Kamis, 23 Januari 2014

Dan Inilah Saatnya - Cerpen Thalia Maudina



Dan Inilah Saatnya
Oleh Thalia Maudina


Aku merasa semuanya aneh. Hidupku telah berubah. Sekarang aku merasa aku hidup sendiri di dunia ini. Aku merasa aku sedang berenang di sungai dengan arus yang deras sementara yang lain sedang berendam di kolam hangat. Aku menjadi gosong di bawah terik matahari sedangkan yang lain sedang duduk di ruangan sejuk ber-AC. Aku bagaikan minoritas yang terhimpit sehingga tak terlihat. Menyedihkan.
            Terduduk di sebuah tempat yang cukup ramai, hanya itu hal yang dapat aku lakukan saat ini. Memang ramai, banyak orang. Hanya saja tak ada satu pun yang memedulikan sosokku di sini. Aku terdiam dengan posisi mengangkang dan menaruh tanganku untuk menahan dagu sambil sebentar-sebentar aku melirik lingkungan sekitar. Mereka lewat tanpa melirikku. Bagaikan mereka berjalan 5 menit sedangkan aku duduk 5 jam.
            Pandanganku samar. Aku melihat kehampaan pada pikiranku terpancar, menyebar di sekitar gas nitrogen yang bertebaran. Kedua genggaman tanganku semakin erat menekan pagar besi setinggi perut tepat di depanku. Kutempelkan tubuhku ke pagar besi itu. Kurasakan kakiku bergetar dengan akselerasi. Raut wajahku pun ikut mengerut. Kututup paksa mataku untuk menahan sakit ini. Ya, rasa sakit yang sulit untuk didefinisikan. Sebuah rasa yang mengundang nafsuku. Semua emosi bercampur, menjadi satu pada periode yang berhimpit. Kueratkan lagi genggamanku. Oksigen di sekelilingku mencoba menenangkan aku. Sayangnya itu gagal. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya. Sia-sia, outputnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Usahaku menenangkan diri hanya menghujankan mataku, membuat satu alat inderaku mengeluarkan air secara refleks dengan volum yang lumayan banyak.
            Pita suaraku mulai mengamuk, mendukung emosi yang masih belum terluapkan. Namun aku ditahan oleh otakku yang memerintahkanku untuk diam. Akhirnya hati pun bertindak. Mungkin mulutku tak jadi berteriak, tapi hatiku sedang melakukannya, pada jangka waktu yang lama. Aku menelan ludah, memastikan semuanya dapat dikendalikan. Kubuka mataku perlahan. Segelintir warna hitam yang lebih suram dari kegelapan perlahan bertransformasi menjadi cahaya pada penglihatanku. Kuarahkan fokus mataku ke arah permukaan bumi. Jaraknya cukup jauh, sekitar tiga kali 4 meter. Di saat bersamaan, sesuatu menahan di saluran pernafasanku, menyesakkan. Aku mencondongkan setengah bagian tubuhku ke udara. Jantungku berdebar. Kupejamkan mataku sekali lagi. Angin meniupku, dingin. Rasa-rasa yang dari tadi datang beruntut sekarang terjadi pada detik yang sama.
            Aku merasakan kakiku melayang. Apa aku akan jatuh? Entahlah. Pikiranku kosong. Aku hanya menekan beratku agar dapat searah dengan gaya gravitasi bumi. Di bawah, aspal yang belum dinodai sedang menunggu darah yang akan mengalir. Di situ aku sempat ragu, namun aku merasa tubuhku kehilangan keseimbangan.
***