Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 September 2015

Aku Bertanya Kalau Aku Ini Apa - Cerpen Thalia Maudina

Aku Bertanya Kalau Aku Ini Apa
Oleh Thalia Maudina


Aku ini apa? Bukan siapa, atau bertanya nama. Makhluk di sekitarku pun akan menjawab hal yang berbeda. Bahkan ada yang bertanya balik, “Untuk apa bertanya hal yang tidak perlu kamu tanyakan?” Aneh memang karena aku tidak mengetahui apa aku ini sebenarnya.

Aku merenung di sebuah tempat tinggi. Sebuah rancangan yang belum terealisasikan. Gedung itu senasib denganku―memiliki khayalan yang tinggi namun isinya kosong dan tidak terawat. Tempat di mana aku bisa puas meraung (dan sekilas terpikir mungkin saja aku ini hewan).
Mereka bilang aku ini manusia. Iya, secara fisik aku manusia. Aku pun memang dikodratkan Tuhan untuk menjadi manusia―makhluk paling mulia di muka bumi ini. Sayangnya, akal sering mengatakan persepsi lain dalam beranggapan. Hal itulah yang menyebabkan seorang aku dapat dikatakan manusia.

Pada umumnya, manusia memiliki hak dan kewajiban. Hanya saja di situ tertulis pada umumnya. Berhubung aku ini bukan manusia pada umumnya, jadi… entahlah bahkan aku ini seperti tidak tahu apakah aku punya hak atau kewajiban itu.

Kewajibanku sebagai manusia adalah beribadah dan taat pada apa yang dikehendaki Tuhannya dan menjauhi segala yang dilarang. Namun pada kenyataannya, aku sering melalaikan hal-hal itu. Maksiat, begitu namanya. Tanpa disadari aku telah melakukan maksiat (?). Zina? Bisa jadi. Pergaulan masa kini menghipnotisku sehingga perzinaan itu menjadi biasa. Mungkin aku harus di Drop Out dari manusia oleh Tuhan.

Statusku juga adalah mahasiswa di mana dapat aku buktikan acapkali aku melihat Kartu Tanda Mahasiswa. Aku melakukan perkuliahan sesuai jadwal dan menuruti apa kata dosen. Tunggu, menuruti apa kata dosen, ya? Haha, tidak juga. Aku sering meremehkan suruhan dosen. Manusia yang lebih dulu pintar itu sering memberiku tugas. Ya, aku penuhi. Demi angka yang akan kudapat di akhir semester nanti. Kukerjakan apa adanya, bukan, seadanya. Aku kerjakan tugas itu semampuku di waktu yang sangat terbatas. Apakah itu kegemaran? Atau kebiasaan? Atau kebiasaan yang menjadi kegemaran? Atau aku lebih ingin mempertahankan predikat asal yang diangkat untukku yakni deadliner? Sejenak aku bertanya, “Untuk apa?” Anehnya aku tetap melakukannya sampai sekarang. Pertahankan! Tunda saja terus tugas-tugasnya, sampai kelak aku akan keteteran dan bahkan meminta bantuan orang lain untuk mengerjakannya.

Kuis, UTS, dan UAS. Tiga hal yang paling menentukan lulus atau tidaknya seorang mahasiswa setiap satu semester. Aku terlalu menganggap enteng ketiga hal ini dan mengharapkan nilai kasihan dari dosen. Lucu memang. Keinginanku untuk mendapat IP yang bagus sangat tinggi. Tapi usahaku? Haha. Orang bilang aku masih bisa mengejar ketertinggalan ini. Ada juga yang bilang bahwa tidak ada kata terlambat. Iya, memang tidak ada kata terlambat. Coba perhatikan, aku harus mengejar kawan-kawanku di depan sementara mereka tidak diam, mereka juga maju. Aku berpikir kalau aku bisa mengejarnya jika aku menerapkan kecepatan yang lebih besar dari mereka. Pada nyatanya? Kecepatanku sama dengan mereka, bahkan kadang berkurang. Kalau begini, bagaimana cara aku berlari? Haruskah aku memakai jet? Tapi sepengetahuanku itu curang. Apa aku masih pantas disebut mahasiswa?

Gunjingan hebat terus menjalar di sebuah kelas di kampus. Sehebat itukah? Haha, tidak, itu sepele. Bahkan nyaris aku tidak peduli. Tidak peduli? Sedikit demi sedikit aku peduli, melihat respons dari sebagian kalangan. Aku tidak keberatan karena aku tidak merasa bersalah. Aku bukan manusia, ingat? Sebenarnya aku tidak apa-apa jika disebut macam-macam. Sudah biasa. Beginilah kemunculan hidupku di hidup seseorang malah membuat orang lain itu risih. Sebenarnya hal itu yang aku takutkan. Sungguh aku tidak mau mengubah apa yang sudah ada. Yang dapat aku lakukan hanya meminta maaf pada seseorang dan tidak dapat berkata apa-apa pada yang lainnya karena pada dasarnya kami memang tidak pernah mengenal.  Kesimpulannya, aku bisa dipanggil Setan. Setan yang sangat kuat. Karena ketika aku didoakan, aku malah semakin menjadi-jadi.

Dengan fisik manusia ini aku memiliki dua orang tua. Di mata mereka aku adalah anak yang paling sukses karena adik-adikku memang belum mencontreng prestasi sebaik aku. Tolong digaris bawahi, di mata mereka. Aku selalu menjadi figur dalam keluarga kecil sampai keluarga besar. Aku selalu dibanggakan, menjadi patokan dan contoh untuk generasi penerus lainnya dan membuat generasi yang sudah lewat menyesal karena tidak mencapai hasil sebaik aku. Kurasa itu hanya tampilan luarnya saja. Terkadang hal-hal tinggi yang sudah kucapai membuat aku tertekan.

Perempuan. Dipersembahkan untuk orang-orang yang bilang kalau aku suka laki-laki. Memang, mungkin saja aku benar perempuan. Tapi tugas perempuan bukan itu saja. Aku masih berpikir kalau menjadi perempuan itu pekerjaan yang berat, bahkan nantinya. Oleh karena itu aku belum layak menjadi perempuan.

Sineas. Sutradara. Camera person. Scriptwriter. Tukang bikin film. Iyakah? Jawabannya ya bagi mereka yang tidak mengerti film. Namun bagiku tidak. Yang aku lakukan hanyalah menonton film yang diciptakan dari proses hingga memiliki formatnya tersendiri.
Traveller. Makhluk yang suka berjalan-jalan? Suka. Ya, aku suka. Ada yang salah? Aku tetap suka.

Musisi. Gitaris. Vokalis. Drummer. Hanya sebatas bisa, tanpa kualitas.

Contender. Challenger. Penantang.

Cepat paham ketika belajar.

Anak nongkrong.

Bendahara.

Tomboy.

Munafik.

Kepribadian ganda.

Caper.

Ambisius.

Aneh.

Kekanak-kanakan.

Dewasa.

Bijak.

Labil.

Sakarep dewek.

Penulis.

Thalia.


(Tangerang Selatan, 18 Juni 2015)

Kamis, 23 Januari 2014

Dan Inilah Saatnya - Cerpen Thalia Maudina



Dan Inilah Saatnya
Oleh Thalia Maudina


Aku merasa semuanya aneh. Hidupku telah berubah. Sekarang aku merasa aku hidup sendiri di dunia ini. Aku merasa aku sedang berenang di sungai dengan arus yang deras sementara yang lain sedang berendam di kolam hangat. Aku menjadi gosong di bawah terik matahari sedangkan yang lain sedang duduk di ruangan sejuk ber-AC. Aku bagaikan minoritas yang terhimpit sehingga tak terlihat. Menyedihkan.
            Terduduk di sebuah tempat yang cukup ramai, hanya itu hal yang dapat aku lakukan saat ini. Memang ramai, banyak orang. Hanya saja tak ada satu pun yang memedulikan sosokku di sini. Aku terdiam dengan posisi mengangkang dan menaruh tanganku untuk menahan dagu sambil sebentar-sebentar aku melirik lingkungan sekitar. Mereka lewat tanpa melirikku. Bagaikan mereka berjalan 5 menit sedangkan aku duduk 5 jam.
            Pandanganku samar. Aku melihat kehampaan pada pikiranku terpancar, menyebar di sekitar gas nitrogen yang bertebaran. Kedua genggaman tanganku semakin erat menekan pagar besi setinggi perut tepat di depanku. Kutempelkan tubuhku ke pagar besi itu. Kurasakan kakiku bergetar dengan akselerasi. Raut wajahku pun ikut mengerut. Kututup paksa mataku untuk menahan sakit ini. Ya, rasa sakit yang sulit untuk didefinisikan. Sebuah rasa yang mengundang nafsuku. Semua emosi bercampur, menjadi satu pada periode yang berhimpit. Kueratkan lagi genggamanku. Oksigen di sekelilingku mencoba menenangkan aku. Sayangnya itu gagal. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya. Sia-sia, outputnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Usahaku menenangkan diri hanya menghujankan mataku, membuat satu alat inderaku mengeluarkan air secara refleks dengan volum yang lumayan banyak.
            Pita suaraku mulai mengamuk, mendukung emosi yang masih belum terluapkan. Namun aku ditahan oleh otakku yang memerintahkanku untuk diam. Akhirnya hati pun bertindak. Mungkin mulutku tak jadi berteriak, tapi hatiku sedang melakukannya, pada jangka waktu yang lama. Aku menelan ludah, memastikan semuanya dapat dikendalikan. Kubuka mataku perlahan. Segelintir warna hitam yang lebih suram dari kegelapan perlahan bertransformasi menjadi cahaya pada penglihatanku. Kuarahkan fokus mataku ke arah permukaan bumi. Jaraknya cukup jauh, sekitar tiga kali 4 meter. Di saat bersamaan, sesuatu menahan di saluran pernafasanku, menyesakkan. Aku mencondongkan setengah bagian tubuhku ke udara. Jantungku berdebar. Kupejamkan mataku sekali lagi. Angin meniupku, dingin. Rasa-rasa yang dari tadi datang beruntut sekarang terjadi pada detik yang sama.
            Aku merasakan kakiku melayang. Apa aku akan jatuh? Entahlah. Pikiranku kosong. Aku hanya menekan beratku agar dapat searah dengan gaya gravitasi bumi. Di bawah, aspal yang belum dinodai sedang menunggu darah yang akan mengalir. Di situ aku sempat ragu, namun aku merasa tubuhku kehilangan keseimbangan.
***