Sense
2
Oleh
Thalia Maudina
Ini
sebuah kelas, dan terdapat guru di sini. Dara melirik ke arah jam tiga. Membuat
pusing memang, tapi ini nyata. Dara menikmati apa yang ia anggap KARMA.
“Ah, begini, ya, karma yang disebut-sebut.
Kurasa ini membuatku lebih baik. Jika ini karma, aku harus mencari karma-karma
lainnya dan hidup tentram di dunia,” remeh Dara.
Dara berbelok lagi, terus. Pelukan
sudah begitu labil, bahkan terkadang ia menganggap seorang Dara hanya sampah
yang tergeletak dan perlu diinjak untuk menghilangkannya. Pelukan membenci
Dara. Di sisi lain, Dara hanya tersenyum, yang ia tatap hanya Sentuhan. Konyol.
Pilihan biasanya memang ada dua.
Satunya positif, yang lainnya negatif. Namun Dara memiliki nilai tambah,
sehingga Sang Guru memberi ia 4 pilihan.
“Aku sudah puas menangis, Guru. Kau
memberi aku 4 pilihan dan itu harus aku pilih sekarang juga? Mengesankan.
Perlukah aku memberi standing applause?
Atau tepuk kaki mungkin? Perlukah aku berdiri? Atau melepas topiku dan
menunduk? Bebas! Silakan PILIH. Sebaiknya aku tertawa karena lelucon ini,” Dara
semakin gila.
Empat pilihan itu sangat sederhana.
Sang Guru memaketkan sedemikian rupa sehingga mudah dicerna. Tapi semua itu
hanya omong kosong. Keempatnya tak sesederhana yang Dara kira. Mungkin si Guru
sudah terlalu biasa menghadapi ini sehingga beliau sedikit berdalil bahwa itu
mudah.
Diam. Dara bisa saja diam, tak usah
ke mana-mana. Dara tak usah lelah menghabiskan energi yang ia punya hanya untuk
masalah ini. Tunggu, energi, habis. Tidak, tidak. Energi tidak akan habis dan
akan terus berjumlah sama apapun yang terjadi. Yang berlangsung hanyalah
perubahan. Energi mengubah dirinya menjadi sosok yang lain, yang lebih
bermanfaat, barangkali. Mungkin memang benar energi tidak mau dihilangkan,
energi hanya mau berubah. Oleh karena itu, energi, yang seharusnya Dara pakai
untuk memilih, akan memancing dirinya untuk transformasi menjadi sesuatu.
Semacam tangisan, atau bisa jadi sakit hati.
Pelukan. Jika Dara memilih Pelukan,
ia harus sesegera mungkin membuang Sentuhan, bahkan menghapusnya dari semua
pikirian. Ah, ini sulit. Pelukan sangat mengikat. Ini bukan tentang Pelukan
saja, tapi tentang kenangan. Kenangan si Pelukan sudah nyaris tak terhitung dan
ini menghambat perjalanan Dara yang sedang menyerong ke arah karma.
“Seperti yang sudah kubilang, aku
tidak mungkin hidup hanya dengan Pelukan. Aku tak tahan. Aku bertahan karena
keduanya. Tuhan, bagaimana ini? Hah? Apa yang kukatakan tadi? Tuhan?
Berani-beraninya orang gila sepertiku memanggil nama-Nya yang Maha Agung. AKU
BENAR-BENAR GILA,” Dara mulai kewalahan dan tidak dapat mengontrol dirinya.
Sentuhan. Ya, itu pilihan ketiga
setelah ‘hanya diam’ dan ‘Pelukan’. Sentuhan sudah melekat. Dara merasakan ia
terikat kuat oleh tambang yang Sentuhan buat untuknya. Namun, Dara belum yakin
dengan tambang yang ia buat. Akankah tambang yang ia ikatkan ke diri Sentuhan
akan bertahan lama? Apa itu sudah benar-benar mengikat? Entahlah, hanya
Sentuhan yang dapat merasakannya. Dan Sentuhan sama sekali tidak berkicau apa pun
tentang ikatan itu. Dara memang mudah terikat. Bilamana Dara memilih Sentuhan
ini, ia harus melupakan Pelukan sepenuhnya karena tidak akan ada lagi Pelukan
yang seperti dahulu di hidupnya. Ini lebih dari cukup menyiksa.
“Sentuhan, aku mohon, berikan aku kepastian
agar aku dapat memilih. Pilihan ini sulit. Apakah aku harus melakukan pengakuan
dosa ditambah shalat istikharah dan puasa bicara dengan kostum biksuni secara
bersamaan untuk ini? Semua ini bagaikan seluruh keyakinan yang aku punya
terguncang walau terdapat pondasi beton cakar ayam yang terprediksi kokoh untuk
menahan seluruhnya. Aku ingin ini berakhir, memulai hal yang baru.
Lama-kelamaan, aku akan tenggelam dalam lumpur hidup yang aku temukan di
halaman rumahku sendiri. Konyol, ya,” Dara tampak kebingungan.
Yang terakhir adalah tidak memilih
keduanya. Benar-benar sederhana tapi berat untuk dilaksanakan. Dara harus
menghilangkan komunikasinya dengan Pelukan bertepatan dengan ia harus berkata
selamat tinggal kepada Sentuhan. Sang Guru berharap Dara dapat menghapus
coretan-coretan yang hampir memenuhi kertas putihnya walau akan tersisa
bekas-bekas goresan yang alat tulis buat sebelumnya.
Dara masih melihat ke sebelah
kanannya alias arah jam 3. Ia melihat angin yang mustahil untuk dilihat. Ia
dapat menyaksikan aliran udara tersebut dengan mata telanjang. Nyatanya, yang
Dara hayati bukanlah angin yang sedang bertiup searah di sekitarnya. Sesuatu
itu adalah Sentuhan yang masih ada di sampingnya selama pelajaran berlangsung.
Yang Sentuhan biasa lakukan hanya membalas lirikan tersebut. Lalu Dara
memalingkan penglihatannya dan kembali terfokus ke depan seolah-olah ia
memerhatikan apa yang Guru ajarkan.
“Sebenarnya apa yang aku rasakan?
Sebenarnya aku lebih cenderung ke mana? Ini membuat otakku seolah berputar 180
derajat dan sulit untuk kembali. Semua nampak terbalik. Bahkan aku merasakan
tangan kiriku sedang menulis di sebelah kanan. Intinya, aku hilang kendali.
Semakin lama aku mencampakkan Pelukan dan mempedulikan Sentuhan. Benar, ini
karma, bukan tahayul yang dibuat-buat,” pikir Dara.
Hari itu memang cerah, namun bayangan
Dara tetap suram sehingga ia merasa semuanya gelap. Ya, Dara tidak melepas
Pelukan, tapi Pelukan yang melepas dirinya sendiri. Entah apa yang Dara sesali
namun harinya benar-benar hampa. Sentuhan pun seperti ingin pergi saja,
menghindar dan menghindar entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas, Dara
tak mau ditinggalkan. Sentuhan seperti tidak peduli, dan Pelukan berusaha hidup
di dunianya sendiri.
Kala itu, Dara ternyata memilih
untuk diam terlebih dahulu sebelum ia mengambil keputusan yang lebih beresiko.
“Aku pasrah, aku bagai tanpa tujuan.
Aku hanya diam tapi tak keduanya aku raih. Aku sedang diikat di menara CN dan
sulit untuk pergi. Kakiku menggantung, dan itulah diriku terlarut bersama
kakiku,” keluh Dara.
Dara mungkin memiliki keinginan yang
muluk-muluk. Seharusnya ia menurut apa kata Guru, saran Guru. Sukar untuk
dipercaya, sesuatu yang Dara percaya akan terjadi memang tak terjadi.
“Sungguh ini mengosongkan harapanku
selama ini. Sudahlah, benar kata Pelukan dan Sentuhan, aku terlalu banyak
memikirkan tentang ini,” lanjut Dara.
Aba-aba untuk berdiri dari ketua
kelas cukup membuyarkan konsentrasi Dara yang masih memandang atmosfer.
Pelajaran pun usai dan Dara masih
belum mendapat penyelesaian. Mungkin kisah Dara ini akan terus berlanjut
menjadi cerita pendek yang panjang dan bersambung setiap serinya. Dara masih
yakin bahwa ia adalah tokoh utama dalam cerita ini. Jadi ia setuju bahwa kelak
akan ada keajaiban yang terjadi untuknya. Dara yakin Penulis cerita akan
memberikan ia sesuatu yang terbaik.
Sayangnya, keyakinan itu telah
tersamar. Kehidupan nyata baru saja menyadarkannya bahwa keajaiban itu hanya
ilusi. Keajaiban itu hanya kebetulan yang datang pada waktu yang tepat.
Keajaiban hanyalah mukjizat yang mungkin hanya didapatkan oleh Para Nabi.
Keajaiban hanya mitos. Keajaiban itu sama sekali tidak nyata.
“Apa aku harus mencarinya sendiri?
Aku sama sekali tidak melihat pergerakan Sentuhan atau bahkan Pelukan yang
sedang berusaha untukku,” Dara menundukkan kepalanya.
Anggap saja ini mimpi. Dan Dara
harap ia bisa mengendalikan mimpi. Secara tak langsung, Dara berangan untuk
dapat mengendalikan perasaannya.
Dara duduk di kelas lain dan
Sentuhan masih di sampingnya.
Dara melirik Sentuhan (lagi).
(Bogor
dan Cimahi, 19 Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar