Aku Bertanya Kalau Aku
Ini Apa
Oleh Thalia Maudina
Aku ini apa? Bukan siapa, atau
bertanya nama. Makhluk di sekitarku pun akan menjawab hal yang berbeda. Bahkan
ada yang bertanya balik, “Untuk apa bertanya hal yang tidak perlu kamu
tanyakan?” Aneh memang karena aku tidak mengetahui apa aku ini sebenarnya.
Aku merenung di sebuah tempat
tinggi. Sebuah rancangan yang belum terealisasikan. Gedung itu senasib
denganku―memiliki khayalan yang tinggi namun isinya kosong dan tidak terawat.
Tempat di mana aku bisa puas meraung (dan sekilas terpikir mungkin saja aku ini
hewan).
Mereka bilang aku ini manusia. Iya,
secara fisik aku manusia. Aku pun memang dikodratkan Tuhan untuk menjadi
manusia―makhluk paling mulia di muka bumi ini. Sayangnya, akal sering
mengatakan persepsi lain dalam beranggapan. Hal itulah yang menyebabkan seorang
aku dapat dikatakan manusia.
Pada umumnya, manusia memiliki hak
dan kewajiban. Hanya saja di situ tertulis pada umumnya. Berhubung aku ini
bukan manusia pada umumnya, jadi… entahlah bahkan aku ini seperti tidak tahu
apakah aku punya hak atau kewajiban itu.
Kewajibanku sebagai manusia adalah beribadah dan
taat pada apa yang dikehendaki Tuhannya dan menjauhi segala yang dilarang.
Namun pada kenyataannya, aku sering melalaikan hal-hal itu. Maksiat, begitu
namanya. Tanpa disadari aku telah melakukan maksiat (?). Zina? Bisa jadi.
Pergaulan masa kini menghipnotisku sehingga perzinaan itu menjadi biasa. Mungkin
aku harus di Drop Out dari manusia oleh Tuhan.
Statusku juga adalah mahasiswa di mana dapat aku
buktikan acapkali aku melihat Kartu Tanda Mahasiswa. Aku melakukan perkuliahan
sesuai jadwal dan menuruti apa kata dosen. Tunggu, menuruti apa kata dosen, ya?
Haha, tidak juga. Aku sering meremehkan suruhan dosen. Manusia yang lebih dulu
pintar itu sering memberiku tugas. Ya, aku penuhi. Demi angka yang akan kudapat
di akhir semester nanti. Kukerjakan apa adanya, bukan, seadanya. Aku kerjakan
tugas itu semampuku di waktu yang sangat terbatas. Apakah itu kegemaran? Atau
kebiasaan? Atau kebiasaan yang menjadi kegemaran? Atau aku lebih ingin
mempertahankan predikat asal yang diangkat untukku yakni deadliner? Sejenak aku bertanya, “Untuk apa?” Anehnya aku tetap
melakukannya sampai sekarang. Pertahankan! Tunda saja terus tugas-tugasnya,
sampai kelak aku akan keteteran dan bahkan meminta bantuan orang lain untuk
mengerjakannya.
Kuis, UTS, dan UAS. Tiga hal yang paling menentukan
lulus atau tidaknya seorang mahasiswa setiap satu semester. Aku terlalu
menganggap enteng ketiga hal ini dan mengharapkan nilai kasihan dari dosen.
Lucu memang. Keinginanku untuk mendapat IP yang bagus sangat tinggi. Tapi
usahaku? Haha. Orang bilang aku masih bisa mengejar ketertinggalan ini. Ada
juga yang bilang bahwa tidak ada kata terlambat. Iya, memang tidak ada kata
terlambat. Coba perhatikan, aku harus mengejar kawan-kawanku di depan sementara
mereka tidak diam, mereka juga maju. Aku berpikir kalau aku bisa mengejarnya
jika aku menerapkan kecepatan yang lebih besar dari mereka. Pada nyatanya?
Kecepatanku sama dengan mereka, bahkan kadang berkurang. Kalau begini,
bagaimana cara aku berlari? Haruskah aku memakai jet? Tapi sepengetahuanku itu
curang. Apa aku masih pantas disebut mahasiswa?
Gunjingan hebat terus menjalar di sebuah kelas di
kampus. Sehebat itukah? Haha, tidak, itu sepele. Bahkan nyaris aku tidak
peduli. Tidak peduli? Sedikit demi sedikit aku peduli, melihat respons dari
sebagian kalangan. Aku tidak keberatan karena aku tidak merasa bersalah. Aku
bukan manusia, ingat? Sebenarnya aku tidak apa-apa jika disebut macam-macam.
Sudah biasa. Beginilah kemunculan hidupku di hidup seseorang malah membuat
orang lain itu risih. Sebenarnya hal itu yang aku takutkan. Sungguh aku tidak
mau mengubah apa yang sudah ada. Yang dapat aku lakukan hanya meminta maaf pada
seseorang dan tidak dapat berkata apa-apa pada yang lainnya karena pada
dasarnya kami memang tidak pernah mengenal. Kesimpulannya, aku bisa dipanggil Setan. Setan
yang sangat kuat. Karena ketika aku didoakan, aku malah semakin menjadi-jadi.
Dengan fisik manusia ini aku memiliki dua orang tua.
Di mata mereka aku adalah anak yang paling sukses karena adik-adikku memang
belum mencontreng prestasi sebaik aku. Tolong digaris bawahi, di mata
mereka. Aku selalu menjadi figur dalam keluarga kecil sampai keluarga
besar. Aku selalu dibanggakan, menjadi patokan dan contoh untuk generasi
penerus lainnya dan membuat generasi yang sudah lewat menyesal karena tidak
mencapai hasil sebaik aku. Kurasa itu hanya tampilan luarnya saja. Terkadang
hal-hal tinggi yang sudah kucapai membuat aku tertekan.
Perempuan. Dipersembahkan untuk orang-orang yang
bilang kalau aku suka laki-laki. Memang, mungkin saja aku benar perempuan. Tapi
tugas perempuan bukan itu saja. Aku masih berpikir kalau menjadi perempuan itu
pekerjaan yang berat, bahkan nantinya. Oleh karena itu aku belum layak menjadi
perempuan.
Sineas. Sutradara. Camera person. Scriptwriter. Tukang bikin film. Iyakah? Jawabannya
ya bagi mereka yang tidak mengerti
film. Namun bagiku tidak. Yang aku lakukan hanyalah menonton film yang
diciptakan dari proses hingga memiliki formatnya tersendiri.
Traveller.
Makhluk yang suka berjalan-jalan? Suka. Ya, aku suka. Ada yang salah? Aku tetap
suka.
Musisi. Gitaris. Vokalis. Drummer. Hanya sebatas bisa, tanpa kualitas.
Contender.
Challenger. Penantang.
Cepat paham ketika belajar.
Anak nongkrong.
Bendahara.
Tomboy.
Munafik.
Kepribadian ganda.
Caper.
Ambisius.
Aneh.
Kekanak-kanakan.
Dewasa.
Bijak.
Labil.
Sakarep dewek.
Penulis.
Thalia.
(Tangerang Selatan, 18 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar