Sabtu, 12 September 2015

My Major: Life Science - Essay by Thalia Maudina

My Major: Life Science
By: Thalia Maudina

I believed that life could not be changed and would go to its fate. I ran my life without purpose. I felt that I was not a special creature.
I am Thalia Maudina, Putera Sampoerna Foundation scholar. I call myself a scientist.
I did not enjoy music. Music was disturbing my ears. I could not stand it. I totally disagreed that ‘Music is enjoyable’. My father introduced me keyboard when I was 4. Until I shifted to be an elementary student, I still could not love music.
I attended Music class at school. A friend told me, ‘This is my passion.’ He showed his harmonica exactly in front of my face. It sounded like he wanted me to do the same. Then, something caught my eyes; an instrument called guitar. It hypnotised me by its sound. Its strings vibrated beautifully.
I asked my father to buy me guitar, ‘If you want it, you have to do effort for it.’ Implicitly, my father wanted me to study guitar by myself. I started to explore everything about guitar. I did different ways to learn. I borrowed my classmate’s and neighbour’s guitar. I went to internet cafĂ© to watch tutorials. I also asked my Music teacher and my friend to teach me.
I have learnt guitar since 2010. I am able to play guitar. I am a guitarist now. At the moment, I did not think about having guitar because it was not important anymore. The priceless thing is I could play it.
That experience prove that W=P x t formulae is true. When we are doing our effort, we need power and time. We cannot get the best result instantly.  We need to sacrifice either time or energy. My Physics teacher, Mr. I Gede Suta Pinatih said, ‘Every single chance should be used wisely. We DO NOT HAVE TO think about the result but we MUST give our best effort. So, Thalia, keep trying and do your best in any opportunity. Effort is the way to pray to God!’ The other thing to be underlined is something that we think impossible can be possible. Therefore, fate can be changed.

Again, I am scientist; an expert who studies in one of the sciences. My major is Life Science; subject which never exist in any university. I learn from people’s experiences; try to see from their perspective.

Indonesia has its own history. I cannot reorganise memories but I can change the fate. Indonesia can be better if there is someone who initiates to modify. My country has much potential yet people do not use it wisely. Because of that, I am going to be the one who makes Indonesia becomes the most suitable techno-country to be placed.


I am going to take Engineering so that I can accomplish my desire. Engineering is really related with my purpose. Besides that, going abroad will lead me to have innovative ideas that make my country known as developed country. That is why I choose this way.

***

Well, I used to use this essay for requirement of Singapore Scholarship Recruitment when I was in Senior High School, SMA Sampoerna.

Aku Bertanya Kalau Aku Ini Apa - Cerpen Thalia Maudina

Aku Bertanya Kalau Aku Ini Apa
Oleh Thalia Maudina


Aku ini apa? Bukan siapa, atau bertanya nama. Makhluk di sekitarku pun akan menjawab hal yang berbeda. Bahkan ada yang bertanya balik, “Untuk apa bertanya hal yang tidak perlu kamu tanyakan?” Aneh memang karena aku tidak mengetahui apa aku ini sebenarnya.

Aku merenung di sebuah tempat tinggi. Sebuah rancangan yang belum terealisasikan. Gedung itu senasib denganku―memiliki khayalan yang tinggi namun isinya kosong dan tidak terawat. Tempat di mana aku bisa puas meraung (dan sekilas terpikir mungkin saja aku ini hewan).
Mereka bilang aku ini manusia. Iya, secara fisik aku manusia. Aku pun memang dikodratkan Tuhan untuk menjadi manusia―makhluk paling mulia di muka bumi ini. Sayangnya, akal sering mengatakan persepsi lain dalam beranggapan. Hal itulah yang menyebabkan seorang aku dapat dikatakan manusia.

Pada umumnya, manusia memiliki hak dan kewajiban. Hanya saja di situ tertulis pada umumnya. Berhubung aku ini bukan manusia pada umumnya, jadi… entahlah bahkan aku ini seperti tidak tahu apakah aku punya hak atau kewajiban itu.

Kewajibanku sebagai manusia adalah beribadah dan taat pada apa yang dikehendaki Tuhannya dan menjauhi segala yang dilarang. Namun pada kenyataannya, aku sering melalaikan hal-hal itu. Maksiat, begitu namanya. Tanpa disadari aku telah melakukan maksiat (?). Zina? Bisa jadi. Pergaulan masa kini menghipnotisku sehingga perzinaan itu menjadi biasa. Mungkin aku harus di Drop Out dari manusia oleh Tuhan.

Statusku juga adalah mahasiswa di mana dapat aku buktikan acapkali aku melihat Kartu Tanda Mahasiswa. Aku melakukan perkuliahan sesuai jadwal dan menuruti apa kata dosen. Tunggu, menuruti apa kata dosen, ya? Haha, tidak juga. Aku sering meremehkan suruhan dosen. Manusia yang lebih dulu pintar itu sering memberiku tugas. Ya, aku penuhi. Demi angka yang akan kudapat di akhir semester nanti. Kukerjakan apa adanya, bukan, seadanya. Aku kerjakan tugas itu semampuku di waktu yang sangat terbatas. Apakah itu kegemaran? Atau kebiasaan? Atau kebiasaan yang menjadi kegemaran? Atau aku lebih ingin mempertahankan predikat asal yang diangkat untukku yakni deadliner? Sejenak aku bertanya, “Untuk apa?” Anehnya aku tetap melakukannya sampai sekarang. Pertahankan! Tunda saja terus tugas-tugasnya, sampai kelak aku akan keteteran dan bahkan meminta bantuan orang lain untuk mengerjakannya.

Kuis, UTS, dan UAS. Tiga hal yang paling menentukan lulus atau tidaknya seorang mahasiswa setiap satu semester. Aku terlalu menganggap enteng ketiga hal ini dan mengharapkan nilai kasihan dari dosen. Lucu memang. Keinginanku untuk mendapat IP yang bagus sangat tinggi. Tapi usahaku? Haha. Orang bilang aku masih bisa mengejar ketertinggalan ini. Ada juga yang bilang bahwa tidak ada kata terlambat. Iya, memang tidak ada kata terlambat. Coba perhatikan, aku harus mengejar kawan-kawanku di depan sementara mereka tidak diam, mereka juga maju. Aku berpikir kalau aku bisa mengejarnya jika aku menerapkan kecepatan yang lebih besar dari mereka. Pada nyatanya? Kecepatanku sama dengan mereka, bahkan kadang berkurang. Kalau begini, bagaimana cara aku berlari? Haruskah aku memakai jet? Tapi sepengetahuanku itu curang. Apa aku masih pantas disebut mahasiswa?

Gunjingan hebat terus menjalar di sebuah kelas di kampus. Sehebat itukah? Haha, tidak, itu sepele. Bahkan nyaris aku tidak peduli. Tidak peduli? Sedikit demi sedikit aku peduli, melihat respons dari sebagian kalangan. Aku tidak keberatan karena aku tidak merasa bersalah. Aku bukan manusia, ingat? Sebenarnya aku tidak apa-apa jika disebut macam-macam. Sudah biasa. Beginilah kemunculan hidupku di hidup seseorang malah membuat orang lain itu risih. Sebenarnya hal itu yang aku takutkan. Sungguh aku tidak mau mengubah apa yang sudah ada. Yang dapat aku lakukan hanya meminta maaf pada seseorang dan tidak dapat berkata apa-apa pada yang lainnya karena pada dasarnya kami memang tidak pernah mengenal.  Kesimpulannya, aku bisa dipanggil Setan. Setan yang sangat kuat. Karena ketika aku didoakan, aku malah semakin menjadi-jadi.

Dengan fisik manusia ini aku memiliki dua orang tua. Di mata mereka aku adalah anak yang paling sukses karena adik-adikku memang belum mencontreng prestasi sebaik aku. Tolong digaris bawahi, di mata mereka. Aku selalu menjadi figur dalam keluarga kecil sampai keluarga besar. Aku selalu dibanggakan, menjadi patokan dan contoh untuk generasi penerus lainnya dan membuat generasi yang sudah lewat menyesal karena tidak mencapai hasil sebaik aku. Kurasa itu hanya tampilan luarnya saja. Terkadang hal-hal tinggi yang sudah kucapai membuat aku tertekan.

Perempuan. Dipersembahkan untuk orang-orang yang bilang kalau aku suka laki-laki. Memang, mungkin saja aku benar perempuan. Tapi tugas perempuan bukan itu saja. Aku masih berpikir kalau menjadi perempuan itu pekerjaan yang berat, bahkan nantinya. Oleh karena itu aku belum layak menjadi perempuan.

Sineas. Sutradara. Camera person. Scriptwriter. Tukang bikin film. Iyakah? Jawabannya ya bagi mereka yang tidak mengerti film. Namun bagiku tidak. Yang aku lakukan hanyalah menonton film yang diciptakan dari proses hingga memiliki formatnya tersendiri.
Traveller. Makhluk yang suka berjalan-jalan? Suka. Ya, aku suka. Ada yang salah? Aku tetap suka.

Musisi. Gitaris. Vokalis. Drummer. Hanya sebatas bisa, tanpa kualitas.

Contender. Challenger. Penantang.

Cepat paham ketika belajar.

Anak nongkrong.

Bendahara.

Tomboy.

Munafik.

Kepribadian ganda.

Caper.

Ambisius.

Aneh.

Kekanak-kanakan.

Dewasa.

Bijak.

Labil.

Sakarep dewek.

Penulis.

Thalia.


(Tangerang Selatan, 18 Juni 2015)