SHORT MOVIE PROJECT JOURNAL
Selasa,
5 Februari 2013
Awalnya,
Hilmy dan aku ada jadwal untuk kumpul Keluarga (Kelompok Student Project) untuk membicarakan questionnaire. Kebetulan, Hilmy dan aku satu kelompok juga. Kami
pun stand by di pendopo (tempat
favorit kami) dan mengajak Mas Arief. Ternyata, Keluarga tidak ada yang datang
sama sekali.
Hilmy,
Mas Arief, dan aku pun melanjutkan diskusi yang kemarin belum terselesaikan. Kami
masih belum mendapatkan ide untuk menjadikan alur ceritanya menjadi cerita yang
utuh. Akhirnya, kami berusaha memancing inspirasi dengan menonton
cuplikan-cuplikan film yang kami kira twistnya
menarik. Hilmy meminta banyak film dariku. Mas Arief direkomendasikan Hilmy
untuk menonton Sunny. Kami bertiga
menemukan twist yang menarik dalam You are the Apple of My Eye. Sebelumnya,
kami sudah mengetahui bahwa twist itu sebenarnya bukan mengubah akhir cerita
menjadi tak disangka. Tapi, twist itu mengalihkan perhatian penonton dengan
tambahan-tambahan yang disisipkan sejalur dengan cerita.
Di dalam
film You are the Apple of My Eye disinggung sedikit mengenai dimensi paralel. Di film tersebut
disebutkan bahwa dimensi paralel adalah dimensi di mana diri kita yang lain
berada di tempat lain dan melakukan hal yang berbeda dari yang kita lakukan
sekarang.
Menurut pemahaman Hilmy,
yang sebelumnya ia dapat dari acara kartun, dimensi paralel terjadi ketika ada
banyak probabilitas dalam hidup. Jadi, kita hidup penuh dengan pilihan. Ketika
kita memilih pilihan 1, ada juga pilihan 2. Seandainya ada 1a dan 1b, 2a dan
2b, dan kita memilih 1a. Maka, apabila diri kita ada pada 2b atau 2a, kita
sudah menembus dimensi paralel. Kemungkinan yang terjadi namun tidak kita alami
karena kita sudah memilih pilihan yang lain. Awalnya aku sedikit bingung.
Namun, setelah Hilmy menerangkannya dengan mengibaratkan kita baru lahir, aku
mengerti. Sebenarnya, aku juga bingung menjelaskannya dengan kata-kata seperti
ini. Hilmy menjelaskan padaku dengan bagan di bawah ini.
Setelah Hilmy menjelaskan hal tersebut, jujur saja, aku
baru mengerti apa yang dimaksud dengan dimensi paralel secara gambaran.
Setidaknya aku dapat membayangkan apa yang dimaksud dimensi paralel.
Masalah kami saat itu adalah mendapatkan masalah.
Maksudnya, kami membutuhkan sebuah rangkaian masalah untuk tokoh yang kami
buat. Tentu saja kami juga memikirkan apa yang akan terjadi di balik layar
apabila kami memilih suatu masalah. Kami coba untuk memprediksi probabilitas
yang akan muncul nantinya.
Setelah lewat jam 9, aku kembali ke kamar dan mendapati
teman-teman kamarku sudah bersiap untuk pergi tidur. Saat itu, sejenak aku
berpikir untuk menanyakan mereka semacam questionnaire.
Ya, questionnaire. Ekspektasiku
di sini adalah mendapat ide untuk mendapatkan masalah yang tepat. Akhirnya aku
berniat untuk menanyakan kepada orang-orang hal
apa yang bisa membuat kalian sangat terpuruk dan merasa ingin bunuh diri.
Mungkin agak konyol karena tidak semua orang pernah mengalami hal ini. Hal yang
sering terjadi namun tidak begitu disadari, yakni keputusasaan.
Akhirnya pertanyaan itu mulai kulontarkan pada dirku
sendiri, lalu setelah itu kutanyakan pada teman sekamarku. Lumayan
menginspirasi.
Menurut opiniku, keputusasaan ini memiliki level atau tingkatan yang berbeda-beda.
Kalau diibaratkan sebagai penyakit kanker, mungkin ada stadium 1 sampai 4.
Ukuran keputusasaan ini tidak dapat dihitung kuantitasnya hanya saja terlihat
jelas. Banyaknya rasa putus asa dalam diri individu berbanding lurus dengan
banyaknya masalah yang ada. Namun ada lagi faktor tingkat 2, yaitu tingkatan
masalah. Karena tingkatan masalah itu berbeda-beda, ya, katakanlah masalah
berat dan masalah ringan, sangat sulit untuk menentukan kapan keputusasaan akan
muncul dan berkembang.
Ada juga yang pernah bilang bahwa keputusasaan muncul
dengan dipengaruhi faktor iman. Ya, walau sesungguhnya manusia tidak bisa
mengukur iman. Entah bagaimana orang yang lebih
beriman itu. Logikanya, orang yang memiliki iman lebih kuat terposisikan di tempat yang jauh dari keputusasaan. Jika
keputusasaan itu terlanjur menghampirinya, maka ia akan tetap merasa tenang
karena ia duduk lebih dekat dengan
Tuhan.
Baiklah, ini hanya pemikiranku saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar