Dan Inilah Saatnya
Oleh Thalia Maudina
Aku merasa semuanya aneh. Hidupku telah berubah. Sekarang
aku merasa aku hidup sendiri di dunia ini. Aku merasa aku sedang berenang di
sungai dengan arus yang deras sementara yang lain sedang berendam di kolam
hangat. Aku menjadi gosong di bawah terik matahari sedangkan yang lain sedang
duduk di ruangan sejuk ber-AC. Aku bagaikan minoritas yang terhimpit sehingga
tak terlihat. Menyedihkan.
Terduduk
di sebuah tempat yang cukup ramai, hanya itu hal yang dapat aku lakukan saat
ini. Memang ramai, banyak orang. Hanya saja tak ada satu pun yang memedulikan
sosokku di sini. Aku terdiam dengan posisi mengangkang dan menaruh tanganku
untuk menahan dagu sambil sebentar-sebentar aku melirik lingkungan sekitar.
Mereka lewat tanpa melirikku. Bagaikan mereka berjalan 5 menit sedangkan aku
duduk 5 jam.
Pandanganku
samar. Aku melihat kehampaan pada pikiranku terpancar, menyebar di sekitar gas
nitrogen yang bertebaran. Kedua genggaman tanganku semakin erat menekan pagar
besi setinggi perut tepat di depanku. Kutempelkan tubuhku ke pagar besi itu.
Kurasakan kakiku bergetar dengan akselerasi. Raut wajahku pun ikut mengerut.
Kututup paksa mataku untuk menahan sakit ini. Ya, rasa sakit yang sulit untuk
didefinisikan. Sebuah rasa yang mengundang nafsuku. Semua emosi bercampur,
menjadi satu pada periode yang berhimpit. Kueratkan lagi genggamanku. Oksigen
di sekelilingku mencoba menenangkan aku. Sayangnya itu gagal. Aku menarik nafas
sedalam-dalamnya. Sia-sia, outputnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Usahaku
menenangkan diri hanya menghujankan mataku, membuat satu alat inderaku
mengeluarkan air secara refleks dengan volum yang lumayan banyak.
Pita
suaraku mulai mengamuk, mendukung emosi yang masih belum terluapkan. Namun aku
ditahan oleh otakku yang memerintahkanku untuk diam. Akhirnya hati pun
bertindak. Mungkin mulutku tak jadi berteriak, tapi hatiku sedang melakukannya,
pada jangka waktu yang lama. Aku menelan ludah, memastikan semuanya dapat
dikendalikan. Kubuka mataku perlahan. Segelintir warna hitam yang lebih suram
dari kegelapan perlahan bertransformasi menjadi cahaya pada penglihatanku.
Kuarahkan fokus mataku ke arah permukaan bumi. Jaraknya cukup jauh, sekitar
tiga kali 4 meter. Di saat bersamaan, sesuatu menahan di saluran pernafasanku,
menyesakkan. Aku mencondongkan setengah bagian tubuhku ke udara. Jantungku
berdebar. Kupejamkan mataku sekali lagi. Angin meniupku, dingin. Rasa-rasa yang
dari tadi datang beruntut sekarang terjadi pada detik yang sama.
Aku
merasakan kakiku melayang. Apa aku akan jatuh? Entahlah. Pikiranku kosong. Aku
hanya menekan beratku agar dapat searah dengan gaya gravitasi bumi. Di bawah,
aspal yang belum dinodai sedang menunggu darah yang akan mengalir. Di situ aku
sempat ragu, namun aku merasa tubuhku kehilangan keseimbangan.
***