Totally
“Myself”
Oleh
Thalia Maudina
Saya ingin menunjukkan bagaimana
pertengkaran atau perdebatan, terserah, antara Aku dan Diriku. Mereka sangat
berbeda. Saya rasa Aku tak ingin berubah, hanyut, mengikuti alur dan berjalan
searah dengan air yang mengalir di sungai menuju laut yang nantinya menjadi
penghubung seluruh aliran. Sedangkan Diriku memutuskan untuk melawan laju air
atau sekadar berbelok dan memperlambat waktu untuk sampai ke laut. Kadang Diriku
berpikir untuk berpegangan pada kayu yang mengapung atau menyangkutkan diri di
antara bebatuan.
“It is so hard when I know that me
myself doesn’t give me the same respond as I want.” – Confusing, huh.
Aku adalah seseorang yang ingin
meluruskan segalanya. Saya juga tidak mengerti apa maksudnya. Namun Aku sungguh
berperan penting dalam hidup saya. Aku mengajarkan agar saya tetap teguh pada
pendirian yang sudah saya yakini. Saya dianjurkan untuk teguh pada prinsip yang
sebelumnya telah saya buat.
“It’s only talking about me,
myself. And please, don’t tell it to others.” – Please!
Diriku sering sekali menggalau. Ya, galau. Walau sebenarnya kata galau
tidak berarti seperti yang dimaksudkan orang-orang, artinya itu berbeda. (Anda
bisa mencari artinya sendiri bila berniat. Coba cari di Alfalink atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kalau mau lebih gaul
lagi, bisa searching kamus online.) Nyatanya, kata ini sudah tak
asing di telinga seluruh umat di Indonesia (mungkin). Setidaknya itu terkenal.
Hmm, diriku lebih menekankan semua peristiwa dengan emosi. Setiap detiknya
dipenuhi dengan nafsu. Pikirannya tergantung perasaan. Dan Diriku sangat labil.
“And it’s really unpredictable, it
can be changed. All can be changed, Baby!” – Oh My God!
Baik, kini kita punya dua tokoh yang
mirip namun memiliki karakter yang sungguh kontras. Mereka bagaikan tim pro dan
tim kontra yang terdapat dalam sebuah kompetisi debat. Mereka seperti apel dan
upil yang berada di atas dan di bawah meja. Mereka layak minyak dan air yang
tak bisa bersatu dalam tabung. Mereka adalah mata yang terbuka dan bersin yang
jelas-jelas mustahil dilakukan secara bersamaan.
“There are too many keys here. But,
I can’t find the right one. Even though I can, I have to take the consequences
and be responsible to my every choice. And the problem is… who must I follow?
Whether my logic or my feeling?” – Choose!
Saya menutup mata saya sejenak.
Menghela nafas dan kembali bengong. Saya
merasa ada sesuatu yang tertahan di dada saya kemudian ingin keluar melalui
tenggorokan. Sayangnya sesuatu itu tidak bisa keluar dan terjebak di satu organ
bernama hati. Ini menyesakkan, sungguh. Dan sesuatu itu sempat mengirim
undangan ke kerabat dekatnya, tak lain air mata. Dan Aku dan Diriku tetap tak
dapat dileraikan.
“How can I win those life-games
with this kind of situation?” – Rhetorical question.
Lelah. Kelihatannya saya sudah
kehabisan frase untuk melanjutkan ke kehidupan di detik setelah ini. Saya tidak
punya rencana. Maka itu, saya hanya menunggu, membiarkan ini berjalan dengan
sendirinya. Saya berusaha bersikap ADIL terhadap Aku dan Diriku (saya tahu itu
sulit, yah, harus bagaimana lagi).
Menurut
Aristoteles, salah satu filosof yang terkenal pada buku-buku pelajaran tentang
sosiologi, kewarganegaraan, sejarah, bahkan ilmu pengetahuan alam sekalipun dan
salah seorang yang membuat banyak hal menjadi ada di ilmu-ilmu, khususnya ke-teori-an, ‘adil’ itu bukan berarti
memberikan semuanya sama, setara, tanpa perbedaan sedikit pun. Tapi
sesungguhnya adil itu dengan memberikan sesuatu atau achievement sesuai dengan apa yang telah ia lakukan dan ia
perlukan. Contoh saja seorang manajer senior sepantasnya mendapat upah lebih
besar dibanding Office Boy yang baru
bekerja 2 bulan, walau mereka
sama-sama di kantor. Hmm, mungkin contoh itu agak jauh dari penglihatan.
Mungkin bisa kita ambil dari contoh seorang ibu yang memberikan uang saku atau
disebut uang jajan lebih besar kepada
si Kakak dan memberi secukupnya kepada si Adik yang usianya jauh di bawah
Kakak. Si Kakak akan merasa risih bilamana mereka diberikan jumlah uang saku
yang sama. Karena itu tidak sesuai.
“Anyway, it’s already out of topic,
Boy.” – Forget it!
Kalau boleh saya jujur, saya agak
BENCI dengan orang-orang ternama berilmu super seperti Aristoteles, Newton,
Edison, Einstein, dan kawan-kawannya. Mengapa demikian? Tahu, lah, sebagai
pelajar, saya sangat tidak suka bila harus menghafal rumus atau teori apa pun
yang membuat otak saja overload dan
menjadikan kepala saya overheat seperti
overhead-projector yang terlalu
sering dipakai. Saya senang mereka begitu jenius (di masanya). Tapi terkadang saya
berpikir, “Ah! Karena mereka saya harus belajar yang seperti ini sekarang!”
Tapi, Pandji “Kena Deh!” yang
melakukan sedikit pidato bersuasana stand-up
comedy pada acara “Save a Teen – Donor Bonding… bla bla bla” di Sampoerna
Academy (sebenarnya di Kinasih Resort daerah Caringin, Bogor mepet Sukabumi), 30 November 2012,
menyatakan bahwa, apabila kita membenci seseorang atau mungkin saja sesuatu,
kita harus memahaminya terlebih dahulu sehingga kita tahu apa yang sebenarnya
terdapat dalam seseorang atau sesuatu itu. Menurut pengalaman Om, Pak, Mas,
hmm, Kak (whatever lah) Pandji,
setelah ia memahami yang ia benci, rasa benci itu hilang automatically.
“Hello! It’s too out of topic,
Dude. It’s much far from the punch line. Let’s back to the laptop, I mean, the
topic.” – Any other theories?
Baik, itu sebatas intermezzo yang cukup sulit dipahami.
Jadi, tadi saya bilang bahwa saya harus bisa bersikap adil, ya? Bagaimana saya
harus mulai? Bagaimana saya membagi keadilan bahkan saya tidak tahu persentase
stabil Aku dan Diriku yang memengaruhi hidup saya?
“I guess I have two different
personalities.” – Dangerous!
Inti dari pembicaraan panjang lebar
ini adalah pertanyaan dengan big question
mark, yakni BAGAIMANA cara saya untuk bersikap adil pada hidup saya sendiri
dengan memisahkan antara pemikiran menggunakan logika dan perasaan sementara
saya tidak menyadari seberapa besar keduanya memengaruhi saya?
Aku dan Diriku masih belum
terpisahkan.
(Bogor,
30 November 2012)