendiri. Entah apa yang Dara sesali namun harinya benar-benar hampa. Sentuhan pun seperti ingin pergi saja, menghindar dan menghindar entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, Dara tak mau ditinggalkan. Sentuhan seperti tidak peduli, dan Pelukan berusaha hidup di dunianya sendiri.
            Kala itu, Dara ternyata memilih untuk diam terlebih dahulu sebelum ia mengambil keputusan yang lebih beresiko.
            “Aku pasrah, aku bagai tanpa tujuan. Aku hanya diam tapi tak keduanya aku raih. Aku sedang diikat di menara CN dan sulit untuk pergi. Kakiku menggantung, dan itulah diriku terlarut bersama kakiku,” keluh Dara.
            Dara mungkin memiliki keinginan yang muluk-muluk. Seharusnya ia menurut apa kata Guru, saran Guru. Sukar untuk dipercaya, sesuatu yang Dara percaya akan terjadi memang tak terjadi.
            “Sungguh ini mengosongkan harapanku selama ini. Sudahlah, benar kata Pelukan dan Sentuhan, aku terlalu banyak memikirkan tentang ini,” lanjut Dara.
            Aba-aba untuk berdiri dari ketua kelas cukup membuyarkan konsentrasi Dara yang masih memandang atmosfer.
            Pelajaran pun usai dan Dara masih belum mendapat penyelesaian. Mungkin kisah Dara ini akan terus berlanjut menjadi cerita pendek yang panjang dan bersambung setiap serinya. Dara masih yakin bahwa ia adalah tokoh utama dalam cerita ini. Jadi ia setuju bahwa kelak akan ada keajaiban yang terjadi untuknya. Dara yakin Penulis cerita akan memberikan ia sesuatu yang terbaik.
            Sayangnya, keyakinan itu telah tersamar. Kehidupan nyata baru saja menyadarkannya bahwa keajaiban itu hanya ilusi. Keajaiban itu hanya kebetulan yang datang pada waktu yang tepat. Keajaiban hanyalah mukjizat yang mungkin hanya didapatkan oleh Para Nabi. Keajaiban hanya mitos. Keajaiban itu sama sekali tidak nyata.
            “Apa aku harus mencarinya sendiri? Aku sama sekali tidak melihat pergerakan Sentuhan atau bahkan Pelukan yang sedang berusaha untukku,” Dara menundukkan kepalanya.
            Anggap saja ini mimpi. Dan Dara harap ia bisa mengendalikan mimpi. Secara tak langsung, Dara berangan untuk dapat mengendalikan perasaannya.
            Dara duduk di kelas lain dan Sentuhan masih di sampingnya.
            Dara melirik Sentuhan (lagi).

(Bogor dan Cimahi, 19 Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar