Kamis, 23 Mei 2013

SHORT MOVIE PROJECT JOURNAL (Day 3)


SHORT MOVIE PROJECT JOURNAL

Selasa, 5 Februari 2013
            Awalnya, Hilmy dan aku ada jadwal untuk kumpul Keluarga (Kelompok Student Project) untuk membicarakan questionnaire. Kebetulan, Hilmy dan aku satu kelompok juga. Kami pun stand by di pendopo (tempat favorit kami) dan mengajak Mas Arief. Ternyata, Keluarga tidak ada yang datang sama sekali.
            Hilmy, Mas Arief, dan aku pun melanjutkan diskusi yang kemarin belum terselesaikan. Kami masih belum mendapatkan ide untuk menjadikan alur ceritanya menjadi cerita yang utuh. Akhirnya, kami berusaha memancing inspirasi dengan menonton cuplikan-cuplikan film yang kami kira twistnya menarik. Hilmy meminta banyak film dariku. Mas Arief direkomendasikan Hilmy untuk menonton Sunny. Kami bertiga menemukan twist yang menarik dalam You are the Apple of My Eye. Sebelumnya, kami sudah mengetahui bahwa twist itu sebenarnya bukan mengubah akhir cerita menjadi tak disangka. Tapi, twist itu mengalihkan perhatian penonton dengan tambahan-tambahan yang disisipkan sejalur dengan cerita.
            Di dalam film You are the Apple of My Eye disinggung sedikit mengenai dimensi paralel. Di film tersebut disebutkan bahwa dimensi paralel adalah dimensi di mana diri kita yang lain berada di tempat lain dan melakukan hal yang berbeda dari yang kita lakukan sekarang.
Menurut pemahaman Hilmy, yang sebelumnya ia dapat dari acara kartun, dimensi paralel terjadi ketika ada banyak probabilitas dalam hidup. Jadi, kita hidup penuh dengan pilihan. Ketika kita memilih pilihan 1, ada juga pilihan 2. Seandainya ada 1a dan 1b, 2a dan 2b, dan kita memilih 1a. Maka, apabila diri kita ada pada 2b atau 2a, kita sudah menembus dimensi paralel. Kemungkinan yang terjadi namun tidak kita alami karena kita sudah memilih pilihan yang lain. Awalnya aku sedikit bingung. Namun, setelah Hilmy menerangkannya dengan mengibaratkan kita baru lahir, aku mengerti. Sebenarnya, aku juga bingung menjelaskannya dengan kata-kata seperti ini. Hilmy menjelaskan padaku dengan bagan di bawah ini. 



Setelah Hilmy menjelaskan hal tersebut, jujur saja, aku baru mengerti apa yang dimaksud dengan dimensi paralel secara gambaran. Setidaknya aku dapat membayangkan apa yang dimaksud dimensi paralel.
Masalah kami saat itu adalah mendapatkan masalah. Maksudnya, kami membutuhkan sebuah rangkaian masalah untuk tokoh yang kami buat. Tentu saja kami juga memikirkan apa yang akan terjadi di balik layar apabila kami memilih suatu masalah. Kami coba untuk memprediksi probabilitas yang akan muncul nantinya.
Setelah lewat jam 9, aku kembali ke kamar dan mendapati teman-teman kamarku sudah bersiap untuk pergi tidur. Saat itu, sejenak aku berpikir untuk menanyakan mereka semacam questionnaire. Ya, questionnaire. Ekspektasiku di sini adalah mendapat ide untuk mendapatkan masalah yang tepat. Akhirnya aku berniat untuk menanyakan kepada orang-orang hal apa yang bisa membuat kalian sangat terpuruk dan merasa ingin bunuh diri. Mungkin agak konyol karena tidak semua orang pernah mengalami hal ini. Hal yang sering terjadi namun tidak begitu disadari, yakni keputusasaan.
Akhirnya pertanyaan itu mulai kulontarkan pada dirku sendiri, lalu setelah itu kutanyakan pada teman sekamarku. Lumayan menginspirasi.
Menurut opiniku, keputusasaan ini memiliki level atau tingkatan yang berbeda-beda. Kalau diibaratkan sebagai penyakit kanker, mungkin ada stadium 1 sampai 4. Ukuran keputusasaan ini tidak dapat dihitung kuantitasnya hanya saja terlihat jelas. Banyaknya rasa putus asa dalam diri individu berbanding lurus dengan banyaknya masalah yang ada. Namun ada lagi faktor tingkat 2, yaitu tingkatan masalah. Karena tingkatan masalah itu berbeda-beda, ya, katakanlah masalah berat dan masalah ringan, sangat sulit untuk menentukan kapan keputusasaan akan muncul dan berkembang.
Ada juga yang pernah bilang bahwa keputusasaan muncul dengan dipengaruhi faktor iman. Ya, walau sesungguhnya manusia tidak bisa mengukur iman. Entah bagaimana orang yang lebih beriman itu. Logikanya, orang yang memiliki iman lebih kuat terposisikan di tempat yang jauh dari keputusasaan. Jika keputusasaan itu terlanjur menghampirinya, maka ia akan tetap merasa tenang karena ia duduk lebih dekat dengan Tuhan.
Baiklah, ini hanya pemikiranku saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar