Kamis, 21 Februari 2013

Totally “Myself”


Totally “Myself”
Oleh Thalia Maudina
            Saya ingin menunjukkan bagaimana pertengkaran atau perdebatan, terserah, antara Aku dan Diriku. Mereka sangat berbeda. Saya rasa Aku tak ingin berubah, hanyut, mengikuti alur dan berjalan searah dengan air yang mengalir di sungai menuju laut yang nantinya menjadi penghubung seluruh aliran. Sedangkan Diriku memutuskan untuk melawan laju air atau sekadar berbelok dan memperlambat waktu untuk sampai ke laut. Kadang Diriku berpikir untuk berpegangan pada kayu yang mengapung atau menyangkutkan diri di antara bebatuan.
“It is so hard when I know that me myself doesn’t give me the same respond as I want.” – Confusing, huh.
            Aku adalah seseorang yang ingin meluruskan segalanya. Saya juga tidak mengerti apa maksudnya. Namun Aku sungguh berperan penting dalam hidup saya. Aku mengajarkan agar saya tetap teguh pada pendirian yang sudah saya yakini. Saya dianjurkan untuk teguh pada prinsip yang sebelumnya telah saya buat.
“It’s only talking about me, myself. And please, don’t tell it to others.” – Please!
            Diriku sering sekali menggalau. Ya, galau. Walau sebenarnya kata galau tidak berarti seperti yang dimaksudkan orang-orang, artinya itu berbeda. (Anda bisa mencari artinya sendiri bila berniat. Coba cari di Alfalink atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kalau mau lebih gaul lagi, bisa searching kamus online.) Nyatanya, kata ini sudah tak asing di telinga seluruh umat di Indonesia (mungkin). Setidaknya itu terkenal. Hmm, diriku lebih menekankan semua peristiwa dengan emosi. Setiap detiknya dipenuhi dengan nafsu. Pikirannya tergantung perasaan. Dan Diriku sangat labil.
“And it’s really unpredictable, it can be changed. All can be changed, Baby!” – Oh My God!
            Baik, kini kita punya dua tokoh yang mirip namun memiliki karakter yang sungguh kontras. Mereka bagaikan tim pro dan tim kontra yang terdapat dalam sebuah kompetisi debat. Mereka seperti apel dan upil yang berada di atas dan di bawah meja. Mereka layak minyak dan air yang tak bisa bersatu dalam tabung. Mereka adalah mata yang terbuka dan bersin yang jelas-jelas mustahil dilakukan secara bersamaan.
“There are too many keys here. But, I can’t find the right one. Even though I can, I have to take the consequences and be responsible to my every choice. And the problem is… who must I follow? Whether my logic or my feeling?” – Choose!
            Saya menutup mata saya sejenak. Menghela nafas dan kembali bengong. Saya merasa ada sesuatu yang tertahan di dada saya kemudian ingin keluar melalui tenggorokan. Sayangnya sesuatu itu tidak bisa keluar dan terjebak di satu organ bernama hati. Ini menyesakkan, sungguh. Dan sesuatu itu sempat mengirim undangan ke kerabat dekatnya, tak lain air mata. Dan Aku dan Diriku tetap tak dapat dileraikan.
“How can I win those life-games with this kind of situation?” – Rhetorical question.
            Lelah. Kelihatannya saya sudah kehabisan frase untuk melanjutkan ke kehidupan di detik setelah ini. Saya tidak punya rencana. Maka itu, saya hanya menunggu, membiarkan ini berjalan dengan sendirinya. Saya berusaha bersikap ADIL terhadap Aku dan Diriku (saya tahu itu sulit, yah, harus bagaimana lagi).
Menurut Aristoteles, salah satu filosof yang terkenal pada buku-buku pelajaran tentang sosiologi, kewarganegaraan, sejarah, bahkan ilmu pengetahuan alam sekalipun dan salah seorang yang membuat banyak hal menjadi ada di ilmu-ilmu, khususnya ke-teori-an, ‘adil’ itu bukan berarti memberikan semuanya sama, setara, tanpa perbedaan sedikit pun. Tapi sesungguhnya adil itu dengan memberikan sesuatu atau achievement sesuai dengan apa yang telah ia lakukan dan ia perlukan. Contoh saja seorang manajer senior sepantasnya mendapat upah lebih besar dibanding Office Boy yang baru bekerja 2 bulan, walau mereka sama-sama di kantor. Hmm, mungkin contoh itu agak jauh dari penglihatan. Mungkin bisa kita ambil dari contoh seorang ibu yang memberikan uang saku atau disebut uang jajan lebih besar kepada si Kakak dan memberi secukupnya kepada si Adik yang usianya jauh di bawah Kakak. Si Kakak akan merasa risih bilamana mereka diberikan jumlah uang saku yang sama. Karena itu tidak sesuai.
“Anyway, it’s already out of topic, Boy.” – Forget it!
            Kalau boleh saya jujur, saya agak BENCI dengan orang-orang ternama berilmu super seperti Aristoteles, Newton, Edison, Einstein, dan kawan-kawannya. Mengapa demikian? Tahu, lah, sebagai pelajar, saya sangat tidak suka bila harus menghafal rumus atau teori apa pun yang membuat otak saja overload dan menjadikan kepala saya overheat seperti overhead-projector yang terlalu sering dipakai. Saya senang mereka begitu jenius (di masanya). Tapi terkadang saya berpikir, “Ah! Karena mereka saya harus belajar yang seperti ini sekarang!”
            Tapi, Pandji “Kena Deh!” yang melakukan sedikit pidato bersuasana stand-up comedy pada acara “Save a Teen – Donor Bonding… bla bla bla” di Sampoerna Academy (sebenarnya di Kinasih Resort daerah Caringin, Bogor mepet Sukabumi), 30 November 2012, menyatakan bahwa, apabila kita membenci seseorang atau mungkin saja sesuatu, kita harus memahaminya terlebih dahulu sehingga kita tahu apa yang sebenarnya terdapat dalam seseorang atau sesuatu itu. Menurut pengalaman Om, Pak, Mas, hmm, Kak (whatever lah) Pandji, setelah ia memahami yang ia benci, rasa benci itu hilang automatically.
“Hello! It’s too out of topic, Dude. It’s much far from the punch line. Let’s back to the laptop, I mean, the topic.” – Any other theories?
            Baik, itu sebatas intermezzo yang cukup sulit dipahami. Jadi, tadi saya bilang bahwa saya harus bisa bersikap adil, ya? Bagaimana saya harus mulai? Bagaimana saya membagi keadilan bahkan saya tidak tahu persentase stabil Aku dan Diriku yang memengaruhi hidup saya?
“I guess I have two different personalities.” – Dangerous!
            Inti dari pembicaraan panjang lebar ini adalah pertanyaan dengan big question mark, yakni BAGAIMANA cara saya untuk bersikap adil pada hidup saya sendiri dengan memisahkan antara pemikiran menggunakan logika dan perasaan sementara saya tidak menyadari seberapa besar keduanya memengaruhi saya?
            Aku dan Diriku masih belum terpisahkan.

(Bogor, 30 November 2012)

The Impolite Class


The Impolite Class
By mixed authors
            ‘I have nothing to say,’ said a teacher when he got angry by my class. My class was called ‘The Impolite Class’ and we proud because of that calling. I didn’t know why it happened. The class leader was Betty, a girl with bookworm-like face using thick eyeglasses. Perhaps, the one who saw her at the first time might say that she was a kind person. Actually, it was absolutely wrong! (Hilmy and Thalia)
            ‘What happened?’ I asked one of the students sitting beside me. But even how much I tried to talk to her, my voice didn’t reach her. It was a waste of time to ask another student because perhaps the only person who knew the problem was Betty herself and that teacher standing in front of a 30-student classroom. (Azmi and Nenci)
            So, I tried to go forward and asked Betty what happened. The thing that made me shocked, Betty was crying. Then, do you know what the most shocking thing is? The teacher was also crying. What thing had made all people crying? (Sonia and Ragah)
            Just now, I got the answer. It all was because there was another class called ‘The Most Impolite Class’. Therefore, since this was happening, my class became so quiet. I didn’t know why. Maybe, it was because of their disappointment. Finally, my class got a new called ‘The Most Silent Class’ and everybody had changed. (Wilcha and TJ)

(Sampoerna Academy, 27 November 2012)

Tak Sampai Waktunya


Tak Sampai Waktunya
Oleh Thalia Maudina

Laut mengering meluaskan darat.
Semua terjadi tanpa syarat.
Terasa semua menghambat
keingin tahuan yang berubah pekat.
Meminta sesuatu agar menjadi erat
walau mungkin terpikir berat.
Sulitnya, di hati membentuk gurat.
Di mataku semua nampak tersirat,
namun ingin kuungkap agar tersurat.
Kucinta pelukmu, hangat,
tapi kelihatannya tak tertata sangat.

Harapan atau bukan, ini takkan mati.
Layak diri drastis mendadak sakti.
Tunggulah, Sayang, kusediakan bukti.
Kutelaah kau dengan hati-hati.
Kalau tiba waktunya kumengeras bagai jati
yang bisa sepenuhnya menghayati
sebuah tujuan hidup yang mungkin pasti.
Walau kuragu kita tak sama hati,
yakinku semerbak bunga melati.
Perasaanku sungguh benar berarti.
Tak mungkin beralih semua simpati.

Akhirnya telah kuteliti seluruhnya.
Sekarang sepenuhnya diriku padanya.
Mungkin esok hari aku ‘kan datang. Tunggu, Cinta!
Hanya mencari detikan waktu yang tepat tentunya.
Bukan yang biasa, tapi yang spesial kurasa.
Kuperhitungkan matang-matang apa yang terjadi nantinnya.
Mengecilkan kemungkinan buruk yang akan ada.
Mencerna pengalaman pada jangka yang lama.
Di mimpiku, kau tersenyum, berbalik dan mengatakan sama.
Sama-sama senang, dua tepukan pun menjalin kisahnya.
Benar ternyata, berbungalah kasih antara kita.

Cukup! Itu hanya khayalan si Pemimpi.
Kemarin sempat percobaan itu kuhadapi.
Ah, sudahlah! Ini menjijikan seperti kotoran sapi.
Perkiraanku salah besar, fatal, hancur tak rapi.
Rasanya ingin kubakar dengan api.
Ternyata peristiwa itu datang seolah bencana Merapi.
Harusnya dari awal aku meresapi.

Aku tak sanggup denganmu.
Salah! Kamu yang tak pantas untukku.
Apa maksudmu meninggalkanku?
Sekarang hilang, semua sayang sudah membatu.
Ini tak seronok, ini kutukan Sang Ratu.
Bukan, bukan dengan yang lain kau beradu,
tapi kau pergi berkunjung ke Yang Maha Satu.

Puisi Dosa


Puisi Dosa
Oleh Thalia Maudina

Kuterbaring,
mendengarkan mereka yang
MENGGUNJING
nyaring.
Nampak tak asing,
telingaku saja melihatnya,
mataku saja menciumnya,
hidungku saja mendengarnya.
Menimbulkan tanya!
Sedemikian hari berlari,
serupa kaki menari.
Mulut-mulut duri,
seenaknya berseri,
di hadapku tersenyum,
di belakangku mencium
bau-bau kisruh yang tak harum,
bukan parfum!
Sinting, sana-sini berlaku sama,
dengan jangka yang lama.
Bosan, tidak kreatif, percuma.
Dosa
Dosa
Dosa
Bicarakan lagi?
Baik, kau pikir aku apa?
Suatu yang hampa.

(Bogor, 30 November 2012)

Only Really-Short Story


Only Really-Short Story
By Thalia Maudina
Okay. Well. This is my story. I can’t tell you clearly but it’s the truth. I don’t have any ideas where I must start. Hmm, probably we can start it from my flashback story.
It was my first day after I decided to break up my relationship with my ex-boyfriend. Totally hurting me. There was the ugly of myself when I cried and hidden my wet face with my veil. This occasion was inviting many people to respond and asked “Hey, what’s happening?” or “What’s going on?” and it absolutely made a shame on me.
But, wait. A tall-thin boy had come to my life and had changed everything I felt. I thought that my days came more colorful and it was true! Seventeen days later, he was mine. Then, it has been going ‘till today.
Now, he and I have been twenty-one months. Not a short time, right? It might be a forever love. Hmm, would it? I beg you won’t believe this. I’m falling in love with my classmate (also teammate and study partner)!

(Bogor, 24 November 2012)

Karya Indonesia


Karya Indonesia
Oleh: Thalia Maudina

Hembusan angin yang menghempaskan,
Menghantarkan menuju alunan,
Lantunan nada berayun nyaman,
Seluruh badan pun ikut terkesan.

Tiupan maestro terdengar tenang,
Bagai aliran yang teratur namun kencang,
Jemari lentik kawan cukup mengundang,
Terasa aman bercampur senang.

Dataran Sunda,
Jawa bagian barat,
Menjadi saksi sebuah arti,
Keajaiban sebuah seni,
Sebuah ramuan yang tak semu,
Seruling bambu.


Doug the Dog


Doug the Dog
By Thalia Maudina and Muhammad Hilmy Hakeem
            On a bright shiny day, in the city, there was a very, very poor ugly dog, named Doug. One day, he went down the city and found a dog festival. There was a contest for the most beautiful dog in the city. He was staring at every single dog and realised that all dogs had something in common. What’s that? They all had a tail.
            “A tail? I don’t have any tail. Why? Why did I get no tail?”
            Doug asked himself. But nobody heard him, maybe, because he was the dirtiest dog there. Then, he started his journey to find his tail.
            He walked, walked, and walked again and he arrived at a laundry. He met a girl who shouted, “Mommy, look at that stupid dog!” But Doug tried to ignore it. In front of laundry, there was a trashcan. There, he met many ants. The dog asked, “Do you know where my tail is?”
            “Hmm, I am not really sure but I actually I don’t see any tail here.”
            He asked another ant, “Do you see my tail?”
            “Every dog has tail, doesn’t it?”
            “Ya, except me.”
            A fly came and laughed. The fly was making fun of the dog. “Hahaha, hahaha. There will be no tails which want to be yours. You have no tails, you have no tails.”
            And the ants followed the fly to mock Doug, “You have no tails, you have no tails.”
            “Of course I have!”
            “You have no tails, you have no tails.”
            “Stop it!”
            “You have no tails, you have no tails.”
            Doug started to cry but he was shy to cry. He was absolutely upset.
            Doug went to other garbage for asking the same question to the other ants. There, he met bread, named Brad.
            “Hey, bread, do you see my tail?”
            “Hey, how do you know my name? Even we haven’t met before.”
            “Everybody knows bread.”
            “Hmm, well, because I am so famous, you may ask a question.”
            “Really? But, actually I have asked a question several seconds ago.”
            “Really? Can you repeat it?”
            “Do you know where my tail is?”
            “No.”
            “It means you are not the ‘famous bread’. Better for me to go.”
            “Oh, wait, hmm, okay, yes.”
            “So, where do you see my tail?”
            “Hmm”
            “Answer!”
            “You have to find a mirror!”
            “Mere ore?”
            “Yup!”
            And he was looking for the “mere ore” with Brad. To thank Brad, the dog hugged the bread. He smelled a delicious smell. “Yummy!” And suddenly the dog ate the bread. There was only the bread’s mouth as the rest.
            “Wait,” the bread shouted.
            “How can I help you if you eat me? And I don’t have any eyes now.”
            “I can find it by myself.”
            Doug ate Brad’s other part. And he was alone. He went to a pet shop and met many dogs. He asked to other dogs.
            “Hey, dog, do you see mere ore?” nobody answered.
            “Hey, dog, do you see mere ore?”
            “Hey, dog, do you see mere ore?”
            He was in front of mirror and asked to a dog in front of him. “Hey, dog, do you see mere ore?” but the dog in front of him didn’t answer and just followed Doug’s movement.
            “Hey, stop following my gesture!” and he hit the mirror.
            After hitting the mirror, he decided to continue his journey. But, wait…
            “Tail, tail. Me, me. My tail. Hey! There is my tail!”
            He looked at the mirror and realised that his tail was on back part of his body. And the “mere ore” was “mirror”.

Curhatan si Gue (Part 4)


Curhatan si Gue (Part 4)
Oleh Thalia Maudina
Aduh, maaf  banget baru gue terusin. Jujur banget, gue tuh lagi sibuk-sibuknya. Maklum lah orang penting. Gue aja ini sengaja luangin waktu gue buat nulis beginian. Ini tuh harusnya gue lagi ngurusin proposal ini lah, itu lah, entah lah. Ribet juga, ya, jadi KETUA (songong banget!).
Jadi, proposal kegiatan yang gue buat ternyata tidak diterima, a.k.a. ditolak. Jadi gue ribet ngurusin kegagalan gue. Dari situ gue inget satu kalimat bahwa ‘kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda’. Gue menyadari itu dan gue mengakui itu. Yang patut gue pertanyakan adalah ‘jika itu tertunda, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menunda kesuksesan?’. Hah, membingungkan.
Gue lagi ngasih hidup gue buat program ini. Tapi demi para pembaca, ya, gue relain aja waktu gue yang sangat berharga ini buat nerusin curhatan useless gue. Sebenernya sih gue ngetik ini bukan karena gue sayang sama lo pada, jangan geer dulu, Bro. Gue tuh, hmm, menghibur diri. Ya, itu lah yang biasa gue lakuin. Gue rasa dengan nulis begini, gue bisa ngilangin stres gue dan me-refresh otak gue. Mungkin terkesan berleha-leha atau menghindar dari masalah sih, tapi bukan itu kok niat gue.
Jadi niat gue yang sesungguhnya gue tulis di paragraf ini. Gue mau nerusin cerita gue di Curhatan si Gue (Part 3) tentang gue yang kejebak di kamar mandi. Waktu itu gue cerita sampai suatu ketika gue minta tolong temen gue buat ambil air at least setengah ember.
Pada akhirnya, temen-temen gue yang tiga ini berusaha sangat keras untuk mendapatkan air tersebut (lebay). Dan emang, airnya itu lagi susah didapetin. Sekalinya dapet air pun pasti kotor. Untuk dapetin air bersih, mereka harus pergi jauh ke sebrang, tempat cuci. Masalahnya itu jauh banget, 10 meter lah (jauh kah? Jauh lah kalau buat ngangkut air, belum lagi naik ke lantai dua).
Sisi yang bikin gue terharunya, gue tau mereka tuh jarang ngangkat barang berat, tapi mereka tetap mencarikan dan membawakan air tersebut kepada diriku (ceilah!).Bayangin aja, mereka kan cewek-cewek yang mungkin, ya, mungkin, jarang kerja-kerja di rumah. Sebenernya ada sih salah satu di antara mereka yang rajin beud (alay). The problem is dia ceking banget, Bung. Si gue aja nih yang kayak begini udah keitung kurus, apalagi dia. Gue kagak yakin dia bisa ngangkat air satu ember. Setengahnya pun gue ragu.
Sebenernya sekarang ini gue lagi ngantuk berat. Maklum lah kalau tulisan gue lebih gak jelas dari yang Part 1, 2 atau 3. Intinya gue udah gak mood buat nulis cerita tentang ini. Kayaknya udah gak bakal seru ah, males gue. Udah gak semangat. Mending gak usah aja ya? Kita ganti topik.

(Bogor, 9 Januari 2013)

Curhatan si Gue (Part 3)


Curhatan si Gue (Part 3)
Oleh Thalia Maudina
Jujur sih gue udah ngantuk. Lagi-lagi gue nulis ginian malem-malem. Sekarang jam 10.56 p.m. Sekali lagi gue nguap. Posisi gue kali ini lebih parah, tengkurep depan laptop. Haha, tapi nikmat, Bro. Udah PW. Gue bener-bener lagi pengin cerita. Ceritanya sih gak begitu seru, tapi konyol banget dan nyentuh hati temen-temen gue buat sayang sama gue. Di kejadian ini gue tau bahwa mereka, temen-temen kelompok gue, tuh masih punya rasa peduli buat gue. Walau cuma sebagian di antara mereka.
            Okay, fine, gue nguap lagi dengan mata yang kedip lebih banyak tapi pelan. Di sebelah gue ada salah satu adik gue, adik gue yang paling gede. Dia kelas 4 SD. (Bentar, gue nguap lagi). Gue gak tau dia lagi ngapain di sini. Ngikut tengkurep pula. Kayaknya sih dia lagi kangen sama gue (ngarep). Atau mungkin dia lagi kangen sama laptop gue. Entahlah. Dia gak ada kerjaan banget sih di sini. Atau dia mau nemenin gue kali ya? Gak tau deh.
Yang jelas dia lagi mainin jepitan jemuran. Dia bilang kalau jepitannya dijepit di jari tangan, nanti bisa ngeberhentiin aliran darah. Gue mah ngangguk aja dan bilang ‘iya’ dengan mata ngantuk yang super nyebelin. Dan barusan gue liat dia lagi, mencengangkan. Dia lagi make jepitan jemuran itu di hidung. Kali ini gue ketawa. Dia bener-bener bersi kukuh buat ngemancungin hidung. Sekarang dia ke lantai dua, enyah dari hadapan gue. Bagus deh.
Dulu sejarahnya sih gue dan adik-adik gue emang terlahir dan ditakdirkan untuk berhidung pesek. Namun di situ gue percaya kalau takdir bisa berubah. Kata nyokap dulu, tiap gue buang air besar, gue dianjurkan buat nutup hidung pake tangan dengan ngejepit hidung gue. Ya, gue nurut aja sebagai anak yang berbakti pada orang tua. Atau mungkin ‘itu’ gue dulu bau banget jadi mau gak mau gue harus tutup hidung. Alhasil, hidung gue adalah hidung yang paling beda dari adik-adik gue. Segini mah hidung gue paling mancung (kalau dibandingin sama mereka). Sebenernya hidung gue masih keukur kecil sih, tapi segini mending deh. Gue gak bisa bayangin sepesek apa hidung adik-adik gue. Karena segini aja, hidung gue tuh dibilang pesek kalau dibanding temen-temen gue yang lain. Tapi gue bangga untuk jadi yang termaju dan tersukses di antara adik-adik gue. Dengan bangga gue bilang kalau ‘gue pantes jadi contoh sebagai kakak yang baik’.
Kalau adik gue yang mainin jepitan jemuran tadi adalah adik gue yang paling ngajak berantem. Dia dikasih anjuran yang sama, tak lain adalah nutup hidung pas berak. Tapi dia ngelak, dia gak mau. Ditambah lagi dia sebagai rebellion. Jadi ortu udah nyuruh dia buat mancungin hidung rutin, mumpung masih kecil, kan tulang hidungnya masih gampang dibentuk. Adik gue malah ngeyel dan dia bilang ‘ah biarin, aku mah gak mau mancung’ sambil ngegencet-gencetin hidung dia sendiri pake telapak tangan. Gila kan? Dan itu dia lakuin rutin. Nyokap udah ngeluarin anceman sakti dengan bilang ‘awas aja nanti udah gede kamu nyesel’. Lo tau kan doa ibu itu manjur? Pada akhirnya hidung adik gue yang ini pesek banget. Mendekati permukaan air laut ketinggian 0 cm. Kalau lo ngusapin tangan dari jidatnya sampai dagu, lo hampir gak ngerasain hidungnya di situ.
Sekarang dia udah SD, udah ngerti ketertarikan. Dia nyesel sama perlakuan dia sama hidungnya di masa lampau. Dia sadar kalau gara-gara itu dia jadi punya hidung setipis itu. Dia ngelakuin banyak usaha buat mancungin hidungnya. Dari mulai ngemancungin hidungnya manual pake tangan sampai terakhir make jepitan jemuran di hidungnya. Teruskan perjuanganmu ya, Dik!
Pernah waktu itu gue gak tau kalau dia udah tobat dan mau mancungin hidung. Awalnya niat gue baik, gue mau nerusin perjuangannya buat gak ngemancungin hidungnya. Ya udah gue pencet aja tuh hidungnya. Eh ternyata dia ngotot. Dia marah gitu sama gue. Otomatis gue bingung lah. Secara, orang gue mau bantuin, eh, malah dimarahin. Apa salah gue coba? Taunya dia bilang ‘Ih si teteh mah kok dipencet sih! Ini tuh udah lumayan mancung tau! Tuh kan jadi pesek lagi ah!’. Gue terdiam. What? Udah lumayan mancung katanya? Perasaan gue gak ada yang berubah dari hidungnya. Masih segitu aja. Mungkin ngemancungin dikit lah, dalam hitungan millimeter. Tapi tetep aja gak keliatan signifikan, gak ‘semancung’ yang dia maksud. Yo wes lah, it’s okay.
Kalau dua adik gue yang lain (banyak banget ya adik gue), mereka biasa aja, gak peduli sama hidung yang pesek atau gimana, yang penting mereka bisa hidup dengan itu. Mereka mensyukuri apa yang ada. Finally, mereka gak ngapa-ngapain hidung mereka dan hidungnya tetep gitu dari lahir sampai sekarang. Tapi lama-lama kan mereka ngegendutin tuh. Akhirnya sih pesek-pesek lagi. Pipi mereka yang menggembung malah narik hidung mereka buat jadi pesek. Emang sih kalau takdir gak akan ke mana.
Duh, sorry bentar, gue disuruh ngedata keuangan nyokap gue yang bisnis kosmetik.
Nah, udah, sekarang lanjut ya.
Jari gue rada macet gerak pas adik gue pergi tadi. Gak tau kenapa. Hmm, sekarang waktunya gue nyeritain pengalaman gue. Jadi waktu itu gue serumah sama temen sekelompok gue. Tepatnya sih beberapa temen sekelompok gue, 7 orang. Waktu itu lagi weekend dan kami semua males buat mandi. Ada satu temen gue yang rajin banget udah bawa-bawa handuk jam 8 pagi. Eh nyatanya dia cuma iseng aja ngambil handuk. Akhirnya yang mandi temen gue yang lain. Dan dia mandi dengan lancar tanpa hambatan.
            Gue dan 2 orang lainnya ngerasa pantat ada yang narik. Gila males banget buat mandi. Sementara yang lain udah pada ngacir. Di situ ada 4 orang, dan salah satunya udah mandi. Akhirnya temen gue ada lagi yang mau mandi. Karena gue takut jadi yang terakhir, gue memutuskan buat mandi abis dia dan gue dapet urutan tiga buat mandi.
            Sementara temen gue yang satu mandi, bertiga ngomongin jadwal piket bersihin kamar mandi mingguan. Daripada gue nyikat WC, akhirnya gue milih buat sikat bak mandi. Temen gue yang lagi di kamar mandi diteriakin buat disuruh nyikat lantai. Sekalian gue minta temen gue buat ngosongin bak sehingga pas gue masuk, gue tinggal nyikat bak doang.
            Temen gue yang satu ini agak betah di dalem kamar mandi, lebih dari setengah jam kayaknya. Ya gue maklum aja orang dia nyikat lantai. Kali aja dia lagi punya digestive problem jadi agak lama. Tapi ternyata, pas keluar dia ngasih gue kabar buruk. ‘Airnya keluar sedikit’. Gue gak habis pikir gimana kalau pas gue mandi airnya habis, sekarang aja keluarnya sedikit gitu. Emang biasa sih air di rumah suka gitu, kadang keluarnya dikit, udah biasa sih. Tapi gue sedikit panik. Udahnya langsung gue lupain gitu aja.
            Tau kayak gitu gue jadi makin males mandi. Gue buang-buang waktu dulu, mumpung lagi weekend. Sampai akhirnya gue kebelet pengin pipis. Gue memutuskan untuk sekalian mandi.
            Bentar, gue nyetop, gue mau kasih saran buat yang lagi baca ini sambil makan atau ngemil, tolong jangan baca ini dulu karena abis ini cerita gue agak menjijikan dan mungkin cuma dimengerti sama kaum hawa. Ya tapi terserah kalau pengin tau mah, baca aja, gue gak tanggung kalau nanti lo muntah atau mual. Bukan tanggung jawab gue, gue udah nganjurin buat ngejeda bacanya dulu.
            Gue ngambil handuk. Perlahan gue masuk kamar mandi. Gue gantungin handuk di kaitan yang ada di pintu. Pertama gue buka celana dulu, dengan alasan gue kebelet pipis. Gue buka roti gue yang kebetulan udah penuh sama selai stroberi (please, jangan muntah, gue udah berusaha bilang lebih halus). Kebetulan gue lagi dapet bonus bulanan waktu itu. Waktu itu gue belum cebok. Gue memilih buat buka baju dulu. Gue iket rambut gue. Dan di situ gue ngerasa ada yang aneh. Entah deh, firasat gue jelek banget.
            Gue buka keran dan, jeng jeng, gue baru inget tadi aja airnya sedikit. Dan yang gue takutin pun terjadi. AIRNYA GAK KELUAR. TIDAAAAK! Seharusnya gue gak sepanik ini. Masalahnya air di bak juga kosong! Gue baru inget kalau temen gue tadi ngosongin air di bak. Di situ gue berdoa. Gue masih berharap air bakal keluar tiba-tiba. Setelah gue nunggu beberapa menit, ternyata airnya gak keluar.
            Gue bisa aja sih keluar kamar mandi dulu. Tapi tau lah masalahnya, kesatu gue belom cebok. Dan yang kedua gue lagi dapet. Gue gak mungkin ninggalin roti gue di kamar mandi. Jorok banget. Dan kalau gue keluar, mungkin aja selai yang masih ada di tubuh gue netes ke mana-mana. Sumpah, ini super jorok.
            Akhirnya gue neriakin nama salah satu temen gue dan sedikit curhat di situ. Gue ngasih tau kalau gue kejebak, gue gak mungkin keluar, keran air gak ngeluarin air, air bak kosong (banget), dan gue minta temen gue bawain air seenggaknya seember (setengah juga boleh) sekadar buat bersihin bagian vital gue. Darimana pun itu, gue harap temen gue bisa.
            Temen gue sedikit panik juga, tapi mungkin dia pikir ini lucu. Begitu juga temen gue yang lain. Mereka pikir ini hal yang konyol, kocak banget.
            Huaaaah, gue udah ngantuk banget. Sampai sini pasti banyak pertanyaan, ‘di mana kah sisi pedulinya kalau temen lo malah ngetawain?’, ‘kok bisa lo terharu sementara lo diketawain?’. Pertanyaan itu bakal keungkap kalau gue nulis Curhatan si Gue Part 4. Lo tunggu aja kelanjutannya, sekarang gue mau tidur dulu. Udah lewat tengah malam nih.

(Cimahi, 28-29 Desember 2012)

Curhatan si Gue (Part 2)


Curhatan si Gue (Part 2)
Oleh Thalia Maudina
Gue sadar, prolog yang gue buat sama sekali ‘not make sense’. Ya, maksud gue, prolognya gak nyambung sama sekali sama apa-apa yang gue buat setelahnya. Haha, maklumin aja, okay? Gue kan udah bilang kalau gue lagi gak mood bikin cerpen. Hah, serius, gue bingung.
            Sekarang udah jam 10 malem. Gue cuma duduk di kasur nyender ke tembok dengan laptop di atas paha. Gue lagi kagak ada kerjaan aja, maka itu gue ngetik ginian. Jadi gak aneh kalau tulisan gue yang kali ini totally ngaco.
            Tiba-tiba gue mikir sesuatu. Balik lagi ke masalah gue sebelumnya. Gue masih ngerasa diri gue munafik. Kapan ya awalnya gue ngerti kata munafik? Bodo amat dah. Kemunafikan gue bisa aja bikin hidup orang di sekitar gue ancur. Jangankan mereka, gue aja bisa ikut ancur. Dan sebenernya gue tau ini semua salah, tapi gimana lagi. Gue rasa gue belum tau cara ngebenerinnya gimana.
            Ah udah deh, gue lagi gak mau bahas ginian. Gue lagi pengin hibur diri. Sayangnya gue bukan wanita penghibur. Haha, canda. Gue rasa bukan cuma gue yang pengin ngelakuin hal ini. Soalnya gue yakin banget kalau semua orang ngarep dirinya bisa hidup tenang. Ada ide gak? Gak ada ya? Udah lah, gak guna gue nanya-nanya ginian, orang gak bakal dijawab juga, kan? Useless banget sih gue.
            Ngomong-ngomong useless, gue ngerasa diri gue itu useless. Ya, begitulah. Atau mungkin itu bukan perasaan gue aja, mungkin gue emang beneran useless. Gue masih bisa ngerasa kalau dunia ini masih bisa muter tanpa gue. Gue tuh kayaknya bukan orang penting. Gue tuh cuma kutil yang nyempil di sela-sela jari kaki. Aduh kebayang, geli juga ada kutil di sela jari kaki. Tapi bener deh, apa gunanya sih sebuah kutil di antara jari kaki?
            Kebodohan gue terulang lagi, gue nanya sebuah pertanyaan. Lupain aja deh. Intinya itu bener ngebuktiin kalau gue beneran useless. Gue bukan Paus yang mimpin Misa Natal di Vatikan. Gue bukan Presiden yang ngatur negara. Gue bukan ulama-ulama yang jadi public figure berbagai kalangan beragama. Mereka-mereka yang useful ini adalah mereka-mereka yang jadi angin waktu musim panas, berguna dan dibutuhin banget!
            Gue ada pengalaman yang mungkin gue ceritain di sini. Mungkin gue gak sepenuhnya useless, tapi it’s already my identity, jadi gak bisa lepas. Gue punya kelompok di sekolah, anggep aja mereka sebagai keluarga. Suatu hari ada lomba-lomba gitu antar kelompok. Nah, gue tuh kayaknya ditulis di list terakhir, cadangan mungkin. Jadi konsepnya, kalau temen-temen kelompok gue gak ada yang mau, baru gue dipake. Sumpah itu ngejleb banget. Jleb moment is ketika lo dijadiin cadangan. Dan itu artinya gue gak (begitu) dipercaya sama temen-temen kelompok gue.
            Suatu hari gue kebagian jadi cadangan. Gue disuruh ikutan lomba bulu tangkis ganda campuran. Bulu tangkis ya? Emang sih gampang, tapi kan gue gak jago. Bahkan gue masih inget terakhir gue main bulu tangkis itu kelas 8 alias 2 SMP. Udah lama banget. Satu sisi gue gak mau bikin kecewa kelompok gue, tapi gue harus gimana? Gue sendiri aja gak mau ngikut lomba itu. Di sini gue bener-bener ngerasa kalau ‘gue dibutuhin kalau di dunia ini tinggal nyisa gue seorang’.
            Gue memutuskan untuk ngetes kesetiaan dan ‘seberapa butuh’ kelompok gue akan gue yang mau ikut lomba. Akhirnya pas hari H lomba, gue berusaha jadi bangke di kamar, gue cuma nunggu panggilan. Dan ternyata bener, gak lama, pintu diketok dan itu adalah temen kelompok gue yang lagi nyari gue ‘yang mau ikut lomba’.
            Gue buka pintu dan ngasih senyuman manis ke dia dan bilang kalau gue bakal datang beberapa menit lagi. Fine, satu temen itu udah ngingetin. Tapi gue masih belum ngerasa diri gue itu penting. Dan gue masih belum bisa liat ketulusan mereka mercayain gue buat ikut lomba.
            Berhubung gue masih belum percaya, gue ngelakuin tingkah konyol. Gue siap-siap seolah gue mau ikut lomba dan gue pamitan ke temen-temen sekamar gue. Temen sekamar gue mah iya-iya aja, orang mereka gak tau apa-apa. Tapi mereka tau kalau gue mau pergi lomba.
            Gue pergi beberapa blok dari kamar gue dan gue terhenti di depan sebuah pintu dengan nama sahabat gue di depan pintu. Setan-setan ngegoda gue. Yah, anggep aja godaan itu rejeki, ya udah gue kepancing godaan itu. Beberapa menit lagi mau lomba dan yang gue perbuat adalah ngetok pintu kamar sahabat gue.
            Gue bilang kalau gue mau main. Gue kangen sama sahabat gue itu. Abis itu, setelah basa-basi agak lama, gue ceritain kalau seharusnya gue ke lapang badminton sekarang. Gue deg-degan respon sahabat gue itu malah sebaliknya. Dan untungnya, sahabat gue ngedukung gue seratus persen dan ngebantuin gue sembunyi dari kelompok gue. Temen sekamar sahabat gue itu langsung ketawa-ketawa karena dia tau persoalannya. Pada akhirnya, dengan mudahnya, gue mendapat satu kubu yang lagi ngedukung tindakan gue.
            Sayangnya mereka cuma 2 orang. Tapi biar deh, at least gue ngerasa gue lebih dilindungin. Abis itu dateng lah satu anggota kelompok sahabat gue yang nanyain di mana gue berada. Gue ngumpetin sandal sesegera mungkin dan masuk ke kamar mandi.
            Ternyata yang nyariin gue ke kamar-kamar tuh PIC yang ngadain lomba badminton. Hah, gue kira anggota kelompok gue. Tapi ternyata gak lama mereka pun ikut nyariin. Dalem hati gue ngerasa seneng karena gue jadi orang yang dicari. Tapi ini tuh lebih kayak narapidana sih. Anggep aja gue buronan. Haha. Tapi gue seneng, sensasi yang gak terkalahkan. Satu sisi sahabat gue masih ngelindungin gue. Gue terharu.
            Di dalem kamar mandi gue cuma diem, berusaha gak ada orang yang tau kalau gue di dalem. Gue ngedenger ada orang yang ngetuk pintu kamar sahabat gue dan nanya gue di mana. Refleks, adrenalin gue terpacu. Deg-degan. Tapi dengan santainya sahabat gue dan temen sekamarnya bilang kalau mereka gak tau. Haha, di situ gue menyadari kalau gak sia-sia temen gue ikutan teater.
            Hah. Lega banget. Tapi ada yang lebih menegangkan lagi. Jadi kan sekamar tuh ada 4 orang. Nah yang ada di situ kan baru 2 orang. Masalahnya itu gimana kalau yang dua lagi masuk ke kamar. Apa yang harus gue lakuin? Dari kamar mandi kayak gini gak mungkin gue kabur. Lama-lama gue dipastiin bakal ketauan sembunyi di kamar mandi karena pasti aja bakal ada yang mau masuk kamar mandi. Gue khawatir.
            Dan tebak apa yang terjadi. Kekhawatiran gue jadi nyata. Gue bingung. Ya, gue mau gimana lagi, gue diem aja di kamar mandi. Dan prediksi gue bener, penghuni kamar ada yang mau ke kamar mandi. Untungnya sahabat gue sigap. Gue bersyukur banget. Sahabat gue langsung buru-buru masuk ke kamar mandi dan bilang kalau dia kebelet banget pengin berak. Di situ gue pengin banget bilang ‘Alhamdulillah’, tapi gue inget kalau gue lagi ada di dalem kamar mandi. Nyokap gue sering bilang kalau kita gak boleh bilang yang begituan di kamar mandi. Entah atas dasar apa. Yang jelas itu yang gue tau dari SD.
            Akhir cerita gue aman. Gue gak ditemuin sama temen sekelompok gue dan kelompok gue didiskualifikasi buat ikut bulu tangkis ganda campuran. Resiko sih. Ini soal hati gue, di sini gue ngerasa dimanfaatin banget. Dan gue harus masih sembunyi di kamar sahabat gue itu sampai sejam atau lebih setelah lomba selesai.
            Gue balik ke kamar gue dan gue diinterogasi singkat. Gue ditanya ‘abis dari mana?’, ‘kemana aja?’, ‘katanya lo pergi badminton’ dan semacamnya. Yang gue bilang dengan polosnya adalah ‘Gue abis ngegalau gitar-gitaran jauh dari sini’. Dan dengan lebaynya seorang temen sekamar gue bilang kalau ‘lo udah dicariin tau ke seluruh penjuru, mana bisa lo gak ketemu?’. Serius, lebay, ‘seluruh penjuru’.
            Abis itu mau gak mau gue pasti dipertemukan dengan kelompok gue. Mereka penasaran di mana gue berada waktu itu. Dan gue jawab hal yang sama dengan yang gue jawab ke temen sekamar gue. Dan gue liat respon mereka gak peduli setelah tau itu. Katakanlah pertanyaan itu cuma basa-basi, bukan untuk ngekhawatirin gue. Gue kecewa.
            Bener kan? Gue useless. Gue masih berguna, tapi di hidup gue pribadi. Gak aneh sih. Hmm, by the way, lagi-lagi gue keluar dari topik. Gue nulis prolog gimana, dan akhirnya gue nulis apa. Gak nyambung lagi deh. Gue ngomongin munafik dan lama-lama gue sambungin ke useless. Bener deh, kalau udah ngetik gini tuh gue gak bisa fokus ke satu topik.

(Cimahi, 28 Desember 2012)

Curhatan si Gue (Part 1)

Curhatan si Gue (Part 1)
Oleh Thalia Maudina
Gue sebenernya lagi pengin banget nulis cerpen. Tapi gak tau nih, sumpahnya gak selera banget. Mood gue lagi gak mendukung. Gue cuma berharap semuanya kembali seperti semula. Yang gue hadapin sekarang itu adalah gue tambah gak bisa kontrol diri. Gue pengin balik ke masa lalu, tapi gak bisa. Istilahnya sih udah terlanjur kejebak di gua yang atapnya mau longsor. Pas mau lari keluar, gue malah dihalangin sama tanah dan batu-batuan yang ngebentuk gunung. Giliran cari aman, gue harus lari ke dalem, sedangkan itu bukan aman, yang ada cari mati mau tambah kekurung di gua aja.
Pikirin aja deh, gimana cara lo hidup tenang tanpa nyakitin hati orang lain. Menurut gue itu susah banget, Cuy. Gue bingung apa yang ada di pikiran gue sekarang. Yang jelas, gue tuh brengsek banget. Kayaknya gue tuh orang paling munafik kalau dibandingin sama temen-temen gue yang lain. Awas aja kalau lama-lama gue jadi gila beneran gara-gara mikirin hal gak penting kayak gini.
Bentar, mau ralat. Hmm, gak penting, ya? Iya sih, kayak yang gak penting aja, sepele! Tapi gila, Bung, pengaruhnya gede buat hidup gue. Terlalu gede. Sebenernya sih lebih ke gue aja yang ngegede-gedein persoalannya. Tapi bener kok, ini emang harus dipikirin matang-matang. Dan itu semua udah berhasil nyita uang, maksudnya waktu gue. Ya, walau waktu yang gue punya gak seberharga waktunya Pak SBY atau pejabat penting lainnya. At least masih berharga buat diri gue sendiri.
Nih, ya, kalau mau jujur, di otak gue sekarang tuh lagi didominasi sama satu hal. Padahal gue tau masih ada hal lain yang lebih penting dari yang satu ini. Haduh, gue bingung nih ceritanya. Gini deh, tau kan orang kasmaran gimana? Nah, gue lagi ngerasain perasaan semacam itu. Awalnya sih gue ngerasa gue udah mati rasa sama hal begituan. Ya kali aja gue udah puas ngerasain kasmaran pas SD atau SMP (buset). Percaya gak percaya sih.
Gue mikir mati rasa karena gue sempet buta kalau ngeliat orang ganteng. Jadi pernah gue lagi jalan sama temen dan kebetulan temen gue itu jeli banget sama orang cakep. Dia bisa tau mana orang ganteng walau orang itu lagi ngebelakangin sekali pun. Bahkan kalau orang itu lagi ngupil pun temen gue bisa tau. Sakti, kan?
Temen gue bisa cari tak tik buat cari orang ganteng. Dia nyusun strategi biar bisa tau identitas orang itu. Waktu itu sih lagi di angkot, kayak pulang sekolah gitu. Dia ngeliat anak SMA pake seragam. Hmm, dia liat aja tuh name tag nya, dan pulang-pulang dia cari namanya di Facebook.
Gue yang mati rasa dan buta sekaligus bisu cuma diem dan gak berkutik karena emang beneran gak ngerti apa-apa. Gue keliatan idiot di depan temen gue. Otomatis gue ngerasa terdiskriminasi lah sama temen gue. Gue dibilang aneh lah, apa lah. Tapi bener juga sih. Orang lain mah ngeliat cowok kece kan langsung salting atau gimana gitu ngeliatin terus dan sebagainya. Lah gue, duh, angkat tangan deh. Yang gue bilang waktu itu ialah, ‘Emang orang itu ganteng ya?’
Temen gue kayaknya udah gemes banget dan pengin ngeremes gue kayak mie Gemez. Buletan item di matanya udah pengin keluar aja. Lama-kelamaan, matanya yang tadinya melotot itu, langsung ngecilin, tapi natap gue makin tajem. Gue pikir, ‘Apaan sih nih?’. Tapi gak lama, dia bilang, ‘Ih! Jelas ganteng juga! Mata lo tuh, udah ketutup kali ya sama mantan-mantan lo’. Gue cuma manggut-manggut dan bilang dengan polosnya, ‘Iya kali’. Dan temen gue nambah gedeg ngeliat tingkah tak berdosa yang gue kasih.
Contoh lain pas awal-awal masuk SMA. Temen-temen gue yang lain sih udah punya to do list buat di SMA. Salah satunya adalah punya gebetan baru. Nah ini tuh kayaknya udah jadi budaya anak remaja gitu. Udah jadi tradisi. Gue malah kayak anak yang belum puber, gak tau apa-apa (atau emang kelainan lagi jangan-jangan). Gue ikutin temen-temen gue yang sibuk ke sana-sini buat nemuin nama seseorang, ya, gebetan baru. Gue jadi buntut gitu ngikut-ngikut tapi bener-bener cuma ngikutin, gak ngelakuin hal yang lain atau bahkan hal yang sama. Gue kayak anak ilang deh di situ.
Sekelainan itu kah gue? Seaneh itu kah?
Masih ngomongin mati rasa nih. Ada temen gue yang khawatir banget kalau gue maho. Dia takut banget kalau gue lesbian. Secara, walau gue jilbaban, sifat gue cowok banget, Bro (itu dulu sih, ya kali aja kecewekan gue belum tumbuh seratus persen). Haduh, apa perlu cek kalau gue cewek tulen? Nih, cek aja kalau berani, gue bersedia sepenuh hati. Mungkin hal ini juga nyebabin gue mati rasa. Nyambung gak sih?
Gue juga sering dibilang kalau gue bukan cewek sama temen-temen cowok yang deket sama gue. Gak ngerti deh apa dipikiran mereka. Bisa aja karena gue ikutan 2 martial art sekaligus, karate sama merpati putih. Atau gara-gara gue gaulnya banyak sama anak cowok. Atau mungkin karena gue ngeband sama anak-anak cowo dengan aliran yang kayaknya gak pantes buat cewek, rock below 90s. Tapi ada sih satu yang paling mencolok. Penasaran gak?
Jadi perlu diketahui kalau gue tuh omes alias otak mesum. Hal ini wajar sih, tapi lebih wajar lagi kalau dimiliki sama kaum opposite gue, laki-laki, Gue pernah protes. Gue nuntut hak gue, emansipasi wanita. Jadi gue yakin banget kalau kemesuman atau biologi bab reproduksi atau biasa gue sebut ilmu masa depan adalah kunci dari kesuksesan. Ya, maksud gue, kita wajib tau lah, gak harus cowok doang. Ini tuh ilmu penting! Malah menurut gue harusnya ada mapel khusus tentang ini, kalau perlu dari SMP mula.
Ketidakadilan ini ngeracunin hidup gue. Bandingin deh. Kalau cowok lagi ngobrol terus ngobrolin tentang begituan, pasti responnya, ‘Wajar lah anak cowok’. Lah giliran gue sebagai cewek yang ngobrolin begituan, ‘Astaghfirullah, kok ngomongin gituan sih’. Padahal apa bedanya coba? Gue kan manusia, gue sama aja makhluk ciptaan Allah. Tapi kok dibeda-bedain? Padahal Allah aja menyamakan semuanya.
Tapi yang bikin gue bangga adalah koneksi gue yang cepet banget. Pokoknya penangkap sinyal gue paling canggih deh di antara cewek-cewek lain. Ya, walau gak secanggih cowok sih, tapi masih bisa ngimbangin kok. Contoh aja kalau lagi ada yang ngasih kata-kata keramat alias kata kunci yang berhubungan sama hal begituan, let say ‘panjang’ atau ‘besar’, gue langsung kesambung sama sesuatu. Seolah-olah di atas kepala gue ada parabola mahal yang subhanallah gede. Cepet tau, lo harus percaya.
Dan kalau boleh jujur, gue bangga banget sama kelebihan gue itu. Kalau wali kelas gue tau, mungkin beliau bakal nulis gini di rapot gue, ‘Tingkatkan lagi prestasimu!’. Bahkan beliau nganggep ini sebuah prestasi, Bang. Serius, gue terharu.
Aduh, udah cukup deh ngomongin hal itu. Sekarang kita balik ke topik, okay? Anggep aja tadi tuh iklan. Haha, iklannya berasa panjang banget ya? Biasa sih, sponsornya banyak. Hehe, gak jelas banget sih gue.
Asli nih sekarang balik ke topik. Jadi, gue ngerasain lagi apa yang disebut kasmaran setelah sekian lama gue gak bisa bayangin hal itu lagi dan gue lupa gimana rasanya. It’s okay sih kalau misalkan gue ngerasain rasa suka lagi. Mungkin lo bilang ini hal biasa. Tapi ini luar biasa buat gue, ini suatu hal yang berarti. Hal ini nyiksa hidup gue banget, Bung. Itu sebabnya gue pengin balik ke masa lalu, ke masa-masa di mana gue mati rasa, di mana gue gak bisa ngerasain apa yang namanya jatuh cinta.
Pikir aja deh, masa-masa kasmaran tuh gak seenak yang lo kira atau lo rasain. Punya gue beda. Mungkin gue gak seberuntung lo yang kalau ngecengin orang lo bisa dapetin orang itu seketika, sekedipan mata. Gue gak sejago itu.
Sebenernya ini bukan soal guenya sih. Tapi orang yang gue kecengin. Gue ngerasa orang itu sempurna banget buat gue. Ya, itu kan cuma perasaan gue aja. Nyatanya, orang itu gak tepat aja, kurang klop. Bukan gara-gara orang itu sifatnya jelek atau wajahnya gak karuan, jelas bukan. Tapi gara-gara orang itu, hmm, kayak udah kekunci sama orang.
Simpel aja sih, dia belum punya pacar, kalau gebetan sih kagak tau. Nah, kalau casenya cuma kayak gitu, gue bisa hadepin. Nyebelinnya, ada poin plus-plus. Temen gue ada yang suka sama cowok ini. Belibet banget sih nih hidup, kayak gak ada cowok lain aja. Ya, tapi mau gimana lagi kalau udah kepincut yaaaa… entah deh. Liat entar aja.
Hal ini bikin gue cukup galau. Gue mau ngapa-ngapain sama cowok ini tuh jadi gak bebas. Padahal jauh di lubuk hati gue yang paling terdalam (ceilah!), gue pengin melakukan sesuatu yang spesial sama dia. Sosweet-sosweetan kali atau gimana kek. Gue bisa aja pacaran sama dia. Tapi gak semudah itu kalau ada orang lain yang suka sama dia.
Kesannya sih seolah gue punya musuh, punya rival dan itu temen gue sendiri. Gue jadi gak enak. Secara gak langsung gue udah nyakitin perasaan orang lain. Gue harus gimana nih? Apa gue harus pura-pura gak suka? Atau gue jadiin temen gue musuh abadi? Eh udah deh, kok malah minta solusi.
Ya udah lah biarin ini jadi masalah gue pribadi. Paling abis ini gue masuk kamar terus gebrak pintu dan kunci pintu. Abis itu gue duduk nyender ke pintu sambil nangis. Atau bisa aja gue masuk kamar dengan pintu masih kebuka, ambil bantal tengkurep di kasur dan nunggu temen asrama gue nanya ‘lo kenapa?’. Atau mungkin gue bisa masuk kamar mandi, nyalain keran, duduk di wc dan buang hajat. Eh sorry, maksudnya, nangis. Nanti deh gue kasih tau kisah gue. Entah itu cerita lanjutan atau cerita lain.

(Cimahi, 25 Desember 2012)