Sabtu, 12 September 2015

My Major: Life Science - Essay by Thalia Maudina

My Major: Life Science
By: Thalia Maudina

I believed that life could not be changed and would go to its fate. I ran my life without purpose. I felt that I was not a special creature.
I am Thalia Maudina, Putera Sampoerna Foundation scholar. I call myself a scientist.
I did not enjoy music. Music was disturbing my ears. I could not stand it. I totally disagreed that ‘Music is enjoyable’. My father introduced me keyboard when I was 4. Until I shifted to be an elementary student, I still could not love music.
I attended Music class at school. A friend told me, ‘This is my passion.’ He showed his harmonica exactly in front of my face. It sounded like he wanted me to do the same. Then, something caught my eyes; an instrument called guitar. It hypnotised me by its sound. Its strings vibrated beautifully.
I asked my father to buy me guitar, ‘If you want it, you have to do effort for it.’ Implicitly, my father wanted me to study guitar by myself. I started to explore everything about guitar. I did different ways to learn. I borrowed my classmate’s and neighbour’s guitar. I went to internet cafĂ© to watch tutorials. I also asked my Music teacher and my friend to teach me.
I have learnt guitar since 2010. I am able to play guitar. I am a guitarist now. At the moment, I did not think about having guitar because it was not important anymore. The priceless thing is I could play it.
That experience prove that W=P x t formulae is true. When we are doing our effort, we need power and time. We cannot get the best result instantly.  We need to sacrifice either time or energy. My Physics teacher, Mr. I Gede Suta Pinatih said, ‘Every single chance should be used wisely. We DO NOT HAVE TO think about the result but we MUST give our best effort. So, Thalia, keep trying and do your best in any opportunity. Effort is the way to pray to God!’ The other thing to be underlined is something that we think impossible can be possible. Therefore, fate can be changed.

Again, I am scientist; an expert who studies in one of the sciences. My major is Life Science; subject which never exist in any university. I learn from people’s experiences; try to see from their perspective.

Indonesia has its own history. I cannot reorganise memories but I can change the fate. Indonesia can be better if there is someone who initiates to modify. My country has much potential yet people do not use it wisely. Because of that, I am going to be the one who makes Indonesia becomes the most suitable techno-country to be placed.


I am going to take Engineering so that I can accomplish my desire. Engineering is really related with my purpose. Besides that, going abroad will lead me to have innovative ideas that make my country known as developed country. That is why I choose this way.

***

Well, I used to use this essay for requirement of Singapore Scholarship Recruitment when I was in Senior High School, SMA Sampoerna.

Aku Bertanya Kalau Aku Ini Apa - Cerpen Thalia Maudina

Aku Bertanya Kalau Aku Ini Apa
Oleh Thalia Maudina


Aku ini apa? Bukan siapa, atau bertanya nama. Makhluk di sekitarku pun akan menjawab hal yang berbeda. Bahkan ada yang bertanya balik, “Untuk apa bertanya hal yang tidak perlu kamu tanyakan?” Aneh memang karena aku tidak mengetahui apa aku ini sebenarnya.

Aku merenung di sebuah tempat tinggi. Sebuah rancangan yang belum terealisasikan. Gedung itu senasib denganku―memiliki khayalan yang tinggi namun isinya kosong dan tidak terawat. Tempat di mana aku bisa puas meraung (dan sekilas terpikir mungkin saja aku ini hewan).
Mereka bilang aku ini manusia. Iya, secara fisik aku manusia. Aku pun memang dikodratkan Tuhan untuk menjadi manusia―makhluk paling mulia di muka bumi ini. Sayangnya, akal sering mengatakan persepsi lain dalam beranggapan. Hal itulah yang menyebabkan seorang aku dapat dikatakan manusia.

Pada umumnya, manusia memiliki hak dan kewajiban. Hanya saja di situ tertulis pada umumnya. Berhubung aku ini bukan manusia pada umumnya, jadi… entahlah bahkan aku ini seperti tidak tahu apakah aku punya hak atau kewajiban itu.

Kewajibanku sebagai manusia adalah beribadah dan taat pada apa yang dikehendaki Tuhannya dan menjauhi segala yang dilarang. Namun pada kenyataannya, aku sering melalaikan hal-hal itu. Maksiat, begitu namanya. Tanpa disadari aku telah melakukan maksiat (?). Zina? Bisa jadi. Pergaulan masa kini menghipnotisku sehingga perzinaan itu menjadi biasa. Mungkin aku harus di Drop Out dari manusia oleh Tuhan.

Statusku juga adalah mahasiswa di mana dapat aku buktikan acapkali aku melihat Kartu Tanda Mahasiswa. Aku melakukan perkuliahan sesuai jadwal dan menuruti apa kata dosen. Tunggu, menuruti apa kata dosen, ya? Haha, tidak juga. Aku sering meremehkan suruhan dosen. Manusia yang lebih dulu pintar itu sering memberiku tugas. Ya, aku penuhi. Demi angka yang akan kudapat di akhir semester nanti. Kukerjakan apa adanya, bukan, seadanya. Aku kerjakan tugas itu semampuku di waktu yang sangat terbatas. Apakah itu kegemaran? Atau kebiasaan? Atau kebiasaan yang menjadi kegemaran? Atau aku lebih ingin mempertahankan predikat asal yang diangkat untukku yakni deadliner? Sejenak aku bertanya, “Untuk apa?” Anehnya aku tetap melakukannya sampai sekarang. Pertahankan! Tunda saja terus tugas-tugasnya, sampai kelak aku akan keteteran dan bahkan meminta bantuan orang lain untuk mengerjakannya.

Kuis, UTS, dan UAS. Tiga hal yang paling menentukan lulus atau tidaknya seorang mahasiswa setiap satu semester. Aku terlalu menganggap enteng ketiga hal ini dan mengharapkan nilai kasihan dari dosen. Lucu memang. Keinginanku untuk mendapat IP yang bagus sangat tinggi. Tapi usahaku? Haha. Orang bilang aku masih bisa mengejar ketertinggalan ini. Ada juga yang bilang bahwa tidak ada kata terlambat. Iya, memang tidak ada kata terlambat. Coba perhatikan, aku harus mengejar kawan-kawanku di depan sementara mereka tidak diam, mereka juga maju. Aku berpikir kalau aku bisa mengejarnya jika aku menerapkan kecepatan yang lebih besar dari mereka. Pada nyatanya? Kecepatanku sama dengan mereka, bahkan kadang berkurang. Kalau begini, bagaimana cara aku berlari? Haruskah aku memakai jet? Tapi sepengetahuanku itu curang. Apa aku masih pantas disebut mahasiswa?

Gunjingan hebat terus menjalar di sebuah kelas di kampus. Sehebat itukah? Haha, tidak, itu sepele. Bahkan nyaris aku tidak peduli. Tidak peduli? Sedikit demi sedikit aku peduli, melihat respons dari sebagian kalangan. Aku tidak keberatan karena aku tidak merasa bersalah. Aku bukan manusia, ingat? Sebenarnya aku tidak apa-apa jika disebut macam-macam. Sudah biasa. Beginilah kemunculan hidupku di hidup seseorang malah membuat orang lain itu risih. Sebenarnya hal itu yang aku takutkan. Sungguh aku tidak mau mengubah apa yang sudah ada. Yang dapat aku lakukan hanya meminta maaf pada seseorang dan tidak dapat berkata apa-apa pada yang lainnya karena pada dasarnya kami memang tidak pernah mengenal.  Kesimpulannya, aku bisa dipanggil Setan. Setan yang sangat kuat. Karena ketika aku didoakan, aku malah semakin menjadi-jadi.

Dengan fisik manusia ini aku memiliki dua orang tua. Di mata mereka aku adalah anak yang paling sukses karena adik-adikku memang belum mencontreng prestasi sebaik aku. Tolong digaris bawahi, di mata mereka. Aku selalu menjadi figur dalam keluarga kecil sampai keluarga besar. Aku selalu dibanggakan, menjadi patokan dan contoh untuk generasi penerus lainnya dan membuat generasi yang sudah lewat menyesal karena tidak mencapai hasil sebaik aku. Kurasa itu hanya tampilan luarnya saja. Terkadang hal-hal tinggi yang sudah kucapai membuat aku tertekan.

Perempuan. Dipersembahkan untuk orang-orang yang bilang kalau aku suka laki-laki. Memang, mungkin saja aku benar perempuan. Tapi tugas perempuan bukan itu saja. Aku masih berpikir kalau menjadi perempuan itu pekerjaan yang berat, bahkan nantinya. Oleh karena itu aku belum layak menjadi perempuan.

Sineas. Sutradara. Camera person. Scriptwriter. Tukang bikin film. Iyakah? Jawabannya ya bagi mereka yang tidak mengerti film. Namun bagiku tidak. Yang aku lakukan hanyalah menonton film yang diciptakan dari proses hingga memiliki formatnya tersendiri.
Traveller. Makhluk yang suka berjalan-jalan? Suka. Ya, aku suka. Ada yang salah? Aku tetap suka.

Musisi. Gitaris. Vokalis. Drummer. Hanya sebatas bisa, tanpa kualitas.

Contender. Challenger. Penantang.

Cepat paham ketika belajar.

Anak nongkrong.

Bendahara.

Tomboy.

Munafik.

Kepribadian ganda.

Caper.

Ambisius.

Aneh.

Kekanak-kanakan.

Dewasa.

Bijak.

Labil.

Sakarep dewek.

Penulis.

Thalia.


(Tangerang Selatan, 18 Juni 2015)

Kamis, 23 Januari 2014

Dan Inilah Saatnya - Cerpen Thalia Maudina



Dan Inilah Saatnya
Oleh Thalia Maudina


Aku merasa semuanya aneh. Hidupku telah berubah. Sekarang aku merasa aku hidup sendiri di dunia ini. Aku merasa aku sedang berenang di sungai dengan arus yang deras sementara yang lain sedang berendam di kolam hangat. Aku menjadi gosong di bawah terik matahari sedangkan yang lain sedang duduk di ruangan sejuk ber-AC. Aku bagaikan minoritas yang terhimpit sehingga tak terlihat. Menyedihkan.
            Terduduk di sebuah tempat yang cukup ramai, hanya itu hal yang dapat aku lakukan saat ini. Memang ramai, banyak orang. Hanya saja tak ada satu pun yang memedulikan sosokku di sini. Aku terdiam dengan posisi mengangkang dan menaruh tanganku untuk menahan dagu sambil sebentar-sebentar aku melirik lingkungan sekitar. Mereka lewat tanpa melirikku. Bagaikan mereka berjalan 5 menit sedangkan aku duduk 5 jam.
            Pandanganku samar. Aku melihat kehampaan pada pikiranku terpancar, menyebar di sekitar gas nitrogen yang bertebaran. Kedua genggaman tanganku semakin erat menekan pagar besi setinggi perut tepat di depanku. Kutempelkan tubuhku ke pagar besi itu. Kurasakan kakiku bergetar dengan akselerasi. Raut wajahku pun ikut mengerut. Kututup paksa mataku untuk menahan sakit ini. Ya, rasa sakit yang sulit untuk didefinisikan. Sebuah rasa yang mengundang nafsuku. Semua emosi bercampur, menjadi satu pada periode yang berhimpit. Kueratkan lagi genggamanku. Oksigen di sekelilingku mencoba menenangkan aku. Sayangnya itu gagal. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya. Sia-sia, outputnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Usahaku menenangkan diri hanya menghujankan mataku, membuat satu alat inderaku mengeluarkan air secara refleks dengan volum yang lumayan banyak.
            Pita suaraku mulai mengamuk, mendukung emosi yang masih belum terluapkan. Namun aku ditahan oleh otakku yang memerintahkanku untuk diam. Akhirnya hati pun bertindak. Mungkin mulutku tak jadi berteriak, tapi hatiku sedang melakukannya, pada jangka waktu yang lama. Aku menelan ludah, memastikan semuanya dapat dikendalikan. Kubuka mataku perlahan. Segelintir warna hitam yang lebih suram dari kegelapan perlahan bertransformasi menjadi cahaya pada penglihatanku. Kuarahkan fokus mataku ke arah permukaan bumi. Jaraknya cukup jauh, sekitar tiga kali 4 meter. Di saat bersamaan, sesuatu menahan di saluran pernafasanku, menyesakkan. Aku mencondongkan setengah bagian tubuhku ke udara. Jantungku berdebar. Kupejamkan mataku sekali lagi. Angin meniupku, dingin. Rasa-rasa yang dari tadi datang beruntut sekarang terjadi pada detik yang sama.
            Aku merasakan kakiku melayang. Apa aku akan jatuh? Entahlah. Pikiranku kosong. Aku hanya menekan beratku agar dapat searah dengan gaya gravitasi bumi. Di bawah, aspal yang belum dinodai sedang menunggu darah yang akan mengalir. Di situ aku sempat ragu, namun aku merasa tubuhku kehilangan keseimbangan.
***

Selasa, 10 September 2013

Naskah Drama 15 Menit - BIDADARI ITU DIBAWA JIBRIL



BIDADARI ITU DIBAWA JIBRIL
Naskah drama yang diadaptasi dari
cerita pendek karya A. Mustofa Bisri
                                     


Oleh
XI-SCIENCE TY
SMA SAMPOERNA BOGOR

 
2013



 
Analisis Karakter

Hindun kecil (masa SMP)                   : Perempuan, periang, ramah, dan taat kepada                                                                                     orangtua
Hindun dewasa (setelah masa SMP)  : Perempuan, susah diatur, salah satu pengikut                                                                                     aliran sesat
Danu                                                   : Laki-laki, sabar, ramah dan taat akan agama yang dianut                                                                  olehnya, merupakan suami dari Hindun setelah                                                                                 dewasa nanti
Tresno                                                  : Laki-laki, ramah, peduli terhadap keadaan orang lain,                                                                       merupakan teman dekat dari Danu
Syeikh Jibril                                        : Laki-laki, mudah tertipu, merupakan ustaz dari aliran                                                                        sesat yang mengaku sebagai titisan dari Jibril, yang                                                                           menghasut masyarakat sekitar untuk mengikuti aliran                                                                       sesat yang dibawa olehnya
Ibu Hindun (Umi Hindun)                  : Perempuan, sabar, baik hati, ramah, merupakan Ibu dari                                                                    Hindun yang sangat peduli terhadap anaknya, Hindun
Ayah Hindun                                      : Laki-laki, ramah dan baik hati, hadir pada saat                                                                                  Hindun dilamar oleh Danu di rumah Hindun
Ibu Danu                                             : Perempuan, ramah, hadir pada saat Danu melamar Hindun                                                               di rumah Hindun
Ayah Danu                                          : Laki-laki, sopan, ramah dan baik hati, yang                                                                                      menemani Danu, anaknya, pada saat melamar Hindun di                                                                  rumah Hindun
Guru SD                                              : Perempuan, seorang guru SD yang ramah dan baik hati                                                                    terhadap murid-muridnya, mengajarkan                                                                                             Hindun dan beberapa temannya di tingkat Sekolah Dasar
Teman I                                               : Perempuan, periang, ramah dan selalu ingin tahu sesuatu,                                                                 teman dekat Hindun pada saat mereka sedang duduk di
  bangku Sekolah Dasar
Dosen                                                  : Laki-laki, ramah, kurang tahu adab makan yang benar,                                                                    dosen di sebuah universitas yang sama dengan Hindun
Pak Ustaz                                            : Laki-laki, seorang ustaz baik hati dan ramah yang                                                                             mengajarkan anak-anak agama Islam
Teman II                                              : Perempuan, keras kepala, kurang sopan, merupakan teman                                                               kuliah dari Hindun
Teman III                                            : Perempuan, kasar dan kurang sopan, teman kuliah Hindun
Teman IV                                            : Perempuan, ramah, peduli terhadap orang lain,                                                                                  teman dekat dari Tresno, dan akhirnya hadir pada                                                                               saat menghibur Tresno yang sedang bersedih
Teman V                                              : Perempuan, merupakan teman dekat dari Tresno yang
ramah dan baik hati, hadir pada saat Tresno sedang bersedih
Teman VI                                            : Perempuan, merupakan teman dekat dari Tresno yang
ramah dan baik hati, hadir pada saat Tresno sedang bersedih (datang bersama Teman V)



Sinopsis

Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama.
Semakin beranjak dewasa, pendalaman agama Hindun kian getol. Dia sering memberikan nasihat-nasihat yang benar secara langsung kepada orang-orang yang dianggap olehnya menyeleweng dari agama Islam yang dianut oleh Hindun.
Usia pun semakin bertambah, Hindun akhirnya menikah dengan seorang pria yang juga berasal dari keluarga yang taat beragama, Danu. Ya, Danu, Danu adalah seorang pria yang lembut dan senantiasa sabar apabila ada masalah yang menghadangnya.
Hindun semakin aktif dalam kegiatan beragama, salah satunya yaitu pengajian. Hindun semakin aktif di dalam kegiatan pengajian tersebut. Tapi, pengajian ini mengubah segala aspek kehidupan dari Hindun dan membuat keluarga yang dibina olehnya dan Danu berantakan.
Bidadari Itu Dibawa Jibril

PROLOG
Pertama-tama, lampu belum nyala. Lalu, lighting akan menyala pelan-pelan dan dibuat seperti siang hari yang terik ditambah dengan sound effect yang tepat. Latar tempat seperti sebuah halaman SMP Negeri, banyak anak-anak bermain karet, termasuk Hindun di dalamnya yang terlihat riang gembira.
BABAK I
ADEGAN I
Suasana
            Di halaman sebuah SMP Negeri, banyak anak-anak bermain karet di siang hari yang terik. Hindun kecil bermain dengan riang gembira. Tiba-tiba bel berbunyi
Sound effect     : Bel berbunyi (menandakan dimulainya jam pelajaran)
(Pak guru masuk ke kelas)

Dialog
Ibu Guru         : Assalamualaikum, Anak-anak. (sambil tersenyum)
Semua Murid  : Waalaikumusalam, Buuu! (menjawab dengan lantang, bersama-sama)
Ibu Guru         : Sudah membaca al-Quran pagi ini?
Semua Murid  : Sudah, Bu Guru! (menjawab dengan lantang, bersama-sama)
Ibu Guru         : Wah, surat apa?
Semua Murid  : (menjawab berbeda-beda, saling bersahutan satu sama lain)
Ibu Guru         : Bagus, bagus. Ingat ya, kalian harus rajin-rajin membaca al-Quran karena itu                                   merupakan pedoman hidup kita, ya, Anak-anak?
Semua Murid  : Iya, Bu Guruuu! (menjawab dengan lantang, bersama-sama)
Ibu Guru         : Nah, kita akan mengulang pelajaran kemarin dulu, ya. Idgam bilagunnah. Siapa
  yang tahu?
Murid I            : (menjawab pertanyaan tentang Idgam Billagunnah dengan percaya diri)
Ibu Guru         : Ya, benaaar! (menjawab dengan antusias)
(lampu meredup, suasana remang, sepi dan senyap)
(bel sekolah berbunyi, murid-murid menyalami Bu Guru)
Teman  I           : Hindun! Pulang bareng, yuk! (sambil menarik tangan kanan Hindun)
Hindun            : Ayoo! Sekalian jalan-jalan, bagaimana?
Teman  I           : Ya, boleh! (menjawab dengan riang)
(Hindun dan temannya yang tidak berkerudung menyusuri sepanjang jalan menuju rumah)
Teman  I           : Hindun, kamu kenapa rajin sekali pakai kerudung? Memangnya tidak gerah?
Hindun            : Oh, tentu saja tidak. Yang penting kita ikhlas memakainya, insya Allah, akan       
menikmatinya juga kok. Lagian kan, kerudung itu menutup aurat kita, jadi kita lebih terjaga deh. Kita, wanita, kan layaknya sebuah perhiasan yang indah, yang senantiasa harus dijaga keindahannya dari pandangan-pandangan kotor yang selalu mengincar
Teman  I           : Ah, kalau aku sih mau pake kerudungnya nanti saja, saat sudah menikah.
Hindun            : Nah, itu kurang tepat. Memakai jilbab jangan menunggu-nunggu usia, kita kan
  tidak tahu usia kita sampai berapa.
Teman  I           : Oh, iya ya (mengangguk-angguk)

Tiba-tiba handphone Hindun berdering
Sound effect     : Telepon berdering
Umi Hindun    : Assalamualaikum, Nak Hindun.
Hindun            : Walaikumusalam, Umi.
Umi Hindun    : Hindun jangan lupa, kamu sore ini ada pengajian. Kamu ingat, kan, Nak?
Hindun            : Ingat kok, Umi. Sebentar lagi Hindun pulang, ya.
Umi Hindun    : Ya sudah, hati-hati, ya. Assalamualaikum.
Hindun            : Terima kasih, Umi. Waalaikumusalam.
Teman  I           : Itu siapa?
Hindun            : Oh, itu Umi.
Teman  I           : Oh, sore ini mau ke pengajian ya?
Hindun            : Iya. Yaudah, yuk, jalan lagi (sambil menarik tangan Hindun)
(keluar latar)


ADEGAN II
Suasana
Sebuah surau, dimana banyak anak-anak mulai berdatangan, termasuk Hindun, dimulai dari anak-anak kecil sampai remaja. Mereka duduk bersila mendekati Pak Ustaz. Pengajian pun dimulai.

Dialog
Pak Ustaz        : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Semua Murid  : WAALAIKUMUSALAM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH
  (menjawab dengan lantang, bersama-sama)
Pak Ustaz        : Ya, ayo sekarang kita teruskan mengajinya. Melanjutkan yang kemarin, ya.
Semua Murid  : IYA PAK USTAZ! (menjawab dengan suara lantang, bersama-sama)
Pak Ustaz        : Ya, kemarin sudah sampai surat mana?
Semua Murid : Surah Ali-Imran, Pak Ustaz.
Pak Ustaz        : Nah sekarang kita akan melanjutkannya ya, di ayat 110.
Semua Murid  : (mulai membaca Al-Quran)
Pak Ustaz        : Nah, alhamdulillah. Sekarang, kita akan membahas mengenai artinya. Dalam
surah ini, dijelaskan mengenai amar makruf nahi mungkar. Ada yang tahu, amar makruf nahi mungkar artinya apa?
Murid              : TIDAK TAHU, PAK USTAZ! (murid-murid menjawab dengan lantang,
  bersama-sama)
Pak Ustaz        : Maksudnya adalah menyuruh kepada yang ma'ruf untuk mencegah dari yang                                 munkar, dan beriman kepada Allah. Jadi, jika kita melihat teman kita berlaku                                    kurang baik, kita harus saling mengingatkan. Mau nggak saling mengingatkan                                      dalam kebaikan?
Murid              : MAU, PAK USTAZ! (menjawab dengan lantang, bersama-sama)
Pak Ustaz        : Nah, itu baru Muslimin dan Muslimah yang baik. Selain itu, kita harus                                            mengajarkan kebajikan, ya.
Murid              : BAIK, PAK USTAZ! (menjawab dengan lantang, bersama-sama)
(lampu meredup)

BABAK II
ADEGAN I
Suasana
            Cahaya menerang. Latar berubah, menjadi suasana perkuliahan di gedung universitas. Di kantin, banyak mahasiswa/i dan dosen yang sedang makan siang. Salah satu dosen Hindun makan dengan tangan kiri dan merokok. Hindun melintasi sang dosen.

Dialog
Hindun                        : Assalamualaikum. Lho, Bapak? Sedang makan ya Pak?
Dosen                          : Wah, iya Hindun. Kamu sudah makan? (sambil melanjutkan makannya
  dengan tangan kiri)
Hindun                        : Pak, apa Bapak tidak tahu? Manusia itu makan dengan tangan kanan,
  Pak. Tangan bagus! Masa bapak tidak tahu adab makan yang baik?
Dosen                          : (tersentak, agak terkejut, melapas sendok dan menghentikan aktivitas
  makannya) Apa maksud kamu Hindun?
Hindun                        : Iya Pak, lain kali tolong biasakan makan dengan tangan kanan, ya, Pak.
Bapak Muslim, kan? Malu, Pak, kalau tidak tahu hal sesepele itu. (sambil tersenyum dengan ikhlas)
(Hindun pergi menjauh dari tempat dosennya, dan menghampiri temannya yang duduk di meja lain)
(latar tempat masih di kantin)

Hindun                        : Assalamualaikum, Teman.
Teman II                      : Waalaikumusalam, Hindun. Kamu nggak ada kuliah lagi sekarang?
Hindun                        : Masih ada, nanti sekitar pukul 2 siang. Sastra Arab. Kamu sudah salat?
Teman II                      : Oh, iya, kok, gampang itu sih. Aku baru saja selesai makan siang. Lagi
  nunggu temen. Kamu sudah makan?
Hindun                        : Aku lagi puasa sunnah. Lho, kamu seriusan belum salat?
Teman II                      : Alah, itu gampang, nanti saja lah. Eh, kapan-kapan main, yuk, ke rumah
gue. Gue mau nunjukkin anjing gue yang baru. Imut-imut gicu, bulunya warna.
Hindun                        : Astaghfirullah! kamu melihara anjing? Anjing itu haram! Malaikat nggak
akan mau masuk ke rumah kamu, yang penuh najis gara-gara anjing itu! (dengan nada agak tinggi)
Teman II                      : Eh sabar, Sis, santai, santai! (menepuk bahu Hindun beberapa kali)
Hindun                        : Kamu, tuh, lho. Kamu nggak tau tentang hal itu, ya?
Teman II                      : Ya bukan gitu juga, Sis. Itu anjing imut banget.
Hindun                        : Hiiiiiih, tapi di hukum Islam melihara anjing tuh nggak boleh! Pokoknya
aku nggak mau punya temen yang melihara anjing di rumahnya kayak kamu itu!
Teman II                      : Tapi nggak bisa kayak gitu, dong!
Hindun                        : Tapi harus! Kamu ngerti gak, sih? Aku nggak suka (berbicara dengan
                                      suara keras)
Teman III                    : Hai, Sis Kalian ribut banget, sih! Liat, tuh, orang sekampus pada
  ngeliatin kalian semua (sambil menghisap sebatang rokok)
Teman II                      : Abis dianya tuh, lebay banget, anjing doang dipermasalahin.
Hindun                        : Kamu lagi?! Ngapain merokok?! Merokok itu nggak baik, kamu nggak
  dapet pahala kalau kamu merokok!
Teman III                    : Lho, kok malah gue yang diceramahin?
Hindun                        : (merengut)
Teman II                      : Sumpah, ya, Ndun. Lama-lama serem gue sama lo.
Hindun                        : Tapi aku sedang memperingatkan kalian mengenai Islam yang benar.
Aku bersikap seperti ini untuk membuat kalian jadi lebih baik.
Teman III                    : Kita tahu, kita tahu, tapi bisa kan nggak menyindir begitu? Lemah
  lembutkan sedikit, mungkin kami masih bisa menerima.
Teman II                      : Kita ngerti kamu itu Islam yang ketat banget. Makasih, sih, udah
  diingetin, tapi lo tuh bikin agak risih.
Teman III                    : Hmm (bergumam) Pantes ya sebutan lo, Bidadari bertangan besi!
Hindun                        : Astaghfirullah, kalian (merenung sambil menggelengkan kepala)
Teman III                    : Gue harap lo pikirin kata-kata kita, oke?
Teman II                      : Bye, duluan, ya. (pergi meninggalkan Hindun)
Hindun                        : (terdiam di tempat, menahan kekesalannya) (suara gaib dari dalam
hatinya) astaghfirullahalazim... ya Allah, tolong ampuni dosa-                    dosa mereka. Sesungguhnya hamba sedang memperingatkan mereka, akan tetapi mereka terlalu terkuasai nafsu dan terbuai oleh dunia yang fana ini, sehingga pintu hati       mereka telah dikunci, ya Allah.
(sementara Hindun melanjutkan jalannya di koridor, mahasiswa/i berbisik-bisik selama dia lewat di antara mereka)
BABAK III
ADEGAN I
Suasana
            Di dalam rumah Hindun, Ayah Hindun sedang duduk di sofa. Tiba-tiba pintu diketuk.
Sound effect: Ketukan pintu

Dialog
Danu               : Assalamualaikum.
Ayah                : Waalaikumusalam, eh, Nak Danu. Sama siapa ke sini?
Danu               : Oh, itu ada ayah sama ibu saya, dan seorang teman..
Ayah                : Oh iya, silahkan masuk (mempersilakan masuk). Ayo, silakan duduk, silakan
duduk (menunjuk ke sofa dengan ibu jari). Ibu! Ini ada keluarga Danu dateng, tolong siapin teh ya!
Ayah Danu      : Waduh, Pak, tidak usah repot-repot.
Danu               : Ya sudah lah. Wah, gimana kabarnya? Ini, temannya Danu, siapa namanya?
Ayah Danu      : Kabar baik, alhamdulillah.
Trisno              : Perkenalkan, nama saya Trisno, kawan Mas Danu.
Ayah                : Oh iya. Asli mana?
Trisno              : Asli Sukoharjo, Pak.
Ibu                   : (tiba-tiba datang, menyodorkan baki yang diatasnya telah ada beberapa gelas teh
yang mengepulkan asap) Eh, ada Nak Danu, Bu, Pak.. selamat datang. Duh, maaf ya cuma bisa menyediakan teh saja. (duduk)
Danu               : Ah, iya Bu, tidak mengapa.
Ibu                   : Oh, Nak ini siapa?
Ayah                : Kawannya Danu, Mi, namanya Trisno.
Trisno              : Iya, Bu.
Ibu                   : Oh, iya iya.. Sebentar ya, saya panggil Nak Hindun dulu. Hindun! Kemari,
  Nak, ada tamu, nih!
Danu               : (tersenyum)
Hindun            : (datang tergopoh-gopoh) Iya ,Bu. (sembari duduk di samping ayahnya)
Ayah Danu      : Nah, jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar, Nak Hindun.
Danu               : Iya, Pak, saya berniat melakukan lamaran. Mas Trisno ini sebagai saksinya.
Ayah                : Subhanallah, alhamdulillah. Bagaimana, Bu?
Ibu                   : Wah, subhanallah, Nak, bagaimana menurutmu? Saya toh terserah Hindun saja.
Hindun            : (tersipu malu dan terdiam sesaat)
Danu               : Iya Hindun, aku kagum sama kamu.
Hindun            : (masih tersipu)
Danu               : Aku mau menjadi imam untuk hidup kamu dan anak-anak kita nanti (semua
  hening) bagaimana menurutmu Hindun? (sambil tersenyum kepada Hindun)
Hindun            : (Hindun berbicara sambil tergagap-gagap) Hmm (bergumam) A.. A... Ak.... Aku
siap kok Mas menjadi istri kamu, menemani sepanjang hidupmu (Hindun  berbicara sambil tersipu malu)
Semua             : Alhamdulillah!
(lampu meredup)

ADEGAN II
Suasana
Panggung terbagi tiga bagian, bagian paling kiri berdiri Mas Danu menggenggam teleponnya, di bagian kanan berlatar rumah Mas Tresno, dan bagian tengah ada kegiatan pantomim yang memperagakan percakapan dalam telepon

Dialog
Sound effect: Telepon berdering
Kriiing kriiiiing (telepon rumah Mas Tresno berdering)
Tresno              : Halo, Assalamualaikum.
Danu               : Waalaikumusalam, dengan Mas Tresno?
Tresno              : Ya, betul, betul. (menganggukan kepala) Ini Mas Danu, ya?
Danu               : Iya, Mas.
Tresno              : Wah, sudah lama sekali, Mas, ndak denger kabar Sampeyan.
Danu               : Iya, nih, Mas. Baru sempat ada waktu sekarang. Apa kabar, toh? (berbicara
  dengan logat  Jawa)
Tresno              : Alhamdulillah, baik. Mas Danu bagaimana? Sekarang kerja dimana? Wah pasti
sibuk ya, sampai nggak kelihatan batang hidungnya. (terkekeh)
Danu               : Saya sekarang kerja di kota, Mas, biasalah masih kayak dulu aja. Cuma agak
  lebih sibuk sedikit. Kamu Mas?
Tresno              : Saya masih di tepat dulu, kok.
Danu               : Gimana, Mas, sudah ada yang cocok sejak nganterin saya dulu lamaran?
  (tertawa kecil)
Tresno              : (tertawa) Hah, belum saatnya. Masih fokus di karir dulu, lah. Oh ya, kabar
  Hindun bagaimana, Mas?
Danu               : Baik-baik saja.
Tresno              : Hindun masih suka negur-negur kayak dulu nggak Mas?
Danu               : Oh, sudah mendingan lah sejak menikah dengan saya. Tapi (hening sejenak)
Tresno              : Oh, bagus-bagus. Loh, tapi apa?
Danu               : Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya Syeikh baru lho?
Tresno              : Syeikh baru?
Danu               : Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti nggak percaya.
Tresno              : Siapa, mas?
Danu               : Jibril, Mas. Malaikat Jibril!
Tresno              : Jibril? (tertawa)
Danu               : Jangan ketawa! Ini serius!
Tresno              : Wah. Kata Hindun, bagaimana rupanya?
Danu               : Jibril itu humoris seperti Sampeyan.
Tresno              : Bagaimana ceritanya, Mas?
Danu               : Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim
grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif, pengajian seniman, pengajian pensiunan, dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.
Tresno              : Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?
Danu               : Lho, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya
itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam  yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.
Tresno              : Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas! Kan ada cerita,   
dahulu           Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis    yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.
Danu               : Tak tahulah, Mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya, lho.
                          (meyakinkan Tresno)
Tresno              : Hmm (bergumam). Ya sudahlah Mas, terserah Sampeyan saja. Hindun kan
  istrimu, kamu tahu apa yang terbaik untuknya.
Danu               : Iya, Mas. Yaudah ya, doakan saja lah. Nanti kalau ada lain waktu, pasti saya
  telepon lagi.
Tresno              : Oh iya toh, itu harus. Ya Mas, bereslah. Nanti telepon lagi, ya. Salam buat
  Hindun Mas! Assalamualaikum
Danu               : Iya, Waalaikumsalam..
(telepon mati)
(seiring dengan lampu meredup)

ADEGAN III
Suasana
Lampu kembali menerang. Agak di pinggir panggung, seorang kyai (syekh) tengah memberi sebuah ceramah di depan jamaatnya yang mayoritas dari kalangan ibu-ibu. Hindun datang tergopoh-gopoh mendekati pengajian itu, ikut menyimak kata-kata syekh tersebut.

Dialog
Syekh              : Saudara-saudariku yang dirahmati, kita ini hidup di dunia kefanaan dan penuh
maksiat. Hakikat kita adalah sebagai khalifah, yang semestinya memimpin bumi   ini keluar dari kemunafikan duniawi. Sebagai makhluk yang telah dihidayahkan jiwa dan akal sehat,     kita perlu mensucikan dunia yang telah rusak. Tetapi sebelum itu, kita juga harus       mensucikan diri kita sendiri terlebih dahulu agar kita bisa melaksanakan misi kita sebagai penuntun teman-teman kita yang telah rusak dan tersesat. Saya, sebagai titisan Jibril, telah mendapat wahyu dari Jibril sendiri untuk mulai melakukan sesuatu hal yang nyata. Dari perkumpulan ini, kita akan memulai misi kita untuk membuat sebuah tatanan agama baru yang suci, mulia, dan sempurna sebenar-benarnya. Atas nama Jibril saya mengajak khalifah-khalifah masa depan untuk melaksanakan tugas mulia ini!
(jamaah mengangguk-angguk)
(Syekh keluar dan jemaah membubarkan diri)
(Lampu meredup)

ADEGAN IV
Suasana
Lampu menyoroti kedua belah pinggiran panggung, dimana Mas Danu menelepon Trisno. Tengah panggung kosong.

Dialog
Danu               : Asslamualaikum, Tresno (nada tergesa-gesa)
Tresno              : Waalaikumsalam, ada apa, Mas? Kok tumben nelpon? Napasnya tersengal-
  sengal begitu, tho?
Hindun            : (naik ke tengah panggung dan menyiapkan korek api)
Danu               : Wah, Mas, Hindun baru saja membakar diri.
(Hindun membakar dirinya sendiri dengan korek api)
Lighting effect berapi-api dan latar suara kobaran api dimunculkan
Tresno              : Apa, Mas? membakar diri bagaimana?
Danu               : Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk
membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.
Tresno              : Apa?! (nada terkejut)
Danu               : Yang lucu, Mas, gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian
tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya,  Mas?! (agak terkejut)
(Syekh Jibril naik ke tengah panggung dalam kondisi panik karena tubuhnya terbakar, lighting dan sound effect sama seperti yang di atas)

Tresno              : (mengangguk, menelan ludah), kalo Guru Jibril saya tidak peduli, tapi kondisi
  Hindun sekarang gimana? (suara Tresno terdengar panik)
Danu               : Kondisi Hindun sekarang sudah baik, tapi doakan sajalah ya Mas mudah-
  mudahan cepat sembuh.
Tresno              : Iya, tentu saja akan saya doakan. Tapi Mas Danu sebagai seorang suami, yang                                semestinya dapat membimbing Hindun ke arah yang lebih baik. Nggak baik
  Hindun dibiarkan seperti itu terus.
Danu               : Yasudah deh, terimakasih ya Mas. Ini saya sedang di rumah sakit mengurus                                    administrasinya. Assalamualaikum.
Tresno              : Waalaikumusalam.

ADEGAN V
Suasana
Di rumah, Danu sedang duduk di sofa. Tiba-tiba Hindun datang menerobos pintu dengan paras kacau dan tatapan kosong. Tangannya menimang seekor anjing kecil. Jilbabnya berganti menjadi pasmina yang dikenakan seadanya.

Dialog
Danu               : Astaghfirullah, Umi! Umi abis darimana?
Hindun            : Dari pengajian, Mas.
Danu               : Astaghfirullah, itu anjing siapa? (nada: terkejut)
Hindun            : Tadi diberkan dari pengajian oleh syekh jibril.
Danu               : Umi, Umi kenapa?
Hindun            : Aku nggak papa. (tatapan muka kosong)
Danu               : Kamu jarang pulang, dan sekalinya pulang. Tampilan kamu kacau seperti ini.
Hindun            : Aku baru mendapat tugas mulia dari Jibril, Bi.
Danu               : Tugas mulia? Tugas mulia macam apa yang membuatmu kacau seperti ini, Umi?
Hindun            : Tugas mulia untuk meluruskan jalan agamamu, Abi!
Danu               : Astaghfirullahalazim... Nyebut Mi, nyebut.
Hindun            : Loh, kok apa-apaan? Ini tugas mulia, Bi, tugas mulia! Langsung diwahyukan
  oleh Jibril. Abi tidak percaya?
Danu               : Kamu sudah melewat batas, Mi (sambil berusaha menyadarkan Hindun)
Hindun            : Abi yang kelewat batas. Hati Abi sudah mengeras, sudah terlanjur disesatkan
oleh dunia. Sudah ya Bi, Umi mau istirahat dulu, besok Umi sudah harus berangkat sebelum subuh (nada: agak keras)
Danu               : Mau kemana lagi kamu? Sudah Mi, sudah.
Hindun            : Abi, Umi meyakini ajaran syekh Jibril dan Umi meyakini akan kebenarannya.
                          Bi, anjing ini Umi bawa ya.
Danu               : Astaghfirullah, Umi! Umi! (berteriak)
(Hindun terdiam dan pergi, Danu terpaku dan menangis)
Danu               : (terduduk kembali) ya Allah, apa yang terjadi pada istriku Ya Allah? Tolong
hamba. Tolong luruskan kembali, tolong ketuk pintu hati istri hamba agar dia kembali ke jalanMu, Ya Allah. Astaghfirullahalazim... (hening)
(lampu meredup)

ADEGAN VI
Suasana
Di sebuah kursi taman, Tresno sedang berbincang-bincang dengan kedua temannya.

Dialog
Teman IV        : Mas, udah dengar kabar tentang Hindun belum?
Teman VI        : Si Bidadari bertangan besi itu? Yang kuliah sastra arab dulu? (salah satu dari
  mereka menyahut)
Teman IV        : Iya, yang istrinya Si Danu.
Teman V          : Oh, iya iya, tahu (semua menjawab serentak)
Tresno              : Lho, emang Hindun kenapa Mas? Waktu itu Danu sudah pernah beberapa kali
nelepon sih, menceritakan tentang kondisi Hindun yang agak   mengkhawatirkan.
Teman VI        : Wah iya, saya dengar-dengar sih juga begitu, katanya kalau tidak salah, Hindun
ikut  aliran apa itu namanya (diam sejenak, bingung) yang ada syekh-syekh malaikat Jibril itu?
(tiba-tiba telepon genggam Tresno berbunyi)
Tresno              : (membaca SMS) Apa???! Astaghfirullah! Innalilahi wainailaihi rajiun! (terkejut)
Teman V          : Ada apa, Mas? Kok sampe nyebut-nyebut begitu? (nada khawatir) (salah satu
  dari mereka berbicara)
Tresno              : Astaghfirullah, astaghfirullah (terius berzikir)
Teman IV,V     : (menenangkan Tresno)
(lampu meredup)

EPILOG
Teman IV, V, dan VI menenangkan Tresno di bangku taman  dan semakin lama lampu meredup.

TAMAT